Pantofel lusuh hitam yang kusam dimakan waktu seharian dengan kegiatan yang bisa dibilang ngga karuan. Cuma diajak bergurau dengan senior-senior yang bercanda-serius, tapi sungguhan.
Pantofelku yang hitam, yang lalu sempat diburu kakakku di pasar, bahkan sampai orang-orang heran. Kenapa ukurannya begitu lebar, padahal usia penggunanya masih di bocah ingusan. Tentu bisa dibilang, ngga wajar.
3 hari berlalu, kegiatan pagi yang mana angkutan saling bersahutan-sahutan di samudra metropolitan. Alas kaki pantofelku lepas. Kalau berhenti disini, bagaimana nasib kakakku? Yang telah berburu pada rimba pasar sore itu. Batinku rapuh. Belum lagi angkutan biru mulai mendadak terburu-buru melaju, tapi aku diambang pilu dengan pantofelku yang makin lusuh.
Ku pungut karet gelang yang terlantar diantara mata yang mengedar. Kuikat alasnya di kakiku dengan karet, walau mustahil tetap kuseret kakiku, berharap tak seorang pun tahu betapa sulit kakiku melaju.
Rasa tanah yang kering dan basah, sampai rasa bebatuan yang tak indah berhasil mengusik nyaman yang tak ada pada kakiku. Rasanya seperti tidak ada rasanya, mati rasa.
Siang itu matahari begitu terik, namun masih belum ada senior yang berbelas kasih pada kami yang terjemur kerontang ini.
Hebatnya aku, masih percaya bahwa tak ada yang mengira bahwa pantofelku masih hebat membalut kakiku. Angkutan-angkutan ganas dengan jalanan yang tak rata berhasil kulalui dengan kegelisahan luar biasa. Tak payah aku bersembunyi dengan menyeret kaki, atau mengangkat perlahan supaya orang kira masih layak pantofel ini.
Sampainya dirumah, kakakku menangkap pantofelku yang bisa dibilang tak lagi dianggap baru. Selepas dibeli seminggu yang lalu.
"Besok beli sepatu."
Katanya begitu, malah membuat hatiku sendu.