Itu barusan hanya sekedar panggilan telepon. Panggilannya terhubung dan kami berdua terlibat dalam sebuah percakapan.
Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi barusan, tapi yang aku tahu itu hanya sekedar obrolan malam seperti biasanya.
Setelah ucapan perpisahan aku pun segera menghubungi beberapa teman untuk di ajak bicara mengenai perbincanganku denganmu. Pada akhirnya aku mencoba mengajak beberapa teman untuk pergi ke keluar, entah itu menghabiskan waktu atau sekedar berbincang-bincang atau diam sambil minum-minum di sebuah bar.
Teman-temanku itu lebih dari penghuni rumahku, mereka seperti lebih tahu keadaanku saat di luar rumah dan sedikit mengerti keadaanku saat ini. Saat itu juga salah satu dari mereka memesan tempat untuk aku dan beberapa yang lainnya menghabiskan waktu malam ini. Dia bilang bahwa sekedar penghiburan yang agak menyimpang terkadang dibutuhkan untuk sekedar tahu mengapa sebuah alasan lahir.
Selama dalam kurun waktu 3 hari ini aku merasa tinggal pada dunia yang lain, tidak seperti duniaku yang sebenarnya. Aku merasa orang-orang yang memenuhi kontak ponselku sekarang terlihat amat berguna pada saat-saat seperti ini, seperti mereka memberiku penghiburan, seperti mentraktir makan siang disertai dessert, memesan tempat untuk sekedar hiburan, belum lagi yang lainnya. Aku smapai tidak habis pikir apa yang sebenarnya terjadi pada momen ini, aku sampai bingung tidak tahu harus senang atau sedih.
Dalam segelas cairan yang warnanya senada dengan cahaya sore hari, aku membayangkan banyak hal, dari apa yang telah terjadi dan apa yang aku rasakan saat ini. Saat sebuah bayangan mengekor dan kesadaranku mengambil alih diriku, seketika aku menenggak isi dari gelas itu. Temanku yang duduk di sampingku memesan sebotol lagi.
“Sudah, sudah! Aku tidak membawa kartu hari ini. “
“Aku yang bayar.”
“Gara-gara sekarang bisa dipastikan besok aku gagal donor darah.
“Apa peduliku? Sudah minum saja. Kamu pasti sedang suntuk sekarang. Anggap saja ini hadiah ulang tahunmu dariku.”
“Terima kasih.”
Aku pun bersatu padu dalam sinkronisasi malam yang semakin pekat. Pada gemerlap cahaya polkadot dengan intensitas cahaya yang redup di tambah alunan musik yang menggetarkan penghuninya melahirkan suasana paling berisik yang di sukai penghuninya. Aku pun kalut dalam suasana dan semakin menjadi diam setelah mengingat apa yang telah terjadi. Dalam sebotol cairan yang mengedarkan cahaya dari lampu ke sekelilingnya, pikiranku seperti berada pada senja yang kemudian mengarah pada ingatan-ingatan beberapa waktu lalu saat hadirmu adalah benalu yang sulit sekali terlupakan dalam benakku. Setiap kata dari ucapan yang terdengar, setiap inci sentuhan yang mendarat penuh hasrat, bahkan setiap janji yang terikat, itu semua hanya sekedar apa-apa yang telah berlalu dan kini hanya singgah dalam pikiranku, melekat erat di dasar tergelap sana. Aku pun hanya cukup mengenang yang barusan terjadi itu. Rasanya sesak sekali, seperti panas yang membakar dan dingin yang menyelimuti diriku. Rasanya ingin sekali tertawa terbahak-bahak sapai tidak bersuara dan tidak tahu harus melakukan apa selain termangu menatap sendu orang yang lalu lalang. Dadaku terasa sangat sesak sekali sampai sulit sekali menarik nafas, seperti hendak berdetak dan tertahankan oleh sebongkah batu sebesar kapal, kerongkonganku terasa kering sekali walau berkali-kali ku siram dengan berbagai macam air.
Mungkin aku mabuk dan inilah efek dari hal tersebut.
Tidak juga.
Tapi, hari ini aku patah hati.
Cintaku kandas sebelum saatnya meretas.
Aku menangis sejadinya dalam keramaian malam yang memekik telinga. Segalanya kini tak tampak membuatku bahagia, pandanganku hanya dipenuhi gambaran-gamabran dari ingatan-ingatan kebersamaanku denganmu pada masa lalu dan pikiranku hanya teringat pada kesalahan-kesalahan yang sekiranya aku perbuat.
Lagi-lagi aku terus merasa menyesal.
Dalam beberapa sekon kemudian aku tersadar akan kehadiran kerumunan dari teman-temanku yang terlihat memprihatinkan akan kondisiku saat ini, kemudian mereka mencoba melontarkan sebuah pertanyaan dengan berani, walau ragu menyusul kemudian.
“Ra, semuanya memang akan pergi pada waktunya. Tenanglah, kamu itu cantik apa adanya.”
“Benar, pria-mu tidak hanya dia seorang.”
“Kamu tidak harus merasa sendirian. Ada kami disini.”
Begitu isi kalimat penenang menurut mereka.
“Aku hanya ingin menangis. Padahal aku sudah berjanji pada kalian akan memperkenalkan dirinya pada kalian, tapi waktunya ternyata sesingkat ini.”
“Itu lebih baik, kmau tidak akan merasakan sakit yang lebih dari ini.”
“Aku baru kali ini melihatmu sangat bersedih atas kepergian seseorang. Kekasihmu yang dulu sepertinya tidak membuatmu gila seperti ini.”
“Dia berbeda, dia tidak sebrengsek itu.”
“Hehehe... Maaf.”
“Aku terlalu mudah percaya dan terlalu cepat mengambil keputusan.”
“Sudahlah, dia tidak pantas untukmu. Di sini ada chiken katsu, kamu mau?”
“Tidak, terima kasih. Aku hanya ingin minum.”
“Oke, dua botol akan segera meluncur.”
Ketidaktahuanku sepertinya adalah anugrah untuk diriku, tapi atas apa yang telah kupaksa mengetahuinya terasa seperti petaka malam ini. Sebenarnya aku tidak ingin tahu segalanya dan tidak ingin merasakan hal-hal seperti ini terjadi.
Biasanya malam terasa seperti berwarna polkadot yang konyol, tapi malam ini seperti kelabu yang hambar untuk dinikmati oleh sepasang netra kembarku.
Dalam kegilaanku malam ini, aku hanya menatap layar ponselku dan melihat iis percakapan singkat dengamu selama beberapa bulan belakangan ini. Sesekali aku tersentuh dan sesak sedikit mencuri bagian dalam diriku yang kemudian di susul oleh sesak yang muncul lagi seperti panas yang menggerogoti isi di dalamnya, merasakan momen menyiksa saat merasa sendirian. Lagi-lagi aku teringat pada momen-momen dimana orang-orang berharga hadir dan meninggalkan sedikit bekas dalam relung hati yang ditautkan sebuah tanda ‘pernah’. Seakan mereka pernah kemari hanya serta mereta untuk sekedar singgah kemudian kembali pada ruang mereka. Ruang yang tak sekali-kali tertangkap oleh pandanganku.
Aku menangis sampai tak sanggup untuk melihat keadaaan saat ini, bagaimana lampu mengedarkan cahayanya atau perbuatan-perbuatan orang diluar dari batas kendali mereka yang lalu lalang di sekitarku, aku hanya peduli terhadap diriku yang egois. Aku hanya sibuk menangisi keadaan yang bahkan tidak akan pernah berubah menjadi apa yang kuinginkan. Ini bukan dari sekedar sombong dan egosi, inilah diriku yang tidak banyak orang ketahui.
Padahal baru kemarin.
Baru kemarin bercerita dan saling mencoba menghibur satu sama lain, baru kemarin aku jatuh pada jurang berwarna indah dan ternyata dasarnya akan menenggelamkan siapapun yang berani menyentuh permukaannya. Diriku yang tidak ingin jatuh sendirian pun memaksamu untuk jatuh bersamaku. Begitu inginku. Tapi, nyatanya kamu mengikat sebuah tali pada penyangga yang bertengger di atas sana dan membiarkanku tenggelam pada jurang tanpa dasar ini sendirian.