Pada suatu siang yang dimana sinar matahari tidak hanya memancarkan cahayanya, tapi terik sinarnya bisa dirasakan dari panasnya yang terasa menembus ke dalam jaket jeans yang aku kenakan hari itu. Saking terasa begitu menyakitkan di beberapa bagian tubuh yang diterpa cahaya matahari, lantas aku mempercepat laju motorku siang itu. Lagi-lagi aku mengeluh pada rasa sakit yang begitu terasa di pelipis kiriku, kini keadaannya semakin menjadi. Salah seorang teman yang duduk di jok belakang motorku menawarkan untuk mengambil alih kemudi. Kami pun bertukar tempat di pertengahan jalan yang sebentar lagi sampai, temanku mengemudi motorku, sedang aku sibuk mengeluh mengenai rasa nyeri di pelipis dan panas akan terik matahari siang itu. Kalau saja aku tidak mandi sebelumnya, mungkin aku tidak akan tersiksa oleh panasnya mentari yang kala itu seperti bahagia sekali entah karena apa yang akan terjadi atau telah terjadi.
Sesampainya pada lokasi tujuan, beberapa teman
menyambut kedatangan kami dengan gembira sekaligus berisik. Aku sungguh
kehausan, tapi kepanasan dan lelah juga. Seketika aku mencari tempat untuk berteduh yang
sekiranya nyaman. Ada bagian kosong pada trotoar yang dimana terdapat dua pohon
rindang berdiri gagah di sana. Aku bergegas untuk duduk disana dan membiarkan temanku
untuk memakirkan motor. Duduk tepat di samping barisan para mahasiswi baru,
mereka melihat ke arahku. Saat aku duduk di samping salah seorang perempuan
berbaju putih, dia bertanya namaku dan aku pun langsung teringat namanya akan
suaranya yang khas. Aku menebak namanya dan tepat sekali, kami pun terlibat
dalam sebuah pembicaraan tentang bagaimana ia bisa sampai disini, padahal yang
aku tahu dan beberapa teman-teman yang lain ia tidak tinggal di sekitaran sini.
Dia bilang bahwa tengah mengurus administrasi perkuliahannya untuk sekarang ini,
ia juga bilang akan kembali ke kampung halamannya bila perkuliahan masih
dilakukan secara daring.
“Kau
kemari dengan siapa?” Tanyaku. Dia hanya menunjuk seorang laki-laki yang tengah
duduk di atas aspal, tepat di hadapanku. “Siapa dia?”
“...”
Netraku jelas menangkap sosok bayanganmu di jatuhi
cahaya matahari yang kemudian di susul oleh terpaan angin yang mengacaukan tiap
helai surai-suraimu secara sarkastik.
Aku melihatmu duduk terdiam, sibuk dengan duniamu
yang entah ramai seperti apa. Tapi, di sekitarmu sungguh ramai seperti dunia
yang sebenarnya.
Kemudian aku yang duduk di hadapanmu hanya bisa
mematung, padahal jaraknya terbulang cukup dekat. Bingung ingin memulai
darimana, tapi keinginanku mengambil alih pikiranku untuk mencoba, entah itu sekedar
menyapa atau memanggil nama belakangmu.
"...
" Namamu dipanggil olehku
Tapi ponselmu jauh lebih menarik dan suasana teramat
sangat berisik, sehingga mereka semua mengalahkan semua usahaku. Tapi,
lagi-lagi aku mencoba memanggilmu dengan suaraku yang mudah hilang di telan
hembusan angin dan suasana yang teramat berisik. Di atas pundak yang disertai
balutan jaket coklatmu, sekali lagi aku menyebutkan namamu.
Aku
pun mengalah pada keadaan yang tidak mendukung.
Aku
berkeluh kesah pada teman yang lain, aku menyerah pada titik pertama percobaan.
Aku bertanya-tanya mengenai sesuatu yang lain pada
yang lainnya, aku menunggumu untuk segera berpindah. Dan aku lagi-lagi bertanya
pada orang lain, mengenai kamu yang terlibat perbincangan dengan orang lain.
Nyatanya tidak ada, tidak seorang pun terlibat dengan duniamu yang sesak
sekali.
Beberapa waktu berikutnya, aku mencoba menyibukkan
diri dengan sesuatu yang lain untuk mengalihkan isi kepalaku. Aku pun berdiri
dan mencari tempat untuk berkeluh kesah mengenai dirimu yang seperti tuna
rungu. Pada pohon rindang yang lain aku menyapa seseorang yang pernah kukenal
sebelumnya, kami saling menyapa rindu dan melontarkan pertanyaan satu sama
lain. Aku mencoba untuk terlibat perbincangan dengan mereka, mencari-cari topik
pembicaraan apa yang sekiranya menarik. Bahkan, aku sendiri tidak memahami apa
yang sebenarnya tengah kami bicarakan, tapi semakin mentari melewati garis
lintasannya berpijak semakin ramai pula lingkaran yang kami buat. Pembicaraan
pada lingkaran ini semakin ramai dan aku hanya sekilas tertawa dan sekedar
menyahut tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku melihat keadaan yang
luar biasa asing, tapi aku menyoba menyatu ke dalam keadaan. Bersatu padu,
menyinkronisasi, dan kalut dalam suasana. Saat hari mulai sore dan mentari sudah
tergelincir jauh dari lintasannya aku memutuskan untuk pulang tanpa berharap
pada apapun.
Sepanjang perjalanan pulang aku merasa hari ini
terasa sibuk sekali dan begitu asing, aku merasa ini bukanlah duniaku yang sebenarnya.
Duniaku tidak secerah dan berwarna-warni seperti ini, duniaku pula tidak
seberisik pembicaraan kala siang itu. Di sisi lain aku merasa senang, tapi di
sisi lainnya aku merasa telah kehilangan sesuatu dan terasa hampa sekali saat
hal itu berulang dan itu adalah kegagalan yang kesekian.
Sore itu jalanan terasa lebih lenggang dari siang,
hembusan angin juga menyapu dengan ramah. Nyeri di pelipisku juga tiba-tiba
hilang.
Pada sore menuju malam diriku yang baru saja selesai
dari membersihkan diri dengan menyisakan air pada rambut yang masih menetes,
tidak sengaja menjatuhi tetesan air pada permukaan layar ponsel yang tiba-tiba
menyala, tanda sebuah pesan singkat masuk. Diriku bertanya-tanya, mungkin
teman-teman tengah berbincang di grup kelas mengenai pertemuan tadi siang atau
notifikasi dari akun sosial media yang lain. Aku menghiraukannya sejenak dan
memilih bersawala dengan diri sendiri sambil duduk di bawah kipas angin untuk
mengeringkan rambutku. Tapi saat pikiranku kalah telak oleh perasaanku, aku
memburu ponselku. Melihat pesan dari siapa itu.
Hampir saja aku tertawa atas apa yang telah di
kirimkan oleh seseorang. Aku tidak beoleh tertawa dengan membuka lebar mulutku,
itu akan merusak jahitan di bawah dagu dan menyakiti rahangku yang sakit. Tapi,
sungguh ini sebuah gambar yang membuatku ingin membuka rahang selebar nampan.
Dibawah
dari gambar itu terdapat tulisan “
Bagaimana kamu tertawa dengan wajah seperti itu?”
“Apa
maksudnya?” Balasku.
“Apa kamu akan tertawa dengan
wajahmu yang seperti itu?”
“Apa
kamu hendak membuat lelucon?”
“Sekiranya begitu. Bagaimana
menurutmu?”
“Apa
kamu berniat jahat padaku?”
“Apa kelihatannya begitu?”
“Aku
pikir, iya.”
“Wah, hebat ya aku. Padahal niatku
hanya ingin menghiburmu, tapi malah menghibur diri sendiri”
“Apa
alasanmu melakukan hal demikian?”
“Hal apa?”
“Membuat
lelucon.”
“Aku tidak ingin tertawa sendirian,
maka dari itu aku membaginya padamu juga. Karena menurutku kita memiliki selera
humor yang sedikit mirip.”
Pada akhirnya aku pun terlibat dalam sebuah
perbincangan yang lumayan menguras waktu, aku mengira-ngira apakah ia tersadar
dengan beberapa terkaan aku terhadapnya atau mungkin seseorang menyampaikan
keluh kesahku padanya. Tapi, tidak seperti biasanya, seperti ada angin lalu yang
berhembus kemari dan terasa sejuk sekali. Malam hari ini hujan dan kami mencoba
menghangatkan diri satu sama lain dari kejauhan. Mungkin dia merasa ini sebuah
perbincangan yang menarik atau agak membosankan sampai-sampai ia berujar
mengenai masa-masa sekolah menengahnya, tentang pergaulannya dengan teman-teman
sekolah dan saat ia harus tinggal di sebuah asrama, hubungan dengan
kerabat-kerabat dan dengan kedua orang tuanya, dia bercerita banyak sekali
bahkan ada beberapa momen yang terus di ulanginya mengenai balai pelatihan
kerja. Sebenarnya dia adalah seorang yang pandai, bila ia memang berusaha
dengan baik, terlihat dari bagaimana ia menjelaskan tentang cara ia mengasihi
motor kesayangannya hampir di setiap pekan terjadi 3 kali dan aku mencoba
membandingkannya dengan diriku yang lulusan dari sekolah kejuruan teknik
kendaraan ringan, yang kutahu sejauh ini hanyalah bagaimana harus memperbaiki
dan memberi layanan pada mobil. Sedangkan dia mengetahuinya bahkan dalam
komponen-komponen yang kecil sekali pun.
Sekedar mengisi waktu luang aku membalas pesan-pesannya, aku sempat
berpikir sudah lama sekali aku tidak seperti ini. Sejak setahun lalu. Mungkin
sebentar lagi di saat aku memiliki waktu luang, aku akan menerima panggilan
darinya. Bukankah hal-hal seperti ini memang selalu terjadi? Aku pikir kami
berada dalam satu jalan yang sama saat terlibat dalam sesuatu, aku pikir kami
memang cocok dalam beberapa hal. Aku tidak berharap yang lebih saat itu, Aku
hanya membutuhkan penghiburan dikala penat dan mungkin ini saatnya menempatkan
diri pada tempat yang menerimaku.
Tapi, aku barusan saja hampir gagal dan mulai tidak
berharap apa-apa lagi dari degupan hatiku siang tadi, saat mencoba menyapa atau
sekedar bertanya mengenai kamu.
Dunia punya caranya sendiri, dan sepertinya ini
sebuah awal baru dari keterpurukan ku dari beberapa waktu yang lampau, dari
sebuah rasa sakit yang makin meradang, dari masa-masa yang menyesakkan yang
terus berulang, dan untuk yang ke sekian kalinya aku hampir muak dengan semua
pengulangan kejadian dan ucapan-ucapan over
bullshit yang tak mampu ku tampik lagi, aku berkali-kali kecewa dan terus
memaafkan atas kehadiran seseorang yang enggan untuk tinggal begitu pun enggan
untuk pergi. Seseorang itu berada pada jalannya sendiri, dan kami saling
menggantung janji masing-masing, mengenai keinginannya untuk tetap tinggal dan
aku yang enggan untuk bersama dengannya lagi dan lagi. Kami pun saling ingkar,
dirinya sesekali pergi dan aku mempersilahkannya masuk dengan suka rela. Aku
dengan segala macam pikiran busukku pun mengakhirinya, dia bebas pergi kemana
pun dirinya ingin dan aku pun begitu. Dan pada titik ini aku hampir sangat siap
dan benar-benar ingin memulai semuanya dari awal. Memulai cerita-cerita semasa
menuntut ilmu bersama, menyelesaikan masalah-masalah bersama sang sawala dan
dirimu. Harapanku ini ingin menghabiskan waktu yang lebih lama dari apa yang
orang-orang bayangkan.
Akankah
perubahan ini benar-benar mengubahku menjadi pribadi yang lebih baik dari
kegagalan yang sebelumnya? Semoga saja benar begitu.