Ketika perasaan mengudara ke langit-langit plafon kemudian dihantam habis-habisan dengan kondisi yang sebenarnya. Selalu ada keinginan merubah keindahan menjadi petaka secara estetik, namun semuanya harus senantiasa berjalan tentram dan sunyi dalam relung yang tidak sekokoh beton. Mati itu bukan solusi dari permasalahan ketidaksesuaian dari hal yang setidaknya masih bisa dikatakan secara wajar, tapi barusan isi kepala mendidih hingga meluapkan emosi sebesar pualam. Lagi-lagi ingin mati sudah seperti harapan dan mimpi yang seharusnya tidak menjadi hal yang dibawa tidur. Anak-anak kecil selalu bermimpi mengenai masa dewasa yang sekiranya seperti apa mereka nantinya. Jadi berguna, jadi yang paling di idamkan, atau jadi diri sendiri. Tapi sejak usia bertambah, kegaduhan dalam pening merajalela hingga yang dikatakan mimpi itu hanya serta merta harus dibawa tidur untuk kepuasan diri sendiri. Mimpi itu ibaratnya, tidak ada perumpamaannya karena orang yang menulis ini setengah dari jiwanya yang bebas juga kehilangan cara bagaimana menyuplai oksigen, mudahnya ia lupa cara bagaimana hidup tentram. Isi kepalanya hanya kesakitan, kedengungan, keberisikan, dan kekosongan yang hampa. Kita cari pelarian, dari kesengsaraan itu kita mencari penghiburan berupa kesulitan yang lain. Jadi tidak ingin mati, tapi kadang-kadang ingin. Kemudian menjadi sakit lagi dan terbaring dalam kemiskinan nurani. Jadi fakir kebaikan. Hasilnya sekarang bukan lagi penghiburan tapi ketentraman dalam jiwa rohaniah dan batiniah.