Di dunia yang terang, segalanya berjalan sebagaimana mimpi-mimpi terbentuk. Namun di dunia yang redup, semuanya terasa berlalu bagai mimpi buruk.
Di dunia
yang terang, segalanya berjalan sebagaimana mimpi-mimpi dilahirkan—penuh harap,
lembut, dan terarah. Namun di dunia yang redup, waktu seolah berlalu tanpa
makna, menyeret langkah seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Dunia ini
tak sepenuhnya menggantungkan harapannya pada cahaya, sebab cahaya pun makhluk
yang plin-plan—kadang muncul, kadang lenyap, datang sesuka hati. Bahkan saat
langit muram, dan badai mengguncang sepanjang hari, cahaya itu hanya mengintip,
ragu-ragu, seakan takut menghadapi gelap yang tak tahu malu, tak tahu kapan
akan enyah.
Seolah ia
pun gentar—bukan pada hujan, bukan pada angin, tapi pada kegelapan yang tak
tahu malu. Gelap yang bertahan tanpa waktu, tak tahu kapan akan pergi, dan
mungkin... memang tak ingin pergi.
Dan dalam
ruang antara terang dan redup itu, kita berjalan—terkadang berharap, terkadang
pasrah. Tapi selalu bertanya:
Apakah yang membuat kita terus melangkah?
Terang yang dijanjikan, atau gelap yang memaksa kita bertahan?
Ketika
terlalu kalut pada mimpi-mimpi yang menggelayut, tak pernah usai,
bayang-bayang
harapan muncul bak harta impian paling menggoda.
Menggugah
jiwa yang lemah—jiwa yang terus haus akan pencarian semu,
pencarian
akan kesenangan duniawi yang dibungkus rapi oleh dalih-dalih suci.
Katanya,
selama dijalani dengan cara yang “baik-baik”,
maka
jalan itu akan mengarah pada surga:
tempat
ketenteraman dan kebaikan ilahi
dijanjikan
akan diterima dengan lapang dan penuh hikmah.
Lalu
tampaklah orang-orang—
yang
duduk, berjalan dari arah mana pun,
dan
berdiri… diam, tanpa maksud melakukan apa yang dilakukan orang lain.
Namun
dunia ini—anehnya—terlalu terang benderang.
Terang
hingga semua bisa saling melihat,
terang
hingga pikiran pun terasa telanjang.
Mereka
saling menatap, saling menebak isi kepala,
saling
menilai jalan yang diambil,
seolah
tak ada ruang untuk sunyi,
tak
ada tempat untuk menjadi tanpa tafsir.
Mereka
saling menatap, saling menebak isi kepala,
saling
menilai jalan yang diambil,
seolah
tak ada ruang untuk sunyi,
tak
ada tempat untuk menjadi tanpa tafsir.
Dan
di antara tatapan-tatapan itu,
aku
melihat seseorang—dengan mata telanjang,
seseorang
yang berdiri sendiri, entah dalam pelarian,
atau
dalam kesumpekan yang tak terucap.
Ia
berdiri dalam keraguan, namun entah bagaimana,
terselip
keyakinan bahwa kehadirannya di sini
bukan
tanpa maksud. Ia seperti meminta bala bantuan,
tanpa
kata, hanya sorot mata yang tak tahu malu.
Aku
mengerjap beberapa kali.
Mungkin
itu hanyalah refleks tubuh terhadap kejutan dunia,
namun
batinku mulai berbicara,
seolah
mendesakku untuk—lagi-lagi—menjadi bijak.
Seperti
biasa, kuulurkan tangan.
Dia
meminta putih,
namun
aku memberinya ungu.
Dan
matanya menangkapnya seperti itu—ungu,
terang,
mencolok, mungkin terlalu bercahaya.
Aku
melihat jelas bagaimana ia tampak sumpek,
dan
tidak begitu ramah.
Ia
pergi begitu saja,
meninggalkan
tanda terima kasih dan berpamitan.
Lalu
aku—entah karena kecewa, atau hanya ingin tenang—
menutup
celah pintu itu rapat-rapat.
Agar
angin pun segan masuk,
agar
air hujan tak sempat menyelinap.
Badai
datang, berhari-hari, berminggu-minggu.
Lalu
cahaya matahari bangkit lagi,
tapi
kali ini terlalu panas, membakar atap rumahku.
Aku
ragu untuk mengganti atapnya.
Jadilah
aku diam, menunggu—
mungkin
seseorang yang rendah hati akan datang menolong.
Tapi
waktu berjalan,
dan
aku muak menunggu.
Aku
keluar rumah, mencari kayu,
mencoba
menambal atap yang hangus dimakan hari.
Ketika
matahari tenggelam, dan malam menggantikan,
kegelapan
menyergap seluruh tubuhku.
Putus
asa, aku bertanya pada rembulan—
tentang
cahaya yang bisa kutemui saat ia pun hilang
di
akhir hingga awal bulan.
Rembulan
menjawab pelan:
"Ambillah
putih yang dulu kau berikan."
Rasanya
mustahil.
Aku
pun kembali,
membawa
hampa, dan pertanyaan yang belum selesai.
Rembulan
menjawab pelan:
"Ambillah
putih yang dulu kau berikan."
Rasanya
mustahil.
Aku
pun kembali,
membawa
hampa, dan pertanyaan yang belum selesai.
Lalu
kuputuskan mencoba—
membakar
kayu di bawah atap yang lapuk,
dengan
keraguan yang menempel di dada.
Aku
yakin atap itu akan semakin panas,
dan
mungkin ikut terbakar.
Malam
demi malam berlalu,
atapku
menipis oleh api yang kupelihara dalam gelisah.
Aku
kembali pada rembulan,
memohon
padanya:
adakah
cahaya lain selain kobaran
yang
perlahan melukai tempat berlindungku?
Rembulan
bertanya pada mentari.
Dan
mentari, entah dari kemurahan hati atau sekadar ingin terlepas,
menyarankan
untuk menyimpan kunang-kunang
yang
katanya bisa ditemukan di ujung alam.
Setelah
susah payah kuperoleh,
kunang-kunang
itu hanya hidup seminggu pertama,
dan
mati di hari ke-8—
begitu
saja, seperti harapan yang tak dijaga.
Aku
kembali pada rembulan,
ingin
bertemu mentari secara langsung,
tapi
aku enggan. Terlalu letih, terlalu kecewa.
Pulang
dengan kesengsaraan yang menggigil
di
balik dinding hati yang mengelupas.
Hingga
waktu berikutnya, aku kembali datang,
dan
kulihat orang itu lagi—
orang
yang dulu pernah kuberi ungu,
menyimpan
putih di balik bayangannya.
Aku
bertanya pada rembulan,
tentang
keraguan dan ketakutanku.
Dan
rembulan, dengan suaranya yang dingin tapi tegas,
memberiku
keyakinan:
"Berpikirlah
dengan benar,
dan
jangan takut pada sesuatu yang belum tentu terjadi."
Siang
itu mendung sekali.
Mentari
tersembunyi di balik awan kelabu yang asing,
dan
rembulan pun entah di mana.
Tapi
aku memberanikan diri—
menghadapi
ketakutan yang menghantui siangku yang kelabu.
Aku
memohon pada orang itu untuk memberiku putih.
Dia
menyetujui, dengan syarat:
aku
pun harus memberinya warna lain,
sedikit
demi sedikit.
Dia
bercerita,
bahwa
hari-harinya terlalu putih,
terlalu
sunyi dalam terang.
Dan
ternyata, ia hanya ingin
warna
lain untuk merasa hidup.
Aku
mengerti, dan aku setuju.
Putih
itu tidak akan pernah kuberoleh sekaligus.
Harus
kuambil perlahan, dengan sabar.
Waktu
terus berlalu,
dan
aku mulai berpikir:
mungkin
dunia memang butuh pelangi—
di
antara lembah, air terjun,
atau
di punggung gunung yang diam.
Aku
mendengar itu padanya,
dan
matanya bersinar:
"Tahukah
kau, dulu aku pernah jadi pelangi—
di
lembah, di hutan, bahkan menjadi aurora."
Aurora,
katanya? Aku masih tak percaya.
Tapi
aku mengangguk, dan ia tersenyum.
Sebuah
senyum yang tidak meminta apa-apa,
selain
dipercaya.
Lalu,
saat aku menawarkan membuat pelangi di tempat baru,
ia
mengajarkanku banyak hal—
bahwa
pelangi bukan hanya enam warna,
tapi
ratusan, bahkan lebih.
Namun
ia hanya mengajarkan dasar-dasarnya dulu.
Di
awal musim semi,
kami
memutuskan membuat pelangi di lembah sunyi.
Hasilnya
amat sebentar,
dan
mungkin—secara teknis—gagal.
Tapi
dia meyakinkanku,
bahwa
semua permulaan memang seperti itu.
Dan
saat kutanya,
apa
kompensasi yang ia harapkan dari semua ini,
ia
hanya menjawab:
"Sedikit
kesejukan… dan ketenteraman."
Aku
mengangguk.
Dan
untuk pertama kalinya,
aku
merasa benar-benar bersyukur
telah
bertemu dengannya.
Hujan
datang beberapa kali,
kami
kejatuhan air dari langit, berkali-kali.
Saat
musim panas tiba, panasnya tak kalah tajam,
menyerang
kami berulang, membakar langkah-langkah
yang
dulu terasa ringan.
Hingga
suatu waktu,
ia
mengatakan keinginannya akan sebuah hunian—
bukan
batu, bukan pohon.
Kupandangi
matanya,
dan
kutanya: “Apa itu?”
Dia
hanya menjawab,
“Selain
batu dan pohon.”
Aku
mencoba menebak—
mungkin
gua?
Atau
tempat rahasia di balik gunung?
“Selain
batu dan pohon,” ujarnya lagi.
Lalu
kami terdiam.
Pikiranku
melayang,
mungkin…
ia ingin pergi ke surga.
Setelah
itu, segalanya jadi berbeda.
Kami
mulai berselisih,
meributkan
hal-hal kecil
yang
tak pernah kami pikirkan sebelumnya.
Tentang
rembulan,
yang
katanya akan tampak buruk dari dekat.
Tentang
mentari,
yang
akan terlalu panas dan mematikan bulan depan.
Ucapan-ucapannya
mungkin benar,
tapi
aku tak suka—amat sangat tak suka.
Dan
saat aku mulai ragu
menangkap
basahnya air hujan dengan tanganku sendiri,
aku
mencoba meminta bantuannya.
Namun
ia menolak.
Katanya,
“Hal-hal seperti itu
harus
kau hadapi sendiri—untuk mengabaikan keraguan
yang
bisa menghancurkan dirimu sendiri.”
Aku
ingin berlari ke hutan,
mengadukan
semuanya pada alam—
tentang
dirinya yang menyebalkan.
Tapi
aku tak berani.
Jadi
aku hanya mengeluh…
siang
dan malam.
Dan
kurasa dia menyadari itu.
Sedikit
sekali.
Kami
masih membuat pelangi selepas hujan,
tapi
tidak setiap saat.
Dia
bilang,
“Tak
boleh sembarangan melepas spektrum warna.
Ada
aturannya.”
Aku
mengangguk.
Karena
aku percaya padanya—selalu.
Tapi
ada waktu,
aku
merasa dia tidak melakukan hal yang sama.
Aku
berkata pelan,
“Apakah
ada orang lain—selain kamu—
yang
mampu membuat pelangi
melalui
air atau di alam terbuka?”
Dia
menatapku. Ketus.
“Jadi
maksudmu, kau ingin menggantikanku?”
Aku
diam.
Karena
memang begitu.
Tapi
aku mencoba,
“Bukan
begitu… aku hanya berpikir,
kau
bisa jadi cahaya dalam pelangi itu,
tak
harus selalu jadi seluruhnya.”
“Benar-benar
ingin menggantikanku,”
katanya
dingin.
Mungkin…
dia marah besar.
Tapi
tetap saja,
dia
terus meminta warna lain dariku.
Dan
aku pun terus meminta putih darinya,
yang
sebenarnya adalah ungu itu—
cahaya
ungu yang menyamar dalam pengharapan.
Sebenarnya
aku bisa berhenti kapanpun.
Karena
sekarang,
aku
sudah berpindah hunian.
Bukan
lagi batu, bukan pohon.
Dan
anehnya,
ia
tak lagi bertanya soal hunian itu.
Dia
menginginkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang diam.
Ada
satu waktu,
aku
bertanya padanya:
dengan
semua warna yang kuberikan,
apa
yang akan kau lakukan?
Dia
menjawab,
“Aku
akan melakukan sesuatu.”
Tapi
ia tak pernah bilang apa.
Itulah
momen
dimana
segalanya mulai terasa menyakitkan.
Karena
aku yakin—
ia
sudah punya huniannya sendiri,
yang
dulu begitu ia dambakan.
Asumsi-asumsi
mulai bertebaran
di
kepala yang sudah terlalu sering dihantam petir:
mungkin…
ia
benar-benar akan pergi,
membawa
semua warna yang kuberikan
dan
meninggalkanku
dengan
putih yang…
sesungguhnya
adalah cahaya ungu itu.
Hari-hari
berlalu,
penuh
lara yang tak selesai.
Aku
tersedu di tengah tawa orang-orang,
terisak
saat langit tampak cerah.
Aku
menangis pada hal-hal
yang
tak semestinya ditangisi.
Keresahan.
Ketakutan.
Dan
pikiran-pikiran mengerikan
menghantui
setiap waktu,
setiap
hari—
bahkan
saat aku hanya ingin sekadar berpikir.
Setelah
sekian lama,
aku
berhenti bertanya.
Bukan
karena semua telah kutahu,
melainkan
karena aku mulai paham,
bahwa
pertemuan kami dulu bukan karena takdir yang romantis,
tapi
karena kebutuhan alam yang mendesak.
Kami
dipertemukan oleh cuaca,
oleh
perubahan langit yang memerlukan warna,
oleh
badai yang butuh jembatan cahaya untuk mereda.
Saat
itu, aku adalah tanah lembap yang baru saja dilewati hujan,
dan
dia… dia datang sebagai pelangi,
bukan
untukku—
tapi
untuk dunia yang harus dia warnai.
Kami
tak pernah benar-benar memiliki satu sama lain.
Kami
hanya bekerjasama,
menambal
langit yang robek oleh petir,
menghias
udara yang kosong setelah hujan panjang.
Tapi
aku, yang bodoh dan penuh keinginan,
mengira
dia datang karena aku.
Mengira
putih yang ia minta dan ungu yang kuberi adalah milik kami.
Padahal
ia hanya lewat.
Singgah.
Melaksanakan
tugasnya sebagai pelangi.
Lalu
pergi.
Kini
aku mengerti—
bahwa
setelah ia tak kembali,
setelah
hunian selain batu dan pohon tak pernah terjelaskan,
setelah
ia tak lagi menanyakan warna,
ia
mungkin telah menemukan langit baru
yang
lebih luas,
yang
lebih membutuhkan dirinya.
Ia
menjadi pelangi yang lain,
di
tempat yang lain.
Mungkin
bukan di lembah ini,
mungkin
bukan untukku lagi.
Tapi
aku harap,
di
tempat itu,
ia
bisa memantulkan semua warna yang pernah kuberikan
dengan
cahaya yang tak lagi tersembunyi.
Dan
aku…
aku
tenggelam dalam sisa-sisa kabut.
Dalam
ragu dan luka yang sempat kupeluk erat.
Aku
menyelami malam-malam tanpa cahaya,
meraba
atap yang nyaris hangus,
mendekap
angin yang dinginnya tak lagi memintaku menunggu.
Namun
dari sana,
aku
mulai mengenal diriku sendiri.
Bahwa
aku adalah tanah yang tak pernah berhenti menerima hujan.
Bahwa
aku adalah udara yang tetap bertahan setelah badai.
Bahwa
aku pun bisa belajar memantulkan cahaya,
meski
bukan sebagai pelangi seutuhnya—
setidaknya
sebagai embun pagi
yang
jujur dan lembut.
Pelan-pelan,
aku tak lagi menangisi kepergiannya,
karena
aku tahu,
ia
tak pernah benar-benar milikku.
Ia
hanya alam yang sedang bekerja,
dan
aku—bagian kecil dari alam itu,
sedang
belajar menerima.