... Sesuatu yang terasa agak hangat lebih sedikit pada suhu yang lebih seperti panas mulai menjalar di beberapa bagian tubuhku.
Tidak. Itu barusan hanya mimpi.
Mimpi mengenai Sepasang pemuda yang kalut akan masa-masa romansa di gelapnya semesta. Jiwa-jiwa mereka seperti berhamburan keluar dari tempatnya, untuk dipaksa saling terhubung satu sama lain.
Itu barusan apa? Itu hanya mimpi, sungguh hanya sekedar mimpi. Antara aku dengan seseorang di sebuah ruangan kecil nan redup cenderung gelap dengan tayangan iklan berulang kali, tak tahu apa yang telah disaksikan, hanya menunggu sesuatu hendak terjadi. Kami terasingkan dengan dunia lain, kami pun dipisahkan untuk berdua, menyelesaikan masalah kami dengan cara kami. Setoples wafer coklat dan sepiring biskuit coklat berada dalam genggamanku, aku yang tengah membuka pembicaraan mencoba untuk mempertahankan keseimbangan piring yang tersaji biskuit itu. Yah, kami berbaring tepat di layar televisi yang menampilkan acara iklan-iklan terbaru yang amat sangat asing. Pandangannya tak pernah luput dari layar televisi. Akhirnya aku berhenti bicara karena merasa telah mengganggu waktu-waktu istirahatnya. Lantas ia pun menoleh. Melihat kearahku dengan sepasang mata yang mengeluarkan cahaya dari pantulan layar televisi di gelapnya suasana ruangan. Aku terdiam, tak tahu harus berbuat apa, aku amat sangat merasa bersalah.
"Apa sudah selesai? "
Acara televisi mulai berganti pada sebuah film lama, entah apa judulnya. Ia mendekat dan meraih tanganku, menggenggamnya erat. Piring biskuitnya pun jatuh karena berpadu dengan sikutnya. Aku terburu-buru untuk segera merapikannya, di ikuti olehnya. Nyatanya mata kami bertemu untuk yang ke sekian kali. Amat sangat dekat dan aku sangat kebingungan, dia menarik tengkuk leherku, mengecupku sebentar dan bicara mengenai sesuatu.
"Ayo, lakukan! "
Aku tahu ini rumahku, tapi aku menyetujuinya sambil takut-takut melihat ke arah pintu. Ini rumah lamaku, rumah yang telah di hancurkan beberapa tahun lalu kemudian tanahnya di jual dan hasil penjualannya dibagi dua untuk ayah dan ibuku.
"Mungkin, tidak sekarang. Seseorang akan masuk. "
Dia mencium tanganku berulang kali, padahal dia baru saja selesai merokok. Aku masih tidak yakin, tapi barusan itu hanya mimpi.
Aku hendak melakukannya sambil disusul rasa gusar dan ketakutan, tapi ingin sekali masalah ini segera berakhir.
"Apa kau tidak memakainya? "
"Aku tidak punya. "
Dan barusan itu hanya mimpi. Dan untungnya hanya sekedar mimpi, tapi kenapa hanya mimpi? Masalah kami belum terselesaikan.
Pukul 4 pagi aku terbangun dengan sendirinya, tanpa ada sentuhan dari suara atau yang lainnya. Aku terbangun hanya karena diriku sendiri. Aku merasa hebat, tapi di sisi lain aku menaruh sebuah curiga. Aku berharap itu tidak benar-benar mungkin. Ingin kembali tidur dan melanjutkan mimpi juga tak mungkin. Lantas aku mengakhiri hal tersebut sambil dipikirkan. Apa yang sebenarnya terjadi? Padaku dan dirinya.