Alasan aku mau mati.
Orang-orang semacam Sein mungkin tidak akan ambil pusing kalau membaca kalimat itu. Toh, itu hanya sepenggal kalimat tanpa ada makna yang tersirat. Karena Sein adalah orang yang dingin dan cuek bukan main.
"Alasan 'kau' mau mati!"
Sein merubah kata ganti 'aku' menjadi 'kau' dengan suara yang nyaring dan melihat ke arahku dengan serius. "Kau mau mati?!" Barusan ini adalah pertanyaan serius yang tidak pernah aku kira dari respon seorang Sein. Kedua alisnya bertekuk dan membuat pertigaan di dahinya. "Apa kau serius menulis ini?"
"Memang kenapa?"
"Kau mau mati?"
"Tentu, tidak!"
"Lantas kenapa menulis judul seperti ini?"
"Sepertinya kau harus baca keseluruhannya."
"Aku tahu kau suka menulis. Tapi, bukankah kau setidaknya membuat judul yang menarik perhatian?!"
"Kelihatannya kau tertarik. Bukankah aku berhasil?"
"Sua..."
"Kau hanya cukup membaca apa yang aku tulis. Ada banyak alasan mengapa aku benci orang-orang mengetahui akun blog-ku. Seperti kau."
"Ini tidak menarik!"
"Kalau begitu, jangan dibaca!"
"Apa alasanmu ingin mati?"
"Kenapa kau tidak membacanya saja?"
"Aku ingin lihat raut wajah saat kau menulis itu."
"Alasanku..."
Setelah mengetahuinya dia pergi. Dan kami tidak pernah berinteraksi lagi. Mata kami pun tidak pernah saling bertemu, wajahnya selalu mengarah pada yang lain. Singgasana tempat ia bernaung seakan adalah neraka kedinginan yang menyeramkan dan ditumbuhi semak belukar. Sampai musim berganti dan kelas kami terpisah. Dan aku merasa di asingkan dari dunia yang tidak aku ketahui ini. Sein seperti menghilang dari hidupku, atau ...
Aku yang menghilang dari hidup ini.
Harusnya aku menulis alasan aku mau mati adalah ketika kehilangan sesuatu dimana aku menjadi ketergantungan terhadap hal itu secara cepat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Aku kehilangan motivasi dan euforia bahagia ketika bersama teman-teman yang membawa suasana menyenangkan. Aku kehilangan semua itu dan aku sadar taman ini tak lagi dipenuhi tanaman berduri dan bunga-bunga tapi dijadikan kuburan.