Ghastlier
Awal mulanya aku ini lebih dari seorang pemberontak yang membenci sebuah pertikaian. Tapi pada akhirnya aku jatuh hati dengan sebelah mata yang sebagiannya tertutupi oleh surai-surai kusam rambut kecoklatan milikku. Dia seseorang yang lebih pantasnya aku hujani dengan ribuan pukulan malah menjatuhkanku, bahkan hatiku dalam suatu pandangan yang buta.
Aku jatuh hati pada sosok monster yang memakai topeng My little pony tersenyum manis sambil menyodorkan pisau di atas nadiku, yang sekali-kali akan menghilangkan sebagian tanganku. Pangeran pemikat wanita yang amat sangat rupawan. Jung Jaewon. Bunga yang tertiup angin bahkan menari-nari menyambut kedatangannya, oh betapa tidak manusiawi dirinya sangat mengingat dengan tega membisikkan bahwa ada yang lebih menarik ketimbang diriku, kemudian menamparku.
"seorang pria yang memikatku.." begitu katanya.
-Jungwoo-
Ia masih terdiam dalam raga yang penuh keganjilan, entah pilihan apa ini? Dihabisi oleh para preman sekolahnya atau babak belur oleh kakaknya sendiri? Tentu keduanya bukan pilihan yang lebih baik. Jungwoo hanya ingin hidup tenang untuk sejauh ini. Ada keinginannya menjalin hubungan sosial dengan beberapa teman dan membayangkan bagaimana ia bisa bercanda ria di atap sekolah sambil merasakan hembusan angin yang akan menerbangkan rok para anak gadis, kelihatannya menyenangkan dan dia- dan juga beberapa temannya-kemudian mulai menggoda murid perempuan. Kemudian mendapatkan satu untuk jadi tambatan hati, memulai kencan pertamanya dan begitulah keinginannya. Tapi ini sungguh cerita naas yang berimbas kepada Jungwoo yang sebenarnya tidak berpihak pada siapapun, bahkan dirinya sendiri tidak berada dibawah naungan sang kakak. Seingatnya, beberapa hari yang lalu ia hanya membela dirinya saat perkelahian yang juga melibatkan kakaknya, padahal dia berlari berlawanan arah dengan sang kakak saat kabur. Dia melakukannya untuk dirinya sendiri, karna kakak perempuannya adalah seorang pembuat onar yang selalu terlibat dalam semua masalah. Tapi disisi lain ia merasa ada suatu kewajiban melindungi kakaknya yang sungguh sialan itu, tapi dirinya benar-benar tidak menginginkan sebuah bencana besar nantinya.
Selama langkah kakinya menuruni tangga stasiun ia menahan gemetar, dirinya agak sedikit takut untuk pergi sekolah. Ia tidak bisa menghiraukan semua kejadian yang terus-terusan terngiang di kepalanya. Rasanya seperti candu, tapi bukan atas kemauannya sendiri. Dia tak ingin terjerumus pada lubang yang sama dengan sang kakak, ia tak ingin pengasingan yang lebih jauh lagi. Ia tahu mungkin sebentar lagi Neneknya itu akan mengirim mereka berdua ke panti asuhan karna kelakuan buruk sang kakak yang tak pernah surut, tidak seharusnya dengan dia. Cukup si kakak. Berandalan itu harus benar-benar pergi agar hidupnya lebih tentram. Bahkan tanpa sang kakak ia masih bisa menjalani hidup ini, karna kelak ia akan menjadi seorang pria yang menjadi pekerja kantoran, menjalani wajib militer sebagaimana kewajiban di negaranya, mengencani seorang wanita dan kembali bersama saudara-saudaranya yang lain. Sekarang dia hanya harus pergi ke sekolah berikan surat tersebut kepada wali kelas kakaknya dan menjalani aktivitas di sekolah seperti biasanya.
Jungwoo yakin Jika ia berpisah dengan si kakak kelak, dia akan membuat kisah hidupnya menjadi sedikit lebih baik dari sebelumnya, entah itu hanya sepertiga dari kehidupan sebelumnya, setidaknya dia memerlukan sebuah perubahan.
Dan sekarang hampir pukul setengah 9, ia baru mendapatkan bus ke arah sekolahnya. Setelah bergelut dengan pemikirannya sendiri yang setiap waktu terus bercabang, ia lantas menarik ujung tali ranselnya dan menarik nafas sesaknya yang tertahan sedari tadi. Menyakinkan atas apa yang sedari tadi terus direnungka olehnya. Awali cerita yang lebih baru hari ini.
"Ayolah, man!" Begitu cara dirinya menyemangati dirinya pagi ini. Bahkan ada beberapa bulir keringat di pelipis yang menanti di seka oleh angin.
Ia lantas menaikinya tanpa ragu dan bertemu dengan beberapa murid dari sekolahnya, tentu dari seragamnya. Ia mengenali salah seorangnya yang dulu sempat berada dalam tim sepak bola yang sama,
"Jay!" panggilnya begitu.
"Oh, Jung!"
Dari sapa menyapa, mereka pun terlibat sebuah pembicaraan yang memiliki topik lumayan menarik sampai melupakan ketegangan yang Jungwoo alami.
Sesampainya di sekolah, langkah kakinya yang sejak jauh-jauh tadi gusar kini melangkah dengan entengnya bersanding dengan tungkai Jay. Mereka melangkah beriringan dengan beberapa temannya, tanpa beban dan diselingi sebuah obrolan yang menyiratkan sebuah senyum diantara keduanya.
"Kalau bukan karna cedera aku tak akan pernah berhenti berlari mengejar bola. Semenjak itu aku juga berhenti dalam kegiatan lainnya. Lomba lari, kalau tidak ada cedera aku yakin dapat menduduki peringkat satu." Jungwoo ingat betul bagaimana seorang Jay yang saat itu berlari dari sudut lapangan dan tiba-tiba mencetak gol, walau akhirnya pada semi final mereka kalah setidaknya mereka sempat meraih mimpi yang sama sejauh itu. Jay adalah orang yang sederhana dan gigih dalam melakukan sesuatu yang dia sukai. Bahwasanya Jay tidak sendirian, ia adalah salah satu orang dari banyak yang sempat mencicipi manisnya kehidupan walau akhirnya ia akan benar-benar jatuh pada sebuah pilihan yang menyesakkan.
Lantas Jungwoo meraih pundak Jay untuk mensejajarkan langkah kaki mereka. "Aku tahu kenapa, itu adalah peringatan untukmu agar tidak terlalu banyak melakukan hal yang berlebihan. Masih ada banyak kegiatan yang harus kau lakukan, seperti halnya membantu ayahmu."
"Yah, benar saja, Jung! Ayahku bahkan sangat senang kalau aku pulang lebih awal. Terkadang memang apa yang terbaik untuk kita bukan pula yang lebih baik untuk orang lain."
"Aku mendengar seperti sebuah rahmat tuhan.. Hahaha..."
"Ah, kau ini!"
"Aku dan kakakku selalu pergi ke tempat peribadatan, dan aku ingat bagaimana cara seorang pemimpin ibadah mengatakannya sama seperti yang kau lakukan."
"Aku merasa di agungkan, hahaha...."
"Nanti kau di kutuk, loh!"
"Kudengar kakakmu bermasalah, ya?" Dan tiba-tiba Jungwoo dihadapi pertanyaan yang menyudutkan dirinya, ia teringat mengenai surat permohonan pindah sekolah yang diberikan padanya tadi. Ia tiba-tiba merasa panik untuk sepersekian detik dan kembali pada dirinya yang tenang "Kalaupun begitu, kau harus sabar, jung! Kadang takdir memang seperti itu."
"Maksudnya?"
"Awalnya kupikir kakak perempuanmu itu sama sepertimu, bahkan lebih manis darimu. Malah kau yang menjadi murid teladan di sekolah ini, semoga namamu masih baik."
"Memangnya aku ini manis?"
"Coba kau tersenyum." Kemudian Jungwoo menurut dan tersenyum. "Aku saja laki-laki mengira itu senyum seorang loli."
"Apa kau bilang?!"
"Jung, sudahlah! Kau tak pantas berteriak begitu. Kau itu lemah lembut, manis dan kau tahu semua yang melekat pada loli?"
"Jay, apa kau sungguh berpikir aku ini manis?"
"Tidak, sekarang aku ingin buang air kecil."
Dan langkah mereka berdua pun hilang di keramaian lorong kelas.
Saat istirahat makan siang Jungwoo pergi ke kantor guru dan memberikan surat tersebut kepada wali kelas 2-2, ia sempat dihantui beberapa emosi yang membuatnya terus merasa tak tenang, Tengkuk lehernya terasa begitu kaku dan ada beberapa atmosfer dengan suhu yang membuatnya tak nyaman di beberapa bagian tubuhnya. Ia tiba-tiba mengingat bagaimana kakaknya yang sempat tidak naik kelas karna bermasalah dan hal itu mengakibatkan mereka berada pada tingkat yang sama. Untung saja mereka tidak di tempatkan dikelas yang sama pula, membayangkannya saja sudah mengerikan dan untung saja hal tersebut tidak terjadi. Wali kelas si Kakak juga tidak terlalu banyak bicara, beliau hanya membolak-balikkan kertas keliahatannya ia mencoba berusaha percaya terhadap setiap tulisan disana. Ia sempat menanyakan mengenai tempat bersekolah kakak nantinya, dan bahkan sempat memberi semangat untuk terus belajar kapada Jungwoo. Mungkin pihak sekolah juga menyetujui permohonan pindah sekolah yang kakaknya ajukan itu, semoga setelah ini ia tidak dihantui rasa ketakutan dan waspada terhadap beberapa murid yang sempat dihajar oleh kakaknya.
Jungwoo kehilangan minat untuk makan siang karna serangan panik yang terus-menerus menghantamnya membuatnya sedikit mual dan tegang di sekitar lehernya, lantas ia kembali ke kelas untuk melakukan hal lain yang menengkan pikirannya. Tapi, ia malah bertemu Herin. Mantan pujaan hatinya yang kini menjadi saingannya dikelas.
Saat wajah mereka bertemu, mata Jungwoo bahkan mencari sesuatu yang menarik ketimbang Herin yang mengenakan sepatu dengan sol yang 3 senti lebih tinggi sehingga jarak diantara keduanya hampir tidak terlihat. "Hai, jung! Tidak makan siang?" Begitu sapanya dengan senyum yang biasanya Jungwoo lihat setiap harinya, jelas bukan suatu hal istimewa. Bahkan pemandangan yang begitu merusak pandangannya.
"Aku sedang diet." Sahutnya ketus sambil memasuki kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Ah, begitu." Herin mencoba mencari topik lain untuk membuat perbincangan menjadi lebih menarik. "Demi mempertahankan wajah manismu, ya? Ngomong-ngomong mengenai kakakmu..." Dan ada hal yang benar saja begitu dinantikan Jungwoo, sesuatu yang begitu ia benci belakangan ini.
"Herin, kau tahu tidak? Ciumanku itu bisa membuat orang bisu seketika."
Kali ini Jungwoo benar-benar bicara omong kosong, bahkan tak ada narasi setelah jeda begitu panjang. Mereka berdua bahkan melewatkan salah seorang teman yang sekedar menyapa saat melintas. Dan kini rasa mual yang di derita Jungwoo semakin bertambah dan ia memutuskan untuk melangkah pergi setelah melihat senyum Herin yang seakan-akan memberi instruksi untuk mengakhiri perbincangan mereka saat ini.
Tak ada yang begitu baik sampai berakhirnya hari ini, kakaknya terus menelponnya. Entah apa yang tengah terjadi Jungwoo tak ingin tahu, hari ini adalah perbatasan waktu diantara hari-harinya bersama sang kakak yang begitu buruk dengan hari-hari yang cemerlang pada esok hari tanpa kakaknya. Dan setelah melihat matahari pada petang, pertanda waktunya latihan sepak bola di lapangan. Persetan dengan semua kekacauan, Jungwoo sudah mulai menjadi seorang yang dewasa dan ia memiliki sebuah pilihan untuk menentukan seperti apa masa depannya.
Dan itu sekarang.