Bagian 1: Matahari di Siang Hari

         Pada suatu siang yang dimana sinar matahari tidak hanya memancarkan cahayanya, tapi terik sinarnya bisa dirasakan dari panasnya yang terasa menembus ke dalam jaket jeans yang aku kenakan hari itu. Saking terasa begitu menyakitkan di beberapa bagian tubuh yang diterpa cahaya matahari, lantas aku mempercepat laju motorku siang itu. Lagi-lagi aku mengeluh pada rasa sakit yang begitu terasa di pelipis kiriku, kini keadaannya semakin menjadi. Salah seorang teman yang duduk di jok belakang motorku menawarkan untuk mengambil alih kemudi. Kami pun bertukar tempat di pertengahan jalan yang sebentar lagi sampai, temanku mengemudi motorku, sedang aku sibuk mengeluh mengenai rasa nyeri di pelipis dan panas akan terik matahari siang itu. Kalau saja aku tidak mandi sebelumnya, mungkin aku tidak akan tersiksa oleh panasnya mentari yang kala itu seperti bahagia sekali entah karena apa yang akan terjadi atau telah terjadi.

Sesampainya pada lokasi tujuan, beberapa teman menyambut kedatangan kami dengan gembira sekaligus berisik. Aku sungguh kehausan, tapi kepanasan dan lelah juga. Seketika  aku mencari tempat untuk berteduh yang sekiranya nyaman. Ada bagian kosong pada trotoar yang dimana terdapat dua pohon rindang berdiri gagah di sana. Aku bergegas untuk duduk disana dan membiarkan temanku untuk memakirkan motor. Duduk tepat di samping barisan para mahasiswi baru, mereka melihat ke arahku. Saat aku duduk di samping salah seorang perempuan berbaju putih, dia bertanya namaku dan aku pun langsung teringat namanya akan suaranya yang khas. Aku menebak namanya dan tepat sekali, kami pun terlibat dalam sebuah pembicaraan tentang bagaimana ia bisa sampai disini, padahal yang aku tahu dan beberapa teman-teman yang lain ia tidak tinggal di sekitaran sini. Dia bilang bahwa tengah mengurus administrasi perkuliahannya untuk sekarang ini, ia juga bilang akan kembali ke kampung halamannya bila perkuliahan masih dilakukan secara daring.

“Kau kemari dengan siapa?” Tanyaku. Dia hanya menunjuk seorang laki-laki yang tengah duduk di atas aspal, tepat di hadapanku. “Siapa dia?”

“...”

Netraku jelas menangkap sosok bayanganmu di jatuhi cahaya matahari yang kemudian di susul oleh terpaan angin yang mengacaukan tiap helai surai-suraimu secara sarkastik.

Aku melihatmu duduk terdiam, sibuk dengan duniamu yang entah ramai seperti apa. Tapi, di sekitarmu sungguh ramai seperti dunia yang sebenarnya.

Kemudian aku yang duduk di hadapanmu hanya bisa mematung, padahal jaraknya terbulang cukup dekat. Bingung ingin memulai darimana, tapi keinginanku mengambil alih pikiranku untuk mencoba, entah itu sekedar menyapa atau memanggil nama belakangmu.

"... " Namamu dipanggil olehku

Tapi ponselmu jauh lebih menarik dan suasana teramat sangat berisik, sehingga mereka semua mengalahkan semua usahaku. Tapi, lagi-lagi aku mencoba memanggilmu dengan suaraku yang mudah hilang di telan hembusan angin dan suasana yang teramat berisik. Di atas pundak yang disertai balutan jaket coklatmu, sekali lagi aku menyebutkan namamu.

Aku pun mengalah pada keadaan yang tidak mendukung.

Aku berkeluh kesah pada teman yang lain, aku menyerah pada titik pertama percobaan.

Aku bertanya-tanya mengenai sesuatu yang lain pada yang lainnya, aku menunggumu untuk segera berpindah. Dan aku lagi-lagi bertanya pada orang lain, mengenai kamu yang terlibat perbincangan dengan orang lain. Nyatanya tidak ada, tidak seorang pun terlibat dengan duniamu yang sesak sekali.

Beberapa waktu berikutnya, aku mencoba menyibukkan diri dengan sesuatu yang lain untuk mengalihkan isi kepalaku. Aku pun berdiri dan mencari tempat untuk berkeluh kesah mengenai dirimu yang seperti tuna rungu. Pada pohon rindang yang lain aku menyapa seseorang yang pernah kukenal sebelumnya, kami saling menyapa rindu dan melontarkan pertanyaan satu sama lain. Aku mencoba untuk terlibat perbincangan dengan mereka, mencari-cari topik pembicaraan apa yang sekiranya menarik. Bahkan, aku sendiri tidak memahami apa yang sebenarnya tengah kami bicarakan, tapi semakin mentari melewati garis lintasannya berpijak semakin ramai pula lingkaran yang kami buat. Pembicaraan pada lingkaran ini semakin ramai dan aku hanya sekilas tertawa dan sekedar menyahut tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku melihat keadaan yang luar biasa asing, tapi aku menyoba menyatu ke dalam keadaan. Bersatu padu, menyinkronisasi, dan kalut dalam suasana.  Saat hari mulai sore dan mentari sudah tergelincir jauh dari lintasannya aku memutuskan untuk pulang tanpa berharap pada apapun.

Sepanjang perjalanan pulang aku merasa hari ini terasa sibuk sekali dan begitu asing, aku merasa ini bukanlah duniaku yang sebenarnya. Duniaku tidak secerah dan berwarna-warni seperti ini, duniaku pula tidak seberisik pembicaraan kala siang itu. Di sisi lain aku merasa senang, tapi di sisi lainnya aku merasa telah kehilangan sesuatu dan terasa hampa sekali saat hal itu berulang dan itu adalah kegagalan yang kesekian.

Sore itu jalanan terasa lebih lenggang dari siang, hembusan angin juga menyapu dengan ramah. Nyeri di pelipisku juga tiba-tiba hilang.

Pada sore menuju malam diriku yang baru saja selesai dari membersihkan diri dengan menyisakan air pada rambut yang masih menetes, tidak sengaja menjatuhi tetesan air pada permukaan layar ponsel yang tiba-tiba menyala, tanda sebuah pesan singkat masuk. Diriku bertanya-tanya, mungkin teman-teman tengah berbincang di grup kelas mengenai pertemuan tadi siang atau notifikasi dari akun sosial media yang lain. Aku menghiraukannya sejenak dan memilih bersawala dengan diri sendiri sambil duduk di bawah kipas angin untuk mengeringkan rambutku. Tapi saat pikiranku kalah telak oleh perasaanku, aku memburu ponselku. Melihat pesan dari siapa itu.

Hampir saja aku tertawa atas apa yang telah di kirimkan oleh seseorang. Aku tidak beoleh tertawa dengan membuka lebar mulutku, itu akan merusak jahitan di bawah dagu dan menyakiti rahangku yang sakit. Tapi, sungguh ini sebuah gambar yang membuatku ingin membuka rahang selebar nampan.

Dibawah dari gambar itu terdapat tulisan “ Bagaimana kamu tertawa dengan wajah seperti itu?”

“Apa maksudnya?” Balasku.

“Apa kamu akan tertawa dengan wajahmu yang seperti itu?”

“Apa kamu hendak membuat lelucon?”

“Sekiranya begitu. Bagaimana menurutmu?”

“Apa kamu berniat jahat padaku?”

“Apa kelihatannya begitu?”

“Aku pikir, iya.”

“Wah, hebat ya aku. Padahal niatku hanya ingin menghiburmu, tapi malah menghibur diri sendiri”

“Apa alasanmu melakukan hal demikian?”

“Hal apa?”

“Membuat lelucon.”

“Aku tidak ingin tertawa sendirian, maka dari itu aku membaginya padamu juga. Karena menurutku kita memiliki selera humor yang sedikit mirip.”

Pada akhirnya aku pun terlibat dalam sebuah perbincangan yang lumayan menguras waktu, aku mengira-ngira apakah ia tersadar dengan beberapa terkaan aku terhadapnya atau mungkin seseorang menyampaikan keluh kesahku padanya. Tapi, tidak seperti biasanya, seperti ada angin lalu yang berhembus kemari dan terasa sejuk sekali. Malam hari ini hujan dan kami mencoba menghangatkan diri satu sama lain dari kejauhan. Mungkin dia merasa ini sebuah perbincangan yang menarik atau agak membosankan sampai-sampai ia berujar mengenai masa-masa sekolah menengahnya, tentang pergaulannya dengan teman-teman sekolah dan saat ia harus tinggal di sebuah asrama, hubungan dengan kerabat-kerabat dan dengan kedua orang tuanya, dia bercerita banyak sekali bahkan ada beberapa momen yang terus di ulanginya mengenai balai pelatihan kerja. Sebenarnya dia adalah seorang yang pandai, bila ia memang berusaha dengan baik, terlihat dari bagaimana ia menjelaskan tentang cara ia mengasihi motor kesayangannya hampir di setiap pekan terjadi 3 kali dan aku mencoba membandingkannya dengan diriku yang lulusan dari sekolah kejuruan teknik kendaraan ringan, yang kutahu sejauh ini hanyalah bagaimana harus memperbaiki dan memberi layanan pada mobil. Sedangkan dia mengetahuinya bahkan dalam komponen-komponen yang kecil sekali pun.

Sekedar mengisi waktu luang  aku membalas pesan-pesannya, aku sempat berpikir sudah lama sekali aku tidak seperti ini. Sejak setahun lalu. Mungkin sebentar lagi di saat aku memiliki waktu luang, aku akan menerima panggilan darinya. Bukankah hal-hal seperti ini memang selalu terjadi? Aku pikir kami berada dalam satu jalan yang sama saat terlibat dalam sesuatu, aku pikir kami memang cocok dalam beberapa hal. Aku tidak berharap yang lebih saat itu, Aku hanya membutuhkan penghiburan dikala penat dan mungkin ini saatnya menempatkan diri pada tempat yang menerimaku.

Tapi, aku barusan saja hampir gagal dan mulai tidak berharap apa-apa lagi dari degupan hatiku siang tadi, saat mencoba menyapa atau sekedar bertanya mengenai kamu.

Dunia punya caranya sendiri, dan sepertinya ini sebuah awal baru dari keterpurukan ku dari beberapa waktu yang lampau, dari sebuah rasa sakit yang makin meradang, dari masa-masa yang menyesakkan yang terus berulang, dan untuk yang ke sekian kalinya aku hampir muak dengan semua pengulangan kejadian dan ucapan-ucapan over bullshit yang tak mampu ku tampik lagi, aku berkali-kali kecewa dan terus memaafkan atas kehadiran seseorang yang enggan untuk tinggal begitu pun enggan untuk pergi. Seseorang itu berada pada jalannya sendiri, dan kami saling menggantung janji masing-masing, mengenai keinginannya untuk tetap tinggal dan aku yang enggan untuk bersama dengannya lagi dan lagi. Kami pun saling ingkar, dirinya sesekali pergi dan aku mempersilahkannya masuk dengan suka rela. Aku dengan segala macam pikiran busukku pun mengakhirinya, dia bebas pergi kemana pun dirinya ingin dan aku pun begitu. Dan pada titik ini aku hampir sangat siap dan benar-benar ingin memulai semuanya dari awal. Memulai cerita-cerita semasa menuntut ilmu bersama, menyelesaikan masalah-masalah bersama sang sawala dan dirimu. Harapanku ini ingin menghabiskan waktu yang lebih lama dari apa yang orang-orang bayangkan.

Akankah perubahan ini benar-benar mengubahku menjadi pribadi yang lebih baik dari kegagalan yang sebelumnya? Semoga saja benar begitu.

Biasain panggil 'ara'

Seorang manusia yang memiliki sepenggal kalimat untuk mencintai dirinya sendiri

Posting Komentar

Kamu sebaiknya tahu mengenai tata krama umum yang biasa digunakan. Disini saya memiliki bagian hampir semuanya. Jika ada yang ingin ditanyakan silahkan dengan kata yang baik.
Terima kasih telah memenuhi standar untuk berkunjung.

Lebih baru Lebih lama