20 jam berlalu, 4 jam kemudian adalah hari yang lain. Sedangkan aku masih termangu dengan dunia yang lalu. Andai saja Danara memiliki waktu lebih dari seminggu, mungkin aku akan berpikir kalau hadirku akan tampak seperti kemilau pada cahaya yang turun di gelap gulitanya bumi pada malam hari.
Faktanya bumi malah lebih
menyenangkan ketika purnama hadir, ketimbang mentari yang sok elok bercahaya
melintas selama kurang lebih 12 jam lamanya.
Waktu purnama dan mentari sama.
Namun, bumi lebih memilih gelap gulita bersama purnama.
Esok adalah tahun kedua dimana
pembahasan mengenai tesisku di ulang. Parahnya lagi aku berusaha untuk tidak
peduli terhadap hal tersebut, namun kalau di ingat-ingat awal tahun lalu adalah
awal lahirnya gejolak semangat dari dimulainya sebuah tesis. Saat aku kembali
ke ruang alat, aku bertemu Taka. Ia mahasiswa tahun ketiga yang baru saja
keluar rumah sakit. Ia terkena kanker darah, entah stadium berapa dan sedang
menjalani kemo. Ia sempat mengambil cuti untuk menjalani pengobatannya, dan
sepertinya semester ini ia kembali dengan kondisi yang terlihat lebih baik. Tidak
banyak yang mengenal Taka, karena ia selalu lekas pulang di akhir kegiatan
akademis. Bahkan ia sering absen pada beberapa jam kuliah. Namun, di jurusan
lain ini cukup terkenal. Katanya, sih ia sempat ikut tergabung pada sebuah
komunitas keilmuan dan tidak melanjutkannya. Aku menyempatkan bertegur sapa
dengannya dan terlihat bahwa ia tertarik dengan caraku berkomunikasi dan ia
mencoba memanggilku untuk menanyakan mengenai CFD. Seingatku itu cabang ilmu
aerodinamika, sebodohku juga yang mengajar CFD kurang menyenangkan dan agak
kikir nilai.
“Kalau kakak ada waktu luang bisa
beri kesempatan untuk tanya-tanya.”
“Ah, biasanya aku di lab setiap
senin dan rabu. Jam 9 sampai 3 sore.”
“Sampai jumpa, kak!”
Seperti biasanya, aku selalu
merasa seperti batu mulia yang paling dibutuhkan dalam suatu kesempatan
memberikan argumen tidak penting itu. Hal itu selalu saja terjadi begitu saja, meskipun
tesisku masih mengalami keterlambatan dalam penyelesaian, tapi orang seperti
Taka yang dikenal cukup pandai dalam bidang elektronik memilihku untuk menjadi
narasumbernya dalam memenuhi keingintahuannya akan keilmuan itu. Terdengar cukup
ganjil bagiku. Mungkin ada suatu hal lain. Tapi ia berjalan di lorong begitu
saja tanpa meninggalkan pandangan yang mengarah padaku sesekali. Apakah yang
dimaksudnya?
Aku pun memutuskan untuk pergi ke
lab tanpa pikir panjang dan melihat ada banyak mahasiswa yang sedang melakukan
kegiatan praktikum, si Garit gondrong itu yang mukanya masam menjadi sasaranku
berikutnya. Aku mengajukan banyak pertanyaan mengenai CFD padanya, kebetulan
dia juga adalah anggota lab. Setelah banyak mengajukkan pertanyaan saat dirinya
tengah sibuk mengajar, aku memutuskan pergi untuk membuat catatan mengenai CFD.
Garit merupakan mahasiswa tahun ketiga yang berada di kelas yang sama denganku,
kebetulan aku juga sering menghubunginya karena ia cukup dapat diandalkan.
Saat aku memutuskan untuk
kembali, aku melihat Danara di persimpangan jalan. Ini kesempatan untuk bicara dan
kebetulan momen ini terjadi di sore hari dimana tidak banyak orang yang lalu
lalang di area tersebut. Aku pun mempercepat langkahku dan memanggilnya,
berhadap tidak seorang pun ada yang mendengar suaraku selain Danara. Ia menoleh
ke arahku dan aku bisa melihat matanya yang mengarah padaku dibalik kaca helm
gelapnya itu. Ia menurunkan standar motornya dan membuka kaca helmnya.
“Apa?”
“Sudah makan?”
“Aku tadi bawa bekal.”
“Jajan es krim, yuk!”
“Sekarang?”
“Apakah senggang?”
“Sekiranya begitu.”
Ia memberiku alih kemudi motornya
dan duduk mundur ke belakang. Aku dengan senang hati pun lantas mengambil alih
dan memutuskan untuk berkendara keliling kota. Tidak sesuai dengan yang kuucap
memang, namun kesempatan-kesempatan seperti ini tidak selalu datang padaku. Pada
akhirnya Danara akan memarahiku karena malah mengajaknya melalang buana tanpa
arah di saat dirinya dilanda rasa lelah yang luarbiasa, aku malah membuat
hal-hal gila yang memusingkannya.
Tapi ocehan marahnya itulah yang
selalu saja ku angan-angan berminggu-minggu lalu, katakan kalau aku memang
merindukannya. Danara yang mencintai bumi siang hari, sedangkan aku gemar
menyelami bumi yang gelap gulita di kuasai sang purnama.
Ditengah ocehan marahnya, ia
masih sempat khawatir tentang keselamatanku yang tak memakai pelindung kepala. Duh,
betapa gemasnya dirinya itu. Ia juga banyak menanyakan banyak hal tentang
hal-hal lumrah lainnya, seperti tesisku. Jujur ini mengganggu dan kuberharap ia
tak menanyakan hal tersebut, tapi tentu tak bisa kuhindar. Kalau sudah kadung
begini, mau tidak mau kujawab dengan jujur sambil memelas hatiku yang sudah
surut sabar.
Setelah berlanglang buana aku
mampir pada sebuah kedai es krim, tidak dekat manapun. Tentunya ini berada pada
jalanan lain yang tidak mudah ditemui orang-orang dekat. Saat aku membawa dua
gelas es krim, aku melihatnya yang khawatir pada tugas-tugasnya. Baginya seperti
terbangkalai dan tak mampu terselesaikan, tapi bagiku itu hanya lembar-lembar
kertas tidak lebih dari itu. Kalau sudah kadung rindu, memikirkan yang lain
rasanya sulit. Namun, memutuskan untuk membuat kesepakatan yang menyulitkannya
seperti ini rasanya jadi tak tega. Seperti membiarkannya tetap dalam alih
kemudinya yang seperti biasa, membiarkan dia tetap melekat dengan semua hal-hal
yang kubenci. Dan aku tidak mampu untuk melarangnya, dan begitu pun sebaliknya.
Ini seperti tetap pada sedia kala. Seharusnya diriku mampu berubah dan aku
sering kali membahas masalah ini dengannya dan bukannya aku tak mampu, namun
keharusannya memang begitu. Aku tidak ingin ada pihak yang membuat hubungan ini
sulit ketika ada suatu hal yang dibahas dan pemikirian-pemikiran orang yang
ribet, tidak seharusnya menjadi bahan bakar api diantara kita. Sepengalamanku,
itu terjadi dan berlalu begitu saja. Dan untuk kali ini kuharap tidak begitu.
“Selesai tesisku, ini akan selesai.”
“Selesai?!”
“Maksudnya selesai itu semua
orang boleh tahu tentang kamu dan begitu pun aku.”
“Ah, begitu.”
“Kenapa?”
“Tidak. Hanya saja mengenai
gosip-gosip yang agak tidak masuk akal itu, aku mulai lelah.”
“2 bulan. Apakah 2 bulan lama
bagimu?”
“Aku nggak masalah dengan waktu. Hanya
saja, mengenai beberapa orang yang mengenalku, mereka mengira kalau..”
“Danara ada hubungan dengan orang
selain aku.”
“Ya, begitu.”
“Aku memang keberatan sih, kalau
di anggap serius. Tapi, kalau hanya gurauan seperti tidak apa-apa.”
Matanya mengarah pada suatu hal
yang lain, air wajahnya berubah masam dan sepertinya itu adalah hal yang
membuatnya malas akhir-akhir ini. Melihatnya begitu, aku jadi merasa bersalah. Tidak
seharusnya aku menariknya ke dalam masalah ini waktu lalu, kalau waktu itu aku
tidak melihatnya sebagai orang yang dapat di andalkan mungkin aku tidak akan
membuatnya seperti saat ini. Tapi kalau tidak begitu masalah yang ada tidak
akan terselesaikan dengan mudah. Bahkan dalam kacamata lain pun, dia tetap
begitu dan aku bodohnya melihatnya ke dalam perasaan yang mendalam dan menempatkannya
pada posisi genting yang kurang nyaman.
“Maaf kalau tidak bisa berbuat
lebih. Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa. Mau bagaimana
lagi.”
Setelah perbincangan itu, aku tak
lagi bertemu ataupun melihatnya di area kampus. Pesanku juga tak lagi dibalas
semenjak perbincangan itu. Aku sadar aku salah, namun tidak seharusnya ia
berbuat demikian. Hingga aku berhasil menemuinya pada Senin sore di belakang
ruangan auditorium. Aku berusaha bertegur sapa saat ada Taka di sampingku, ia
tersenyum kecil sambil mengangguk dan berlari begitu saja.
“Kenalanmu banyak juga, ya.” Ucap
Taka sambil terkekeh di sela perbincangan kita yang tak terarah. Aku menghiraukan
ucapan Taka dan berbalik mencoba meraih sesuatu yang sepertinya tampak
mustahil.
“Danara!” Teriakku mencoba memanggilnya.
“Aku terburu-buru, dagh!”
Ia berlalu begitu saja. Sial.
“Anak jurusan apa kak?”
“Kenapa tanya-tanya sih!”
Mendengar Taka bertanya demikian
malah membuat tensiku naik. Rasanya udara seperti naik beberapa derajat dan
menyulitkanku dalam memperoleh oksigen yang padahal betulan berada di depan
hidung.
Malamnya aku mencoba
menghubunginya dan untung saja ia mengangkat panggilanku. Aku memohon-mohon
untuk diberi pengertian mengenai kondisiku dan bicara banyak sekali sampai
rasanya ingin menangis. Aku bingung harus bicara apa saat aku sungguhan
merindukannya, kupikir ini seperti akhir dari segalanya bahkan tesisku yang
masih belum rampung. Kemudian Danara bicara dan mencoba menjelaskan apa yang
sedang terjadi padanya dan aku tak kuasa menahan diri setelah tahu fakta yang
tengah di alami olehnya. Aku memutuskan untuk bertemu dengannya saat itu dan
kami pun bicara cukup lama dibawah gemerlap langit yang tak berpurnama. Aku sempat
menawarkan beberapa hal, namun ia menolaknya dan berkata bahwa ia bisa
mengatasinya sendiri.
“Ada banyak hal yang terjadi,
namun tidak dapat kusampaikan. Kiranya tidak ingin membuat kepalamu yang kecil
itu menampung banyak hal-hal yang memusingkan. Kalau ada hal-hal baik, kiranya
bisa dibagi denganmu, Dean.” Ucapnya di akhir dari semua cerita-cerita yang
cukup mengejutkan.
Lantas aku tersadar, aku terlalu takut
tentang apa yang akan terjadi padaku bukan padanya. Aku bahkan membiarkannya
pada momen-momen yang menyulitkan dan mampu tega membiarkannya. Aku begitu
egois. Mungkin maksudnya adalah momen dimana ia ingin membagi hal-hal tersebut
pada momen yang tak menggangguku, tapi aku malah menetap pada momen yang tak di
ganggu ini. Tidak seharusnya begitu. Setelah kembali kerumah, aku mengerjakan
tesisku dan menghubungi Taka dan Garit. Aku meminta bantuan mereka dalam
penyelesaian tesisku agar esok aku bisa melakukan konsultasi dengan pembimbingku.
Esoknya yang kondisinya masih
sama seperti hari sebelumnya dimana waktu tidur di korupsi dan berharap Danara
ada pada hari itu. Nihil nyatanya. Aku berburu Garit di lan dan ternyata hari
ini ia tak hadir. Aku pun salah satu teman Garit untuk minta diajarkan mengenai
komposit gilaku, sebut saja Yosan. Ternyata Yosan teman sekelasku sekaligus
teman seangkatan yang kulupakan dan dia bertahan di lab karena kebutuhan lab.
Yosan sudah bekerja di suatu perusahaan produksi kabel, hari ini ia ambil cuti
kerja untuk mengajar di lab. Hebatnya lagi Yosan mengingatku yang tak
mengingatnya, ingatanku memang buruk. Untung saja Yosan baik hati mau mengajariku
mengenai material komposit. Ia memanggil salah satu temannya yang berasal dari
jurusan lain untuk membantu memberikan penjelasan mengenai komposit. Kali ini
namanya Tenggo. Tenggo membawaku ke labnya dan membantu memberikan beberapa
contoh terhadap beberapa komposit buatan para praktikannya.
Setelah menghadapi semua
keruwetan dan memaksakan kepalaku untuk mengkonsumsi semua banyak materi, aku
dengan gagah menghadapi pembimbing dengan keberanian. Tesisku dipuji sedikit
dan mengalami banyak sekali lukisan abstrak satu warna. Setelah selesai aku
mencoba menghubungi Garit untuk meminta waktunya di kemudian hari dan mengirim
pesan terima kasih pada Yosan dan Tenggo.
Benar dengan apa yang Danara katakan
beberapa waktu lalu, sedikit untuk merasakan susah atau terlalu banyak
merasakan hal-hal susah terkadang tidak apa-apa untuk mewujudkan sesuatu yang sekiranya
mustahil, pada akhirnya itu akan terwujud dan terasa memuaskan.