Baru saja.
Baru sekali.
Barusan ini, orang-orang menatapku dengan pasang-pasang mata yang seakan tidak melihat ke arahku, seperti tefokus pada ekor mata mereka dan raut dari wajah itu di tumbuhi di beberapa sisinya sebuah kerutan yang membentuk sebuah makna ketidakpedulian dan ketika aku menangkap semua tatapan itu dengan rakus, aku sulit sekali menempatkan pikiranku yang sebelumnya tertata dengan keagungan dan sebuah hal-hal hakiki dengan susunan yang berurutan- kemudian berubah menjadi ledakan yang memporak-porandakan isi sekaligus sekelilingnya setelah aku berhasil menyimpulkan arti dari tatapan tersebut. Mereka tidak melihatku sebagai sesuatu yang seharusnya sesuai dengan kedudukanku, mereka melihatku hanya sekedar seorang manusia yang ada dan hidup. Hanya sekedar itu. Mau peduli atau tidak itu lain halnya terhadapku, karena aku hanya sekedar manusia yang ada dan hadir untuk memenuhi ruang yang kosong.
Saat aku mulai berbicara dan sepatah kata terlontar dengan suara yang di kalahkan oleh suara nafas mereka, suaraku hanya sekedar suara yang goyah dengan suara lainnya. Bahkan, angin pun mengalahkanku. Kemudian ketika aku mulai kembali membangun tembok kepercayaan diri dari balok-balok yang sudah ku siapkan beberapa tahun ke belakang, aku tergoyah, tersudut, kemudian jatuh lagi hanya dengan tindakan seseorang yang saling menyikut sambil tertawa. Orang-orang barusan tidak peduli, dan aku pun ingin bertindak demikian pula.
Lantas, aku bangkit lagi sambil menyusun kembali balok-balok tersebut sedemikian rupa. Tapi, ucapanku yang barusan, yang hendak tersampaikan seakan tersudut dengan kerutan di antara alis seseorang yang melukiskan sebuah pertigaan.
Lagi-lagi aku mudah goyah dengan gestur-gestur kecil yang orang-orang biasa lakukan untuk meluapkan sebuah emosi standar yang biasa mereka lakukan. Lalu, aku diam dan berpikir. Apakah barusan orang itu melakukan tindakan tersebut kepadaku atau hanya sekedar melakukannya? Kemudian fokusku terpencar entah kemana karena hanya sebuah gestur yang sebenarnya tidak harus di perhatikan.
Diamku itu berpikir dan pikiranku itu hampir menyesatkan diriku sendiri. Contohnya seperti ini, saat ini aku hanya hendak berbicara di depan khalayak ramai dan pikiranku ikut serta dalam hal tersebut. Mencampuri urusan yang tidak seharusnya aku lanjutkan, pikiranku berpikir bahwa orang-orang disana menilaiku dengan catatan yang buruk mulai dari penampilan, metode penyampaian sampai bagaimana latar belakang kehdiupanku yang seharusnya memang tidak pernah ada di sana. Aku pikir itu 'orang-orang itu', nyatanya itu pikiranku sendiri. Aku terlihat seperti seorang penuduh. Aku ingin menjernihkan pikiranku, dengan sebuah pernyataan bahwa semua orang melakukan hal tersebut dan hal tersebut adalah sebuah kenormalan yang biasa terjadi. Jadi, aku melanjutkan bicaraku dengan menenangkan diriku yang hampir terbawa oleh pikiranku yang menyesatkan.
Ketika aku menyadari hal-hal tersebut aku akan melihat kalender dan memastikan bahwa ini bukan akhir tahun. Ini bulan september dan seharusnya aku tidak se-stres ini. Ini september dan kupastikan bahwa aku masih harus duduk tenang dengan memusatkan diri pada momen-momen yang menyenangkan, menghindari ingatan-ingatan yang selalu merujuk pada kebangkitan emosi negatifku.
Aku memastikan bahwa emosiku saat ini pada taraf yang tidak kelewat dari batas. Aku yakin dengan menyadari perubahan-perubahan tersebut aku akan dapat mengendalikan emosiku yang dapat mengganggu hubungan antar manusia dan bahkan kegiatan-kegiatanku dalam kehdiupan, tentunya aku tak ingin menghancurkan momen-momen terbaik itu. Jadi, aku harus dapat mengendalikan semua itu.
Setidaknya aku bisa menggapai mimpi-mimpi yang selalu kuprasangka buruk. Aku ingin hidup dalam ketenangan yang bukan kematian, aku ingin berambisi dalam kehidupan yang ramai dan sibuk, namun tidak berisik. Aku ingin hidup di dalam dunia itu, dimana aku terbangun untuk bekerja dan beribadah kemudian pulang dan istirahat secukupnya. Aku ingin hidup sebagaimana kehidupan normal lainnya, tidak menjadi bintang yang terlalu bersinar atau pun tidak menjadi kegelapan yang menyeramkan. Aku hanya ingin hidup dalam kehidupan yang sebagai mestinya. Semoga saja itu terjadi. Walaupun itu sulit, setidaknya pikiran dan sekitarku tidak berisik.