Pada hari yang dimana intensitas cahayanya lebih rendah dari cahaya florescent dan bunga-bunga semi mulai berguguran di susul dedaunan yang mulai lelah bertengger lama-lama di dahan kayu ranting yang kering. Lagi-lagi aku mulai merasa sesuatu telah hilang, padahal seluruh bagian tubuhku masih melekat satu sama lain. Entah kenapa rasanya malah lebih ringan dari biasanya, tapi terasa jauh lebih berat saat aku mulai memikirkan mengenai kehilangan. sesuatu yang sempat mampir dan tinggal untuk beberapa saatm kemudian memilih pergi dengan cara klasik.
Diriku berkata "Ah sudahlah, toh cuma sebentar.", dari perasaanku ada konjungsi yang berlawanan dan menyatukan kalimat itu dengan "Tapi, yang namanya memutuskan untuk mengikat hubungan tidak semudah itu." dan beberapa kalimat penyerta dari diriku yang lainnya menyampaikan pendapatnya. "Bersedih itu wajar, kemudian menangis karena bersedih itu juga wajar. Semua orang juga mengalaminya. Semua orang pernah merasakan hal-hal terpuruk seperti itu."
Saat berhari-hari mengalami masa-masa yang terbilang sedikit melelahkan, kemudian dirimu menimpanya dengan kenyataan yang makin membuatku merasa terpuruk. Alhasil, diriku makin sulit membuka mata setelah menangisi hal-hal yang tidak perlu. Yahh, awalnya aku hanya bisa tertawa cekikikan, tidak tahu kenapa hal-hal seperti itu bisa datang bersamaan. Aku jadi mengingat hari pertama saat aku menerima kenyataan itu dengan pikiran yang kacau dan masing terombang-ambing dengan masalah pekerjaan dan beberapa yang lainnya, tidurku terasa hampa bahkan saat aku membuka mataku, aku tidak sadar telah tidur seharian dengan pintu kamar tertutup, lampu yang dimatikan, dan aku juga lupa tidak ada ventilasi udara di kamar tidurku. Saat terbangun rasanya sesak sekali, seperti aku baru sadar akan kenyataan yang sebenarnya. Aku sadar aku menangis terlalu lama sampai sulit sekali membuka mataku yang mulai membengkak, kepalaku juga terasa kebas karena berulang kali menghantam dinding kamar beralaskan semen. Aku tidak ingin mengingat lagi bagaimana hari-hari itu terlewati.
Hari-hari dimana putus asa terbesar dalam hidupku kembali muncul dan mengambil alih diriku untuk bertindak dengan tidak semestinya.
Sebenarnya hari-hariku berjalan seperti biasanya, seperti mandi di pukul 8 pagi dan 4 sore, makan 3 kali sehari seperti biasanya, berkunjung kerumah kakak perempuanku, berbincang-bincang dengan nenekku, dan lain sebagainya. Tapi, ketika malam mengambil alih sebuah hari, ceritanya akan mulai berbeda, aku akan mengasingkan diri, dan menjadi diriku yang lainnya. Mengingat-ingat masa-masa yang kini tak lagi berlaku terus terbayang, kemudian rasa sesak di rongga dada mulai terasa saat mengingat hal-hal demikian.
Ingatanku terasa menyakitkan. Membiarkanku hidup untuk merasakan semua hal-hal ini sepertinya kacau sekali. Pikiranku mulai kacau ketika hal-hal seperti itu teringat, dan tidak ada yang tahu hal itu. Karena aku malu akan hal itu. Suasana hati, mood, pikiran semuanya tidak selaras dengan apa yang terjadi. Bisa saja aku tertawa saat hujan deras turun membasahi sekujur tubuhku, dihantam dengan keras oleh angin tanpa ampun, lalu apalagi? semua hal yang mungkin tak masuk akal setelah ditinggal oleh dirimu.
Lagi-lagi pikiranku berkata "ah, sudahlah. Mau bagaimana lagi?".
Dan ketika hari ini menjadi besok dan menjadi lusa setelahnya. Aku masih berkutat dengan pikiran "mengapa hal itu bisa terjadi?"
Aku tahu porsi diriku sebenarnya, jadi aku memilih untuk tidak menjadi penyendiri dan memilih untuk berkumpul dengan teman-teman. Entah itu sekedar berbincang omong kosong atau minum-minum di sepanjang malam. Selama beberapa minggu aku jarang sekali berada dirumah, karena aku takut dengan pikiranku yang kacau, kalau bicara dengan nenekku mungkin tidak akan sinkron. Aku pergi entah kemana tanpa tujuan, terkadang mampir ke toko-toko kelontong di pinggir jalan, bercengkrama dengan penjual sambil menyesap secangkir es kopi. Atau mengabiskan hanya menghabiskan bensin tanpa berpikir tujuannya.
Aku bingung apa yang sebenarnya terjadi padaku. Kenapa patah hatiku terasa seperti ini? Kenapa hari-hariku menjadi kelabu? Kenapa aku menjadi egois pada apa yang terjadi? Kenapa aku malah memikirkan diriku terlalu banyak? dan pertanyaan-pertanyaan itu kemudian di jawab oleh diriku sendiri.
"Karena aku yang membuatnya begitu."
Saat aku tanpa sengaja teringat suatu hal yang berkaitan denganmu, seketika aku berusaha keras untuk menahan rasa sesak yang mencoba menghiraukannya dan hal itu membuatku bingung. Padahal aku tidak pergi terlalu jauh denganmu.Tapi, rasa sakitnya seperti membuat beberapa organ tubuh terasa kebas dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Berbeda saat aku tanpa sadar teringat akan cinta pertamaku, perutku mungkin terasa seperti dipenuhi oleh kupu-kupu, tapi saat aku teringat oleh kebaikan hatimu, hatiku malah terasa dipenuhi oleh bunga-bunga yang menjalar di tiap lekuknya, penuh dan sesak sekali, bernapas saja rasanya sulit dan ketika aku mulai batuk akan terasa panas sekali.
Ketika aku mulai bisa menghitung senin sampai minggu, dan bisa membedakan langit cerah dengan mendung tanpa sinar mentari, aku perlahan menyesuaikan diriku dengan keadaan dirumah. Aku mulai menetap dirumah dengan jangka waktu yang sedikit lebih lama, tapi tetap pergi entah kerumah teman atau yang lainnya. Aku mulai bercanda ria dengan saudara-saudaraku, hebatnya lagi aku merasa ada dunia lama yang terasa sangat asing saat aku tempati sekarang.
Orang-orang mulai bisa bergurau dengan menjadikan bahan dirimu sebagai bahan gurauannya. Kemudian aku yang diberi gurauan semacam itu bisa tertawa terbahak-bahak sampai lupa pada luka di daguku. Aku mulai banyak bergurau dengan teman-temanku, menyindir sana sini, mungkin untuk menyadarkanku bahwa ada banyak orang diluar sana yang masih bisa menghargai kehadiranku.
Dan ada bahan lelucon yang paling miris saat aku di gurau oleh teman-temanku.
"Kalau itu tidak berhasil, kamu balikan dengan surya!"
"EH, engga apa-apa kalau itu. Aku juga mau. Hehehe..."
yang awalnya semuanya siap untuk tertawa dan menggodaku, saat mendengar jawabanku mereka lantas menghembuskan napas kecewanya.
"Kok, kamu mau? Jadi tidak seru kalau di jawab sepetri itu!"
"Kalau aku bilang tidak mau, yah, tidak mungkin. Aku kelihatan berharap banget, ya?"
"Pulang yuk pulang! Makin suram suasananya."
"Tapi, jujur loh! Aku ngga apa-apa. Kalau ngga suka bercanda seperti ini, kita ganti topik aja."
"Sebenarnya lucu, hanya saja terdengar miris."
"Kamu galau banget ya, ra?"
"Dikit hehehe..."
Teman-temanku pun kembali memulai perbincangan yang banyak melahirkan tawa yang berisik, sampai-sampai tetangga menegur orang tua dari pemilik rumah.
Kalau di bilang hubunganku berakhir dengan tragis, sepertinya tidak. Aku dengan Surya mengakhiri hubungan dengan baik-baik dan kemungkinan besarnya Surya tidak merasakan hal-hal menyedihkan seperti apa yang aku rasakan. Aku juga berharap dia tidak benar-benar merasakan hal yang sama, semoga saja.
Desember terkenal dengan kisah-kisah yang menyedihkan dan aku pun merasakan hal demikian. Ada banyak momen yang sebenarnya tidak harus kuceritakan pada orang-orang seperti Surya, seperti rasa percaya, kecewa, atau menggoda dengan sarkastik. Mungkin juga aku tidak harus sering-sering meminta maaf padanya pada hal-hal yang sepele, atau membalas pesan singkatnya dengan terburu-buru, atau selalu ada saat dirinya menginginkaku. Seharusnya aku tidak melakukan hal itu semua, seharusnya juga aku tidak memintanya secepat ini.
Dan memang benar semua dugaanku di awal adalah
"aku takut kamu hanya ingin tahu diriku, kemudian setelah tahu, kamu hanya ingin sekedar tahu tanpa ingin yang lainnya. Kemudian memutuskan untuk pergi. Aku takut terhadap hal-hal seperti itu."
aku ingat saat aku mengatakan hal ini padamu, kemudian kamu dengan caramu menghapus rasa resah itu dari diriku dengan mengatakan "bahwa aku bukan bukanlah orang yang seperti itu. Jangan takut!"
Tapi, tetap saja. Saat langit mendung sekali, ada banyak probabilitas hujan akan turun dan disertai petir mulai menyambar. Hal itu pun terjadi. Semua rasa resahku terwujud seperti mimpi yang selalu diharapkan.
Aku melewatinya dengan sukar di masa-masa yang memusingkan dan banyak pergulatan batin, tugas-tugasku sempat terlantas dan beberapa pekerjaan sedikit berantakan. Kemudian dengan cara apapun aku berusaha bangkit dan membenarkan dinding yang runtuh itu.
Berat badanku merosot jauh dari timbangan. Melampaui 10 kilogram dan hampir merasa kalau aku sebenarnya cacingan, bukan yang lain.
Kamu mungkin tidak tahu keadaanku saat semua teman-teman mampir kerumahku dan tiba-tiba kamu datang paling telat di sambut dengan "Ra, itu surya datang." beberapanya menoleh dan melihatku yang antusias menyambutnya tanpa sepatah kata pun. Salah seorang teman pria-ku yang berambut ikal melihat ke arahku sambil menyunggingkan senyum liciknya.
Aku berdecih dan dengan terburu-buru menyajikan segelas air dingin yang langsung kamu tenggak sampai habis. Dia sibuk dengan dunianya, sedang aku menyibukkan diri dengan hal yang lain-seperti berpikir kenapa aku harus melakukan hal barusan, tentunya dia seorang tamu yang harus di sambut pemilik rumah.
Aku sudah mulai bisa menolerir beberapa hal mengenai dirinya. Seperti kehadirannya hanya sebatas ingin atau butuh. Sisa yang lainnya dihabiskan untuk hiburan dan waktu-waktu yang tidak disukainya.