Diantara lintasan yang terbentang antara aku dan kau, ada sebuah dinding pemisah yang membiaskan bayangan kita berdua.
Di usiaku, ketakutanku terhadap hal tersebut bukan lagi lelucon seperti saat masa-masa muda, ketakutanku adalah kegagalanku untuk dapat mewujudkan keinginanku
Diantara lintasan yang terbentang antara aku dan aku, ada sederet kalimat yang selalu tersampaikan padamu. Mengenai semua yang melekat erat padamu, semua hal yang menjadi ciri khasmu. Namun, itulah hal yang sulit dapat diterima dengan tangan terbuka.
Aku melihatmu diantara hembusan angin yang menerbangkan dedaunan dengan riuhnya, tanpa arah dan tujuan, dikendalikan dengan semaunya, dan begitu pun aku yang mulai menyadari setiap hal sederhana yang tidak sengaja terjadi. Tentu saja hal tersebut mustahil menarik perhatian orang dengan gelagat yang sumpek sepertimu.
Kalau bisa aku menyapamu dengan menyebutkan namamu, namun keluh adalah bagian dari lidahku.
Bisakah sulit seperti itu menjadi kemudahan untukku?
Aku melihatmu diantara lintasan cahaya yang mengudara-diantara kita dengan sangat menyilaukan dan suara ramah itu selalu saja ada memenuhi genderang telingaku.
Tanpa ingin melihat jarak yang jelas menampakkan bentuk lekuk wajahmu yang terpatri nan apik dengan senyum indah yang selalu mengulas ramah itu menghadap padaku.
"Kenapa ya? "
"Apa?"
Dengan mudahnya melontarkan pertanyaan itu dengan ramah dan ulasan senyum yang senantiasa terpatri disana.
Jelas aku bingung harus bersikap bagaimana kalau tidak mengatakan
"Tidak apa-apa."
Tapi kali ini seperti cahaya yang jatuh dari langit yang gelap gulita dan kau jatuh tepat di dekatku-dengan sentakan yang begitu cepat-menghiraukan detik yang tak lagi berlaku. Apa barusan itu?
Jelas aku ketakutan. Namun ini kedua kalinya.
"Jantan sekali." Umpatku yang sebetulnya terdengar seisi ruangan. Dan semuanya riuh tertawa, terkecuali kau. Kemungkinan akan menandai diriku sebagai orang yang sangat tidak menyenangkan..
"Suaranya seperti pria."
"Wah, suara PRIA!!"
Aku memang tidak tahu malu. Namun, jika saja kau memberitahu bahwa hal itu tidak menyenangkan bagiku, tentunya aku akan menyampaikan maaf sampai maafku menjadi obat menyenangkan untukmu.
Kejadian ini berulang dua kali, kau muncul dari balik tubuhku dan aku selalu saja terkejut mendapati hal-hal diluar dari yang aku bayangkan. Aku menutup mulutku dengan mengatupkan kedua tangan, kemudian wajahmu akan mengarah padaku sambil tersenyum ramah dan bertanya
"Kenapa?"
Aku benar-benar terkejut sampai jantungku berdetak begitu cepat keluar dari ritme yang sebelumnya. Aku lantas bingung membedakan sebenarnya ini terkejut atau takut, atau bahkan perasaan yang lainnya.
"Tidak apa-apa." Suara kecilku berusaha menggapai gendang telinga namun tak sanggup. Dan berakhir dengan pengulangan pertanyaan yang sama sehingga menimbulkan persepsi dari dalam diriku bahwa yang barusan kau adalah orang yang mencurigai diriku mengumpat mengenaimu.
"Kenapa?"
"Ada apa?"
"Apa ya?"
"Tidak apa-apa sungguh! Tidak ada apapun!"
Kemudian
"Maaf ya "
Berakhir begitu saja dengan punggungmu yang hilang dimakan oleh jarak nan jauh.
Seringkali wajah itu gagal masuk dalam pandanganku yang kecil ini, karena batas kemampuanku. Namun, jujur inderaku masih dapat menangkap bayanganmu yang lusuh itu. Berdiri tegap dengan wajah serius, menyendiri diantara banyak orang yang tidak seharusnya membuatmu begitu.
Harusnya aku menyapamu, tapi tidak demikian. Aku menghindarmu, melupakan bagaimana caranya bertegur sapa dengan orang-orang. Aku membenci itu. Aku ingin berteman baik denganmu. Aku ingin menjalin sebuah hubungan antara dua orang dengan melibatkan suatu ketertarikan antara dua manusia yang bisa saling menyesuaikan keadaan satu sama lain. Bukan sebagai hal yang kebanyakan orang pikirkan.
Ada hal yang harus aku ketahui mengenaimu, andai aku bisa mengenalmu dan menjadikan hubungan kita lebih dari sekedar kenalan.
Sekiranya apa? Teman baik.