Kalau diceritakan mungkin dia akan berpikiran bahwa saya ini adalah orang yang aneh. Saya ada sedikit masalah dengan pikiran saya, jadi ketika saya agak terkejut oleh suatu hal yang keluar dari ekspektasi saya. Maka saya akan berpikir 'tidak seharusnya begini atau begitu', saya sedang mencari pengalihan lain dengan bicara dengan orang lain untuk mengalihkan isi kepala saya. Namun, saat itu orang-orang sedang tidak nyaman untuk sekedar diajak bicara omong kosong. Saya hanya gemar bicara pekerjaan, rutinitas, gurauan aneh dan yang ada di kepala saya seperti 'david gadgetin update apaya? Atau butuh asupan tatanan linguistik baru.'
Saya sedang mencari celah-celah dari rasa takut saya pada hari itu, maka saya mencari-mencari tapi tidak dapat menemukan apapun. Saya tidak merasa nyaman dengan yang ada dikepala saya, jadi saya mencari-cari lagi. Tidak ketemu. Akhirnya saya memilih tidur. Kemudian saya bangun. Kepala saya masih terasa sama. Saya masih belum bisa menerima kenyataan. Lantas, saya mencari-cari lagi sesuatu yang sekiranya cocok dengan saya. Wah, ada orang baru datang dan hendak memulai pembicaraan. Sayangnya dia pergi. Kepala saya sungguh ingin pecah. Asam mefenamat tak lagi berguna. Keberadaan saya mulai dicari. Saya harus lekas kembali. Namun, saya masih mencari-cari sesuatu yang sebenarnya tidak akan ditemukan kalau saya hanya sekedar mencari tanpa mau bertanya. Saya migrain lagi kemudian ingin menangis. Saya masih belum bisa menerima kenyataan yang sebenarnya, jadi saya memutuskan untuk pulang dan berharap tidak ada seorang pun yang bertanya lagi ketika saya ingin pulang.
"..."
Tapi orang itu lagi-lagi bicara, mengajukan pertanyaan yang tidak bisa saya dengar dengan jelas.
"Tidak sekarang. Aku ingin pulang" jawab saya.
Saya harap dia paham betul kondisi gila yang saya hadapi. Sebenarnya bukan masalah yang serius atau sesuatu yang penting. Ini hanya masalah kecil yang terlalu dibuat-buat besar dan saya tidak bisa menerima fakta bahwa saya salah dan telah mengubah seseorang menjadi terlihat terlalu asing.
Saya terlalu takut dan malu mengakui bahwa saya salah. Saya juga tidak terbiasa dengan kondisi saya yang belum bisa terbuka dengan orang lain. Ini bukan masalah kepercayaan tapi masalah... Yang terlalu lebih dan terlalu berlarut-larut.
Saya hanya ingin ada wanita disamping kemudian memeluknya, atau sekedar mengusel dibalik tubuhnya. Atau bersandar di punggung atau dibahunya. Atau menggandeng tangannya kemudian mendekapnya.
Namun, orang itu sekali lagi mengajak bicara
"Kemarin dirumah fadil aku dikamarnya sendirian, dan begitu ..."
Mungkin kita sama, namun agak lain.
"..." Samar-samar saya lupa bicara apa namun mengucap sambil terisak.
"Ayo pergi."
"Aku lagi ngga mood."
"Maka dari itu.."
"Aku takut merusak suasana. Aku pulang."
Saya terlalu egois sehingga harus membingungkan orang lain begitu. Seharusnya saya harus berpikir lebih jernih dan menolak ajakan dengan sopan sambil tersenyum dan memberi salam, bukan dengan memalingkan wajah dan berlalu begitu saja. Saya lelah dengan kepala saya, andai orang-orang paham itu. Tapi diri saya sendiri tidak mampu memahaminya.