Orang-orang Rengsa Danara

Bagaimana kalau Danara tidak lagi kesulitan untuk menyimpulkan semua pemikiran-pemikiran yang ada di kepalanya? Bagaimana kalau Danara adalah seseorang yang praktis dalam berpikir dan dia sebenarnya adalah penganut realistime? Bagaimana kalau Danara memutuskan untuk menjadi demikian?

Fin mungkin tak akan lagi mencoba menggodanya di lorong kelas sambil memuji bagaimana kecantikan yang melekat pada diri Danara adalah sebuah Anugerah terindah yang diberikan oleh yang kuasa untuk dikagumi para kaum manusia di muka bumi, begitu pun dirinya yang amat terpesona terhadap karya cipta paling agung itu. Bisa dibilang Fin agak gila. Tapi pria yang usianya sehari lebih tua dari Danara itu gemar sekali menggodanya, mengeluh-elukan suara di balik telepon ketika suatu hal urgensi yang mengharuskan dirinya hadir namun dirinya malah bergelut dengan ranjang lapuknya yang amat nyaman itu. Suara Danara dibalik panggilan itu tampak terdengar seperti melodi harmoni yang malah membuatnya ingin kembali nyenyak dan bersatu pada mimpi yang belum usai. Ah, Danara! Tukasnya dalam benak sambil menggeliat di ranjangnya yang menyakiti dirinya itu.

Atau Ethian dan Arga. Sejoli manusia ini gemar sekali berdampingan kemanapun mereka menjumpai manusia, tampak mereka selalu lekat satu sama lain baik perangko yang melekat dengan amplop surat. Lucunya lagi, Ethian lebih gemar menggoda Arga dan Danara. Menjodohkan mereka dan hal itu membuat Arga kesal bukan main. Ethian juga gemar memuji setiap wanita yang melintas, betapa cantiknya, betapa moleknya, dan bahkan pujian-pujian itu tidak lepas dari imbuhan ‘istriku’ kepada setiap wanita yang masuk dalam pandangannya. Tapi kalau ada pacarnya di sampingnya, sikapnya akan berubah menjadi pribadi yang pendiam dan dingin. Makanya, Danara lebih senang menggoda Ethian di depan pacarnya karena ia tahu bahwa Ethian tidak akan membalas perbuatannya itu. Lalu kemudian Arga akan menjadi korban keganasan sarkasnya Ethian, semua kekesalan Ethian akan disalurkan kepada Arga sambil kesal-kesal.

“..kan maksudku juga bukan begitu. Kenapa kamu malah menuduhku begitu?!” Suara Arga mengisi seisi ruang lab. Amarahnya begitu terdengar saat ia sedang berbicara dengan Ethian dari panggilan telepon. “Apa, sih?!”

Danara melihat ke arah Arga dan memberi isyarat untuk mematikan panggilan telponnya. Memberikan alasan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih penting bahkan menarik ketimbang Ethian. Lantas Arga menurut dan berbicara bahwa ada panggilan telpon dari ibunya.

“Lagi-lagi marahan.”

“Kamu pasti akan tahu sifat aslinya kalau dia sedang bersama pacarnya.”

“Begitu, ya.” Danara menyodorkan buku dan laptopnya ke hadapan Arga. “Bagan yang ini kamu isi sesuai isi buku ini. Aku mau ke toilet sebentar.” Kemudian Danara berlalu begitu saja meninggalkan Arga yang masih kesal bersama teman-teman yang lain.

“EH, nona manis satu ini dari hari ke hari makin cantik saja. Sepertinya kamu terlalu banyak dianugerahi rahmat tuhan sampai bercahaya seperti itu.” Di lorong kelas, tepatnya setelah anak tangga terakhir Fin yang duduk di anak tangga dan beberapa temannya sedang merokok. Sepertinya sedang menggunakan waktu senggang mereka. Fin yang bersandar pada dinding bangunan lantas mematikan rokoknya dan menghalau Danara yang makin kebelet itu.

“Halo, kak Danara!” Sapa yang lain sambil mengulas senyum pada Danara.

Makin kebelet bukan main.

“Tuan muda satu ini juga tampaknya seperti cendekiawan yang pandai merangkai kata-kata manis. Aku sampai terpukau terhadap pujianmu. Sebelumnya terimakasih.”

“Wah, aku juga turut senang diapresiasi seperti itu. Jadi, apakah aku sudah bisa mengajakmu kencan ke seni pertunjukan teater lusa? Kesempatan tidak datang dua kali, loh!”

“Tampaknya pengerjaan laporan penelitianku lebih menarik ketimbang melihat para pelakon di panggung sandiwara.”

“Kedengarannya penelitianmu menarik sekali. Bagaimana kalau aku ikut serta di dalamnya?”

“Kalau denganmu malah tidak menarik kedengarannya.”

“Kalau dibarengi sambil minum kopi berdua kelihatannya akan tampak menarik.”

“Lebih terdengar membosankan.” Danara mengambil sebatang rokok yang terlihat pada saku kemeja hitam yang Fin kenakan. “Bukannya tidak ingin, tapi kalau tubuhmu agak wangi sedikit mungkin aku mau.” Kemudian melangkah pergi.

Sekembalinya dari Toilet, di persimpangan lorong menuju Lab (pada jalan alternatif untuk tidak bertemu Fin) Danara bertemu dengan Ben, salah seorang teman yang lainnya. Beberapa hari belakangan ini ia menghindari Ben, orang itu belakangan ini terlihat menyeramkan, seperti memiliki dua tanduk dan sepasang taring yang siap menerkam siapapun yang apabila tidak sesuai denga kehendaknya. Kalau kadung begini biasanya butuh ucapan yang dibumbui taburan gula warna warni.

“Yang mulia paduka raja agung. Hai!”

Benar saja, kumisnya yang tebal itu tak berubah diantara kedua sudutnya. Tidak ada senyum maupun balasan sapaan atau yang lainnya. Arah matanya pun hanya sekejap melihat ke arah Danara dalam sepersekian detik, kemudian beralih pada lembar fotokopian yang tebalnya diluar nalar.

“Kemejamu hari ini tampak mengesankan. Sedikit memberikan warna lebih pada air wajahmu yang agak kurang mendukung, ya.”

“Ada apa?”

“Mau kopi?”

“Boleh.”

Mereka pun berakhir dengan duduk di sebuah balkon lantai dua sambil membahasa mengenai prospek agenda-agenda yang sekiranya akan bertabrakan dengan aktifitas akademik mereka. Secangkir kopi hitam panas dengan sebotol air mineral di tempatkan yang menempatkan mereka diantaranya. Aroma kopi robusta yang pekat tertiup angin dan dicumbu oleh Danara yang pada akhirnya sadar bahwa pusingnya itu bukan dari aroma kopi yang ditiup angin, melainkan catatannya yang berantakan.

“Aku lebih senang saat kamu memberitahuku mengenai kesulitan yang kamu hadapi. Seakan itu seperti membagi beban yang ada dikepala kecilmu itu padaku. Sering-seringlah begini.”

“Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi?”

“Yah, sekiranya aku akan berusaha untuk membantumu dalam banyak hal dan selagi aku bisa bantu. Aku akan mengikutimu. Walau itu hujan deras sekali atau terik sekali, bahkan disaat aku dihujani rasa malas dan kantuk berlebih. ”

“Sambil menangis?”

“Kalau itu pasti kujamin. Iya. Tapi, janji tidak di depanmu.”

“Di sampingku juga boleh.”

“Aku janji tidak akan menangis di dalam jangkauan yang masuk dalam pandanganmu. Suaraku juga tidak akan didengar olehmu.”

“Aku minta maaf kalau sampai harus merepotkanmu sejauh itu, tapi membiarkanmu untuk melakukan hal tersebut sebenarnya juga hal yang diharuskan olehmu, itu wewenangku. Jadi, terima kasih banyak. Sabar, ya. Sebentar lagi semua ini selesai.”

“Kamu juga harus kuat, ya.”

“Terima kasih.”

POV_Danara

Hal yang paling aku takutkan adalah mengecewakan Ben. Membiarkannya pusing sendirian dan aku selalu saja takut pada sikapnya itu. Aku selalu saja enggan untuk memberinya pertolongan, karena kupikir dia akan baik-baik saja bersama orang-orang yang dipilih untuk masuk dalam lingkaran yang dimilikinya. Aku selalu saja ragu untuk sekedar mampir ke dalam lingkaran yang dimilikinya itu. Sebenarnya bukan ragu, kadang tak ada waktu dan takut suatu kali malah aku yang kecewa dan menjadi jauh lebih sensitif ketimbang sebelumnya. Aku takut Ben sendirian menghadapi semuanya, aku seringkali menanyakan apakah dia pergi atau melakukannya sendirian dan tentunya dia akan memberitahuku bahwa dia bersama temannya sehingga aku pun menjadi tak lagi khawatir. Semoga saja Ben bisa mengatasi kesulitan yang di hadapi, walaupun aku sangat ingin ikutserta dalam kepusingannya. Setidaknya dia tidak sendirian.

Ketidakhadirannya di kelas seringkali membuatku khawatir, sehingga aku harus menghubunginya berulang kali. Kadang dia terlalu pulas tidur dirumah, kemudian melupakan kelas pagi di jam pertama. Terkadang lebih baik melihatnya tertidur di hadapanku, akan tampak wajah lelahnya yang seketika membuatku iba dan tak kuasa untuk membangunkannya padahal waktu sudah melewati 30 menit, aku akan tampak bodoh duduk di samping orang tertidur.

Namun, suatu kali aku melakukan hal seperti biasanya. Menghubunginya ketika presensinya tak ditangkap oleh atensiku. Pesan darinya masuk dan memberikan sebuah pernyataan yang membuatku bingung dan langsung mengatur strategi untuk bicara pada pengajar.

Tepat saat namanya dipanggil, aku seketika mengatakan bahwa Ben mengajukan izin pada pertemuan ini. Sialnya Ben membohongiku, suaranya terdengar dan disusul gelak tawa para penghuni kelas.  Faktanya dia sudah hadir setengah jam yang lalu dan aku memang tidak menangkap presensinya sejak tadi. Aku malah menangis. Seharusnya tidak begitu, cukup merasa kesal saja. Pesan Ben masuk dan tampil pada layar kunci. Tertulis sebuah permintaan maaf yang tak berani aku baca.

 

 

Biasain panggil 'ara'

Seorang manusia yang memiliki sepenggal kalimat untuk mencintai dirinya sendiri

Posting Komentar

Kamu sebaiknya tahu mengenai tata krama umum yang biasa digunakan. Disini saya memiliki bagian hampir semuanya. Jika ada yang ingin ditanyakan silahkan dengan kata yang baik.
Terima kasih telah memenuhi standar untuk berkunjung.

Lebih baru Lebih lama