Ada beberapa alasan kenapa aku lebih memilih untuk menetap di rumah kakak ku yang positif covid 19. Mungkin akan terdengar gila, tapi sungguh waktu itu aku pikir bila aku terjangkit covid 19 itu hanya akan menjadi flu pada umumnya. Kenapa begitu? Sejak 3 SMP entah berapa tahun yang lalu, setiap kali aku flu, tubuhku tidak pernah terjangkit demam. Sungguh aku bukannya merasa itu suatu yang luar biasa agar dianggap hebat orang lain. Tapi aku memang tidak pernah demam semenjak itu. Dan selama aku banyak berpikir untuk membuat keputusan untuk tinggal adalah aku pikir aku tidak akan mati, maksudku aku bisa mengatasi hal-hal kecil, bukan masalah kecil maksudku covid merupakan suatu masalah besar juga maksudku beberapa gejala kecil yang terjadi padaku masih dapat kuatasi. Kupikir demam, mungkin tidak akan pernah terjadi. Dan benar saja aku tidak terjangkit demam selama tertular covid varian delta khususnya. Aku tipikal orang yang memiliki perut sensitif, contohnya seperti makan sembarangan itu membuatku sakit perut dan buang air. Tapi selama covid aku tidak ada masalah dengan perutku, maksudku pencernaanku baik-baik saja. Mungkin gejala seperti sulit bernafas setiap tidur di malam hari, aku mengatasinya dengan mengubah jam tidurku di siang hari, tepatnya tidur di saat suhu agak lumayan panas. Kemudian aku tetap mandi 2x sehari, makan apapun 3x sehari, aku tidak pilih-pilih makanan dan semua makanan aku makan. Aku mengkonsumsi obat hanya seperlunya, kecuali obat anti virus. Aku minum susu, vitamin c, jus buah dan apapun aku santap tanpa merasa rasanya kurang enak atau apa. Aku lapar seperti biasanya. Mengantuk di pagi hari seperti biasanya dan hanya merasa kalau tubuhku lemas.
Dan dengan sombongnya terkadang aku berbicara dengan diriku sendiri, hanya seperti ini. Kadang aku berpikir ini tidak terlalu buruk dan setahun lalu ada pikiran yang terus mengganggu pikiranku berbulan-bulan, jadi menurutku ini akan baik-baik saja selagi pikiranku terus berjalan positif.
Seharian aku hanya bermalas-malasan, makan, beraktifitas dengan laptop dan ponsel, buang air, tidur, mandi dan mengulangi itu setiap harinya. Aku tidak bosan dan aku terhibur dengan waktu istirahatku.
Kemudian aku merasa ini hanya sekedar covid varian delta yang menyerangku, menghindari orang sudah cukup. Tidak perlu yang lain. Kalau pun aku tinggal sendiri dan tidak punya uang mungkin aku masih hidup, mungkin aku hanya akan berdiam di kamar sambil menulis dan berpikir. Kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menulis lagi sebuah percakapan senda gurau. Mungkin lagi bila aku punya saudara jauh aku akan dikirimi sepaket makanan, atau di berikan makanan oleh tetanggaku. Aku akan bangun pagi menulis lagi dan berpikir mengenai senda gurau lagi, kemudian bosan lalu tertidur sampai sore. Mungkin hari-hariku hanya dihabiskan dengan minum air dan nasi. Semiskin apapun, aku akan tetap menyetok beras dan air. Karena itu merupakan bahan dasar dari kehidupan. Aku juga mungkin akan menyetok garam di kamar, mengingat rasa nasi adalah hambar, maka garam adalah penyedapnya. 1 liter beras mungkin untuk 2 hari atau 3 hari, kemudian air di dapatkan dari kran. 1 liter seharga paling murah 8.000 rupiah. 8 ribu untuk 2 hari memungkinkan. Dan 1 bungkus garam seharga 5.000 rupiah untuk berbulan-bulan.
Mengherankan
Bisa jadi 120.000 per bulan mungkin cukup. Kemudian aku menjadi orang gila. Tentu tidak seperti itu ceritanya. Aku mungkin bekerja sebagai penulis cerita yang dijual di koran-koran, atau ke perusahaan iklan, atau website yang bermodal iklan, atau lagi menjual ke seorang penggambar komik online lalu mendapat cuan yang lumayan dari sana. Atau lagi, aku seorang penulis buku yang tidak pernah laku. Itu mengenaskan. Aku kelihatan seperti seorang pemalas yang bodoh, tapi pekerjaan seperti penulis cerita tentu tidak sesederhana yang dipikirkan. Seorang penulis cerita harus terus berpikir dan berpikir untuk berpikir mengapa demikian hal tidak masuk akal tersebut terjadi. Orang-orang ingin sesuatu yang luar biasa tapi masuk akal. Ada banyak contohnya dan tidak bisa di sebutkan.
Dan kembali pada cerita bagaimana bila aku menjadi seorang yang tinggal sendirian dan miskin, hidup tentu menjadi membosankan. Aku juga tidak mungkin memiliki rumah kalau begitu. Aku akan tinggal menggelandang atau membebani keluarga orang. Mirisnya.
Kembali lagi mengenai saat aku terjangkit virus covid itu. Khususnya varian delta.
Jadi, ada alasan yang lebih spesifik untuk aku memutuskan tinggal bahkan tertular dengan sukarela. Aku tidak akan mati karena pikiranku mengendalikan bagian tubuhku. Aku juga kurang tahu mengenai penyakit lainnya seperti kanker atau tumor atau penyakit keras lainnya. Atau penyakit gagal jantung atau diabetes, aku kurang mengetahui apakah pikiranku bisa berperan untuk menyembuhkan diriku dari hal-hal seperti itu. Menurutku tentu bisa. Karena itu pikiranku.