Arsip: Family (Sekuel)

Time : 11.04 

Date : 29/10/2019


Matheus

Tito

Ethan herbeth

Sandrra Gracies

Eda Wibilhout

Everous

Jennie Facchini

 

 

Patahnya Tulang Rusuk Adam

Ada banyak cerita dari pengandaian yang merujuk pada kebosanan. Gambarannya seperti melamun sekarang, kemudian membayangkan hal-hal yang berjalan tidak seperti kenyataan.

Dahulu kala sebelum aku bisa mengenali nama sendiri, ada banyak orang yang kuanggap dewasa di sekeliling pandanganku. Mereka membicarakan sesuatu yang tidak dapat kumengerti, orang dewasa pada dasarnya telah mengenal apa itu kehidupan sebenarnya. Kehidupan yang nyata, yang terdiri atas rasa sakit, rasa pengampunan, kebahagiaan yang menyedihkan, perjuangan yang mematikan, dan rasa pahit diujung lidah yang dapat membuat mereka bertahan hidup. Orang dewasa memiliki pola untuk menjalani kehidupannya dengan teratur, seperti ayah yang selalu bangun pukul 5 pagi lebih awal dari siapapun di rumah dan pulang paling telat sampai menuju pagi, 2 pagi. Kupikir dewasa itu sesuatu yang berat, gambarannya seperti ayah dan pekerjaannya. Tapi semakin aku tumbuh, pada akhirnya aku membuat konklusi dari Dewasa itu sendiri yang dapat diartikan, bahwasanya kehidupan dewasa bukan suatu hal yang baik, itu bergantung dibagian mana kau memiih kehidupanmu. Entah itu sisi bagian tergelap atau sisi bagian yang sangat terang bahkan tak bisa dilihat.

Sejauh ini aku hidup selama 14 tahun, dan sisi kehidupan yang kudapatkan sejauh ini adalah seperti lampu yang redup. Katakanlah seperti senja. Tidak seindah seperti katanya, ini membosankan dan kebanyakan orang mengatakan bahwa diriku yang abu-abu ini hidup di lampu yang remang-remang.

Senja terlalu indah disebut, siluet yang akan tampak saat mentari tenggelam di ufuk barat meninggalkan sebuah cahaya oranye-kemerahan, banyak orang menyukainya dan tidak sedikit pula yang menganggap fenomena itu adalah peristiwa alam biasa yang selalu terjadi. Hidupku mungkin seperti sore, hendak menuju gelap dan menghabisi terang yang perlahan sirna.

Ethan mengatakan diriku masihlah bocah yang senang dengan iming-iming kembang gula-gula. Ethan hanya mengatakan itu tanpa tahu siapa bocah yang hidungnya nyaris patah karna ditendang dengan dengkul seorang anak gadis, dasarnya otak Ethan memang tidak berguna. Semenjak hal itu aku menilainya adalah seorang  manusia dengan otak udang, dan tentunya tidak berguna. Kakak ku bilang untuk tidak lagi mendekati Ethan Herberth kalau hidupku tidak ingin binasa dari dunia ini. Ethan itu kepunyaan Ayah dan sebaliknya, jadi hal apapun yang membuat masalah akan bermasalah juga dengan Ethan, termasuk anak kandungnya sendiri.

Natasha. Kakakku, acapkali mengingatkanku mengenai sosok Ayah. Ada betulnya aku menghormati Pria tua yang usianya lebih dari setengah abad itu, tapi Nay selalu saja terpaku dengan Telenovela. Kalau pada dasarnya Fiksi itu diangkat dari imajinasi seseorang yang mengembangkan dari kenyataan sesungguhnya, bukankah Fiksi sama saja dengan Kenyataan? Hanya saja perkembangan otak manusia terlalu pesat untuk berimajinasi sejauh itu dan enggan untuk memikirkan inti dari cerita fiksi tersebut. Lagipula aku sendiri takut terhadap Nay. Wanita itu terlalu indah untuk dibenci, dan dia sudah kuanggap seperti seorang Ibu. Tepatnya aku memiliki banyak sekali Ibu. Tapi aku hanya menganggap dua dari banyaknya wanita yang mengganggap aku adalah putrinya. Natasha dan Ibuku sendiri, Ibu kandungku yang melahirkanku.

Berbicara mengenai Ethan, dia adalah anak dari Ayahku dengan wanita lain. Dengar-dengar Ethan bukan anak kandung Ayah dan aku berharap akan hal itu, tapi sikap Ayah selalu Terlihat menyayangi Ethan ketimbang Aku, Nay, dan Veryl. Ethan mendapatkan segala yang diinginkannya, sedang aku dan saudaraku yang lainnya tidak pernah berharap apapun. Toh, pada dasarnya Ayah hanya akan mendengar lalu

 

SOPHIA & ROTHION

Keluargaku tidak sedamai yang dibayangkan, juga tidak seburuk yang dipikirkan. Takdir tidak bisa disalahkan, tapi saat aku bertanya pada ibuku "apakah ibu mencintai ayah?" dia lantas tersenyum padaku. Jadi aku berpikir sejauh ini mereka menikah atas dasar cinta bukan cerita tentang hati ibu yang terluka oleh pria selain ayah, tentu bukan. Seorang pria jauh sebelum ayah dan ibuku bertemu. Sepertinya juga bukan. Awal cerita, tentang keluarganya yang tidak sengaja menjatuhkan begitu saja sebagai keturunan, bagiku ini bukan suatu adat, tapi aku yakin itu. Sangat jauh sekali untuk menceritakan awal bagaimana hubungan kedua orang tuaku perlahan menurun.

 

Intinya seperti ini. Wanita itu menikah dan memiliki beberapa anak-lalu bercerai kemudian, karna memiliki suatu masalah yang tidak dapat kujabarkan. Wanita itu kemudian menikah lagi dengan seorang pria dan memiliki beberapa anak, tapi ada sesuatu yang tidak dapat kumengerti. Apa sebabnya anak-anak dari pria kedua yang dinikahinya tidak menyukai ayah mereka? Tidak, maksudku tidak semuanya. Ibuku salah satunya, tapi suatu hari aku melihat pria itu. Di usiaku yang tidak mengetahui apa-apa aku tidak bisa mengatakan bahwa dia adalah ayah dari ibuku. Sosoknya baik, penuh cerita menyenangkan dan berhati mulia. Aku pikir wanita itu pernah suatu kali menyesal untuk mengakhiri hubungannya dengan pria yang pertama dinikahinya atau karna pria itu terlalu banyak memiliki anak dari banyak wanita, lantas wanita itu merasa kasih sayangnya perlahan hilang. Tapi cerita-cerita yang diturunkan pada anak-anak dari suami pertamanya sangat baik, tidak menciptakan suatu pikiran negatif pada ayah mereka.

Sedangkan wanita itu melahirkan cerita-cerita yang jauh dari kata agak baik pada anak-anaknya. Dan semua anaknya mengagungkannya, menggambarkan dengan indah, superior, hebat, dan semuanya yang menyangkut pautkan pada kebaikan.

 

Jadi kupikir ini menurun pada keluargaku. Beberapa dari kami mengagungkan ibu dan memikirkan posisi ayah yang buruk. Semuanya. Sebelum cerita-cerita yang membuat kami berpikir lebih dalam lagi tentang menempatkan ibu di tempat lebih baik dan bagaimana agar pikiran kami kepada ayah tidak merujuk pada hal-hal lebih buruk. Aku tidak bisa menyakinkan pada diriku bahwa Steve; kakak tertua kami akan membuat keputusan dengan otaknya yang selalu mengepul di udara.

 

Di usiaku yang belum sepenuhnya menginjak dewasa, aku mencekoki semua kenyataan itu dalam kegilaan yang tanpa ingin tahu batas-batasan. Kepergian banyak orang-orang yang kukenal baik, meninggalkan relung besar dalam rongga hidupku.

 

Aku tidak bisa mempertahankan kebijakan ibu untuk meminta perpisahan dari ayah.

 

Karna kupikir, aku bukanlah orang yang dapat membuat perubahan besar saat memberi keputusan. Aku hanya mencoba merendahkan diri kepada mereka yang berjiwa optimis, mengalah untuk mereka yang ingin meraih bintang-bintang di langit. Aku harap aku adalah batu-batu kecil yang membuat mereka lebih tinggi sedikit.

 

Orang-orang baik harus pergi membawa dosa mereka. Ayah dan ibu butuh perpisahan,- Steve berkata seperti itu padaku. Jadi aku mencernanya seperti, ibu tak lagi mencintai ayah. Pria itu juga sudah sering kali menghubungi salah seorang wanita selain ibu di ponselnya, walau aku tidak tahu betul. Intuisiku seakan berkata benar dengan prasangka-prasangka buruk yang merujuk pada ayah, tidak sepenuhnya aku. Bisa saja aku menyalahkan ibu. Toh, sejak aku tidak betul-betul mengetahui nama ayah, ibu sudah sering menceritakan keburukan ayah. Pelajaran untuk membedakan yang mana patut di contoh dan mana yang buruk untuk tidak dilakukan,-katanya. Secara verbal seharusnya aku membenci ayah, tapi ibu melarangnya. Aku jadi membenci keduanya, itu tidak benar. Aku lebih membenci diriku sendiri.

 

Meja hitam itu kini tergantikan sebagai tidak berpenghuni dan tidak memiliki fungsi apapun. Padahal ingatanku masih sangat kental tentang makan malam bersama anggota keluargaku di sore hari. Aku menghancurkan tofu yang ibu sajikan di atas meja hitam itu. Kami duduk melingkar di meja tersebut, aku yang paling ramai, dan aku pula yang dilempari banyak celotehan tentang bagaimana harus bersikap layaknya anak gadis idamannya. Dan mulai mengungkit tentang jepitan rambut yang terbang kalai di lemari, aku hanya melihat ayah tertawa disela mengunyah makanannya tengah memihak padaku,

 

"Karakter setiap anak itu berbeda. Punya ciri khas masing-masing" -kata ayah dengan memberiku sepotong tofu. Aku tidak berpikir, dia seburuk apa yang ibu katakan. Aku juga ingin memihaknya suatu kali, tapi Steve dan kedua saudaraku lainnya hanya menyimak pembicaraan itu. Mereka seperti berharap buah yang manis dari biji yang direbus,

 

"Aku memberi arahan sebagai mestinya. Menjadikan lebih baik nantinya. "

 

Aku tidak benar-benar merasakan hambar pada makan malam, tofu mengambil alih rasa menyedihkan malam itu. Aku bisa menyaksikan bagaimana pertengkaran itu terbentuk. Steve awalnya bungkam, dia sudah sejauh ini bertahan dari neraka kecil yang dibuat tanpa kesadaran dan berhasil melihatku, dia harus terus melangkah, menguatkan pijakannnya dan terus bertahan.

 

Jadi ibu tidak hanya tersenyum saat itu, matanya memantulkan cahaya yang tergenang air. Rambutnya yang memutih sangat berantakan saat itu, aku sering kali menyentuhkan, memilah-milah untuk membandingkan kedua warna yang menghiasi kepala ibu.

 

"Pernah. "

 

Kupikir ibu bosan dengan benang kusut yang tercemar banyak tinta pewarna. Jadi, kelabu.

 

Ibu butuh sebuah perubahan. Seperti kepercayaan, tanpa suara yang membuat hatinya terus loncat keluar, dia butuh obat pereda nyeri setiap kali pulang dari kelelahan, atau lebih sarkasnya tidak pernah puas pada hasil yang ayah peroleh. Ini menyangkut dengan harga perabotan dirumah dan atas nama siapa mereka berada dirumah ini.

 

Mungkin ibu juga melakukannya pada ayah, tidak melayani sebagai mestinya, atau ayah yang memiliki selera diluar ekspetasi ibu. Itu hanya seperti menyajikan segelas air dikala ayah pulang kerja, menghargai kerja kerasnya, dan mensyukuri hasil yang telah diperoleh. Lalu bagaimana dengan cerita ibu mengenai ayah yang selalu menghilang tiap kali kami membutuhkan uang untuk biaya kelahiran atau dana sekolah, sehingga ibu harus mengemis pada saudaranya. Lalu bagaimana dengan wanita-wanita selain ibu yang kudengar memiliki hubungan dengan ayah?

 

Kalau boleh, aku ingin sekali memenggal kepala mereka. Agar terjauhi dari dosa-dosa yang akan menunjukkan mereka pada lubang neraka.

 

Lubang neraka? Bukankah keluargaku sendiri yang membuat neraka kecil itu ada, sebagai penghuni rumah kami.

 

….

Akhir musim penghujan, Kasur kami basah lagi. Genangan air di kamar belum kunjung surut, ayah bilang saluran air dirumah kami sedang rusak. Aku dan kakak ku terlanjur menyetrika Kasur dan hal itu menghabiskan waktu yang percuma, jadi steve memarahiku sore itu saat hujan lagi dan genangan air di kamar semakin meninggi. Terpaksa aku dan Rale tidak tidur malam itu, hujan juga tak kunjung berhenti, api di perapian pun padam saat angin dingin menyapu lingkungan sekitar tempat tinggal kami. Ayah menyuruhku untuk menjaga Rale, malam itu sangat dingin tanpa kobaran api yang menghangatkan. Rale tidak sepenuhnya sakit tapi ada sesuatu yang selalu ayah takutkan mengenai Rale, sebenarnya bukan Rale  tapi tentang suatu kisah yang selalu diingat ayah di masa lalu. Tentang karma hidup.

Aku pernah mendengar cerita itu saat aku duduk di bantalan kursi kereta kuda menuju kota, keadaanku setengah mengantuk tapi dapat mendengar suara di sekitar. Sebelumnya, setelah bongkar muat perabotan rumah ayah banyak bicara dengan seorang kusir kereta. Mereka terlihat cukup dekat dan saling merangkul bahu, kemudian dalam ingatanku hanya melekat sebuah objek kedua punggung yang saling berdekatan dan suara mereka yang renyah.

“… Putraku. Aku menyesalinya atas perbuatanku di masa lalu, a

 

 

 Pada dasarnya aku membutuhkan diriku.

Sejak kecil Ibu telah menerapkan pendidikan mengenai menjadi anak rumah tangga yang baik dan menjadi seseorang yang berguna dimasa mendatang. Ini kedengarannya membosankan dan membuat suntuk bagi Ibu-Ibu rumah tangga kebanyakan, tapi bagi keluargaku ini sudah hal yang lumrah. Mengenai Singgasana kami berada. Tempat yang selalu dituju tanpa alasan yang jelas, tempat seseorang untuk menyatakan pulang tanpa melakukan apapun dengan jelas setelah sampai, lebih tepatnya sebuah tempat peristirahatan sementara dari sibuknya dunia luar yang kelewat bising. Tempat kami bertemu, saling melihat, bertukar topik pembicaraan untuk saling berinteraksi melalui kontak-kontak indera yang kami miliki dan membangkitkan sensasi emosional dari beberapa permasalahan. Tempat seorang Pria dengan tahta Ayah berkuasa, dan dimana yang bernaung sebagai Ibu mendeklarasikannya. Sungguh hebat struktural yang diawali dari dua insan menjadi bagian paling rumit yang sulit dipahami. Dan aku dengan kewajibanku sebagai yang terkecil, memiliki kewajibannya sendiri untuk memperlakukan rumah sedemikian rumah. Istana neraka kecil ini tempat berpulang, jadi aku mendapat bagian yang kedengarannya mudah. Dan pada dasarnya memang seperti itu. Bermula sejak usia menginjak kesadaran anak 7 tahun yang harus merelakan Nay dengan pendidikannya diluar kota. Mengenai Ibu, dia memiiki waktunya sendiri dengan pekerjaan yang amat di cintainya, sama halnya dengan si Ayah. Si Tukang pergi Gelap, pulang Gelap. Katanya untuk memenuhi kehidupan, butuh perjuangan sebesar mungkin. Dia juga terkadang kembali dengan sekarung nasi dan beberapa lauk pauk. Saking banyaknya kita memberinya kepada para tetangga dekat rumah, entahlah kupikir dari sebuah perbuatan itu kami akan memiliki kemakmuran atau semacamnya tapi sejauh ini katakanlah berlawanan dari itu.

Saat Nay pergi aku yang masih kecil saat itu diambil kepengurusannya oleh Ibu. Tapi dalam hal lain Ibu hanya mengingatkan. Yah, dia hanya memberi contoh dan bicara sangat banyak setelah itu, sangat panjang dan tetap aku penasaran akan hal apa yang setelah itu terjadi. Tapi lambat laun dari pakaian yang basah menjadi kering di jemuran, dari gelas-piring-perabotan lain yang berserakan menjadi bersih dan tertata, dari lantai yang kotor menjadi bersih dan agak berkilau untuk ditiduri. Ibu selalu mengulang apa yang dibicarakannya, entah itu mengenai kisahnya di masa lalu atau cerita dari salah seorang temannya. Aku terlalu suntuk sehingga mencari pengalihan selain sekolah dengan mengerjakan pekerjaan rumah. Lalu setelah lama kemudian suatu pemikiran membuat aku bertanya-tanya mengapa aku melakukan semua ini? dan bukankah ini adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang Ibu? Tapi itu kembali pada keluargaku lagi. Mungkin saja apa yang Ayah dapatkan tidak sesuai dengan keinginan Ibu atau ada banyak kemungkinan yang lain.  Jadi aku tetap melakukannya, dari sekolah yang sekiranya hanya bergulat dengan buku aku mendapatkan pekerjaan di singgasanaku sendiri. Dengan caraku aku melakukannya, entah itu sampai dengan terdiam di depan televisi dan tidak berapa lama kemudian celotehannya menyambar.

“Sudah lama beristirahatnya? Sudah setengah 12. Mengulur-ulur waktu juga bukan hal yang bagus, letihnya mungkin sudah larut.”

Itu katanya, sesaat kemudian baju sudah waktunya untuk dibasahi dan diberi serbuk sabun, lelahku dipeluk dingin dari hembusan angin yang sejuk. Disalami air yang menggenggam tanganku, kelihatannya seperti dewa Poseidon disana. Lantas itu semua berakhir menuju malam, saat matahari mulai letih karna kehadirannya yang tepat waktu setiap saat tidak disambut baik setiap harinya. Tapi esoknya aku yakin matahari akan bersinar lagi karna ini masih bulan Maret. Yah, bulan aku dilahirkan.

Kepulangan Ayah disusul Steve pada pukul 11 malam. Sedang aku menghabiskan waktu di tempat peribadatan  bersama ibu untuk menghabiskan waktu sejauh itu. Waktunya sangat lenggang, sehingga aku mengisi dengan beberapa hiburan dari televisi. Dan Ibu berkutat lagi dengan pekerjaannya

 

Keseharianku tidak melulu mengenai sekolah dan pulangnya di isi dengan pekerjaan membenahi rumah, ada kalanya waktu berbeda untuk menjadi reaksi lelahnya atas kesuntukan kegiatan sehari-hari. Awalnya hanya bermulai berbincang dan perbincangan tersebut menjadi suatu hal yang serius, kemudian ditengah perkumpulan yang jarang terjadi ini timbulah suatu konflik yang memanas. Bicara dengan nada tinggi, suara barang jatuh, dan suasana yang menaikan suhu tubuh. Kemudian tiba-tiba diam dan beberapa hari setelah itu timbulah dua aliansi berbeda yang ingin memerdekakan haknya.

Ibu mulai sakit-sakitan, dan ayah lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Toh, ayah juga akan merasakan perasaan yang tidak mengenakan bila berada dirumah, dan lagi-lagi singgasana kecil ini harus berakhir menjadi pengungsian perabotan rumah tangga dan tempat membersihkan diri. Lingkungan luar adalah kebebasan, semua suaranya tak akan pernah disalahkan, kalaupun dia disalahkan pasti akan ada yang membenarkan. Semua peraturan pun terdengar seperti gemerisik semak-semak yang tertiup angin di musim gugur, berpikir-pikir apakah itu seekor rubah atau hanya kucing yang buang air?

Perpisahan. Untuk mengambil bagiannya sendiri pun butuh waktu bertahun-tahun karna mereka menjalani ini semua sudah begitu lama.


Biasain panggil 'ara'

Seorang manusia yang memiliki sepenggal kalimat untuk mencintai dirinya sendiri

Posting Komentar

Kamu sebaiknya tahu mengenai tata krama umum yang biasa digunakan. Disini saya memiliki bagian hampir semuanya. Jika ada yang ingin ditanyakan silahkan dengan kata yang baik.
Terima kasih telah memenuhi standar untuk berkunjung.

Lebih baru Lebih lama