Agak sulit sebenarnya hidup di kesengsaraan ini.
Kesengsaraan yang sebenarnya di buat oleh diriku sendiri semata-mata hanya
unutk sebuah karya yang tidak berharga. Tapi, di balik itu semua ada anugrah
yang di sengaja di dobrak dengan paksa. Sesuatu yang menarik kerah kemejaku dan
melihat ke kedua mataku dengan iris matanya yang menusuk dalam ukuran yang
besar dan kalau di perhatikan sepasang alis tebal dan tergaris lurus itu
terlihat tampak tegas dan agak menyeramkan.
Barusan itu adalah anugrah yang tidak kusadari
menghujaniku dengan paksa agar aku terlahir dengan sebuah bakat. Setidaknya
anugrah begitu baik padaku, walaupun tindakannya tersebut terlihat agak kasar,
tapi dia datang untuk kebaikanku, untuk menempatkanku diantara orang-orang
hebat dan bersinar oleh cahaya rahmat tuhan yang esa. Anugrah datang dan turun
padaku untuk menjadikanku orang yang berbudi pekerti, bertata krama, dan
memiliki potensi dalam hidup.
Ketika aku memaksakan diri untuk terjun ke dalam
jurang atau mendaki sebuah dinding yang curam atau pulang menyebrangi lembah
tanpa dasar, mungkin aku akan terus terjatuh, akan merasakan perasaan terjatuh
untuk waktu yang lama. Pikiranku akan menyeruak masuk dan menghantamkan diriku
pada marmer yang kasar. Kemudian aku akan merasakan kesakitan luarbiasa dalam
beberapa saat- dalam beberapa sekon dan kemudian berjam-jam sampai sulit
membedakan pikiran dan ucapan yang masuk dalam kepalaku. Telinga rasanya tak
dapat mendengar, hanya sekedar mendengar suara degupan jantung yang memompa
lebih cepat dan gambarannya seperti aku hilang dalam pikiranku sendiri.
Gampangnya. Pikiranku itu menyesatkan. Dan aku
akan tersesat dalam pikiranku sendiri. Hidupku penuh ketakutan terhadap hal-hal
yang belum kupijaki. Aku terus-menerus berpikir bahwa sesuatu hal yang kukehendaki
tidak akan berjalan seperti apa yang terbayang olehku, jadi aku akan berpikir
bertolak belakang dengan kenyataan yang akan kuhadapi, kemudian menjadikannya
gambaran masa depan yang akan kupijaki dan pada kenyataannya semua prakira itu
diluar dari apa yang pernah terpikir olehku. Kemudian aku akan berusaha keras
semaksimal mungkin untuk mewujudkan apa yang ingin di wujudkan, tapi pada
akhirnya pikiranku mengarahkanku untuk tidak terlalu yakin dengan hal-hal
seperti itu. Ambisiku terhadap kesuksesan akhirnya turun menjadi pesimisme yang
selalu kutertawakan dengan suara parau yang kering, seperti tercekik oleh
kesulitan-kesulitan yang tak akan mendapatkan titik temu dan hanya akan
menyiksa diri. Aku akan kehausan oleh kesuksesan, keberhasilan dan nilai-nilai
baik dan seakan aku akan mati bila tidak menggapai itu. Lalu aku akan
memusatkan pikiranku pada sebuah gerak tubuh yang aneh dengan gerakan-gerakan
yang tidak sinkron dan hal itu akan membuat penilaian orang terhadapku bahwa
aku ini bukanlah orang yang patut untuk mencapai keberhasilan. Padahal, aku
melakukan itu untuk mengesampingkan pikiran-pikiran yang mengganggu. Tapi, pada
akhirnya aku akan tersesat di antara kalimat retoris yang sebenarnya harus di
jawab.
Ketika awan kelabu, maka kenangan pilu akan
menjamu.
Beberapa hari lalu ada sebuah tawaran yang
menarik. Tawaran mengenai kursi jabatan di sebuah instansi. Jabatannya cukup
tinggi dan mungkin akan menarik jika aku berhasil menuliskannya di lembar
portofolio hidupku nanti. Bahwasanya aku pernah berada di posisi mencekam dan
berhasil melaluinya. Tapi, lagi-lagi aku merasa ketakutan terhadap bulan ini.
Bulan September. Bulan ini sebenarnya hanya salah satu dari 12 bulan yang ada
di kalender, tapi dari dalam diriku sendiri menilai lain terhadap bulan
september ini. Bulan september adalah bulan kesembilan di kalender, lebih
tepatnya aku menghitung dari tahun lalu mengikuti perhitungan 12 bulan. Aku
ragu-ragu mengungkapkan hal ini. Bulan Desember merupakan puncak luarbiasa dari
stress berat yang harus kuhindari, tapi seharusnya aku terbiasa dengan
momen-momen ganjil menegangkan yang membuat pusing kepalang yang selalu menjadi
pengulangan momen berulang. Aku takut tak bisa merasakan kenyamanan dari kasur
tidur, tidak dapat merasakan kehangatan dari balutan selimut; basahnya air yang
menyapu tubuh, panasnya terik matahari yang menyengat bagian luar dari tubuh,
rasa lapar di setiap harinya dan aku tidak ingin tidak merasakan candaan yang
membuat perut sakit di waktu senggang dengan orang-orang yang hidup di
sekelilingku. Aku tidak ingin merasakan itu hanya dengan sekedar saja, aku
ingin benar-benar merasakan itu dari dalam tubuh dan mengalir di hampir seluruh
bagian tubuh, mulai dari tiap lapisan kulit, mengalir ke pembuluh darah bahkan
seperti kalut dalam emosi-emosi seperti itu.
Aku takut terhadap pikiran-pikiran orang
terhadapku, penilaian-penilaian orang terhadapku yang sudah menyumbangkan segalanya
dengan sukarela. Segalanya yang bahkan mereka pikir itu hanya sebuah kata
pemanis untuk menarik perhatian mereka. Segalanya yang bahkan itu hampir
menjadikanku objek lain di mata orang lain. Segalanya meliputi keluargaku, tetangga,
orang-orang di tempat umum, mereka yang memperhatikan keluh kesahku di beberapa
akun media sosial, dan bahkan anggapan tuhan pada tindakanku. Dan bahkan diriku
sendiri merupakan bagian dari segalanya yang telah kusumbangkan dengan
sukarela.
Dari bentuk kerutan di dahi yang membuat
pertigaan, sunggingan di sudut bibir, tatapan mata sebagian, dan bagaimana
orang-orang berbicara tanpa melihat ke arahku itu seakan menjelaskan secara
tidak langsung bahwa aku ini bukanlah orang yang menarik atau tidak pantas
untuk berada di pusat perhatian. Aku ini membosankan. Dan mereka tidak peduli
terhadapku. Dan ketika aku melihat sepasang tangan yang di letakan menyilang di
depan perut – dengan kedua kaki yang duduk menyilang dan matanya mengarah
padaku dengan serius sekali. Seakan orang tersebut hendak mengetes seberapa
mampukah aku menyelesaikan bicaraku, atau seberapa hebat cara bicaraku untuk
menarik perhatian orang atau mencari kesalahan-kesalahan yang kuperbuat, walau
itu hanya mengigit sudut dalam bibirku, menurutku itu sebuah kesalahan besar
yang harus mendapat cemohan secara verbal maupun tindakan. Semua yang melekat
padaku adalah ketidaksempurnaan yang menjijikan, walaupun aku berusaha keras
untuk melakukannya dengan baik. Hal itu dan mereka semua akan menganggap lain hal-hal
yang sudah anggap sebenarnya. Orang mungkin melihatnya ini ada tipuan atau
semacamnya untuk menarik perhatian, tapi aku memang melakukannya untuk
mengalihkan jalan pikirku yang tersesat.
Kau paham? Aku melakukan sesuatu yang salah
walaupun aku tidak melakukannya. Dan itu adalah kesalahan yang harus di tebus
dengan suatu hal yang amat sangat mahal dan sulit.
Percayalah, sulit untuk tetap berada disini, tapi
aku harus merubah ini menjadi sebuah hunian yang pantas untuk di lihat, di
tinggali, di nilai dan bahkan menetap untuk selamanya. Entah bagaimana caranya
aku menggapai dan menjalaninya dengan benar sesuai dengan kaidah yang tuhan
sampaikan melalui rahmat-rahmatnya dan menurut aturan dasar kehidupan.
Pada saat aku menulis ini, aku berharap lupa,
tapi tidak ingin juga. Aku hanya tidak ingin menjadi lebih khawatir terhadap
hal-hal biasa atau rendahan. Aku tidak ingin merasa khawatir, cemas, dan takut.
Tapi, kehidupan yang normal adalah keterlibatan perasaan-perasaan itu pada
kehidupan dan cara bagaimana kita mampu menghadapi hal-hal itu. Mungkin menulisnya
mudah, tapi setidaknya ada motivasi untuk hidup setelah menulis ini.