Hari ke 28
di bulan maret tahun 2020
20 tahun dan
itu bukan waktu yang di nanti
Semuanya
berjalan seperti biasa
Dan pikiranku
yang masih rakus tinggal di dalam sana
Dengan segala
ucapan berikut dengan kata-kata dan bayangan yang memalukan, sampai rasanya
ingin menangis, tapi kalau pun ditangisi semua masa-masa itu tak akan pernah
berubah
Terus akan
mempermalukanmu sampai mati nanti
Mengganggu
waktu-waktu sebelum terlelap
Semuanya perihal
beberapa orang dengan perilaku mereka dan kejadian sesudahnya
Lantas bila
hal tersebut tak pernah terjadi apakah yang akan terjadi hari ini?
Mungkin
hidupku jauh lebih sederhana dan tenang
Sejam lebih
cepat terlelap ketika malam
Bahkan
mentari juga tak mengharapkan seseorang sepertiku, yang selalu payah dalam
segala hal, bahkan tidak bisa menghindari objek di depan mata dan selalu
menabrakanya, kemudian apa?
Aku
bukannnya tidak menyukai diriku, hanya saja. Tidak banyak orang merasakan
demikian.
Tersipu malu
dengan semburat warna persis persik di pipi saat melihat ke arahku seperti
halnya animasi yang telah ku saksikan.
Aku lahir
sebagai seorang perempuan yang lahir ditahun milenial, di gadang-gadang bahwa
tahun tersebut adalah tahun penuh anugrah akan perkembangan teknologi. Tapi
tidak dengan kondisi mental seperti ini, mungkin aku jauh lebih mundur daripada
sekarang. Yang masih memilih menggunakan tenaga fisik dibanding otak,
berkomunikasi dengan hewan dan kupikir itu adalah hal yang wajar di usia 20
tahun masih menyaksikan animasi kartun di pagi hari sambil menyantap sarapan. Mungkin
di jaman sebelum televisi ada, aku akan pergi bersepadah mengelilingi kota
untuk mengantar pesanan pakaian atau sekedar mencuci baju kotor dan menjadi
pelayan di restoran makan. Atau hanya menjadi seorang perempuan sebagai
mestinya, memikirkan menikah dengan siapa nantinya dan bermain dengan
teman-teman perempuan lainnya .
Aku bukan
terlahir dari keluarga kaya raya yang memiliki segalanya dan apapun keinginannya
di turuti. Aku hanya seorang anak perempuan yang terlahir dari keluarga
berantakan dan agak sedikit kacau, di bilang miskin pun yah tidak. Keluarga kami
berkecukupan untuk sekedar membiayai sekolah, makan dan beberapa kebutuhan
seperti perternakan kecil-kecilan. Mungkin keluarga sederhana yang berantakan,
bahkan sebelum aku lahir pun waktu dimana penyebutan keluargaku berantakan
sudah lebih dulu ada. Ada baiknya memang tidak dilahirkan, mungkin saat ini
ketiga kakak ku juga tidak akan memiliki tanggungan yang mempersulit hidup
mereka. Tapi mereka yang mengharapkanku, jadi apa boleh buat. Mereka harus
melakukan sesuatu untuk ketersediaanku disini, dan aku pun aku membalas setiap
perlakuan baik yang telah mereka berikan padaku selama ini. Perihal orang
tuaku, aku agak sedikit bingung mau
bagaimana menyampaikannya. Aku tinggal dengan anggota keluarga dari ibuku,
sekarang. Dan ini sudah tahun ke-4 aku memutuskan untuk tidak tinggal dengan
orang tuaku. Sebuah keuntungan juga. Ketika pohon apel kehilangan bunganya ia
tak akan berbuah dan kemudian mati dengan sendirinya, semuanya terjadi jauh
sebelum aku lahir. 14 tahun sebelum aku memutuskan pergi dari rumah untuk
mengurus surat pindah sekolah sendirian. Seluruh pegawai sekolah dan beberapa
guru mengetahuinya dan memutuskan untuk memberikan surat hari itu juga. Mereka tak
ingin melihat aku yang terus-terusan berada di UKS sebelum waktu istirahat dan
melihat kakak ku trekejut mendapati senior yang mengantarku pulang. Itu masa-masa
kelam, sungguh aku benci itu. Aku tidak bisa melihat teman baikku dan hanya
terbaring dengan keringat di tubuhku sepanjang waktu belajar di musim penghujan
2014. Aku benci diriku yang lemah. Aku kehilangan temanku.
Saat aku
memulai kehidupan baru di sekolah baruku, aku tak berharap ada masa-masa ya g
tertinggal dari masa lalu. Tapi ada suatu kejadian dimana ketakutan dan ketidak
inginanku membuat gosip yang diketahui seluruh penghuni sekolah bahwa aku bukan
murid yang setenang itu. Aku sering kali mendapat lonjakan yang membuat orang
lain terkejut. Seperti terompet yang memekik telinga. Aku benci itu, merasa
tidak baik-baik saja selama itu dan beberapa pengajar melihatku sebelah mata. Tidak
apa, toh aku tidak harus pandai di semua mata pelajran bukan?
Dan yang aku
ingat ada seorang anak laki-laki berkomentar mengenai caraku yang berpakaian,
itu sebuah pujian untuk kedepannya agar aku melakukan yang terbaik. Tidak perlu
dengan mengeraskan suara ketika aku hanya sekedar melintas di hadapannya dan
menyuarakan suaranya di depan ketua kelas. Masa sekolah adalah masa yang paling
buruk. Aku benci mereka bahkan seluruh pengajarnya.
Sampai dimana
aku satu tingkat lebih tinggi dan jauh terlihat menyenangkan dan menjadi jauh
lebih buruk di kenyatannya. Aku masih tidak bisa melepas semua masa-masa buruk
itu dari dalam diriku, ia masuk ke dalam suasana yang terik sekali bahkan aku
tidak bisa melihat dengan jelas.
Untuk urusan
asmaraku, sungguh aku tidak ingin menyampaikannya. Tapi terkadang harus ada
yang di buang dari hidupku ini. Dikemudian hari aku juga tidak perlu membaca
tulisan ini. Aku bahkan tidak dapat mneggapai mereka yang ku sukai. Mungkin aku
lebih seperti monster atau malaikat pencabut nyawa, padahal perawakanku jauh
lebih lemah dari kekuatan mematikan penyihir. Seorang petugas sekolah sering
kali mengira bahwa aku sakit saat melihat wajahku yang kusam dan pucat ini.
Ada yang
selalu mengirim pesan untuk sekedar bertukar catatan, ada yang selalu mampir ke
kelas meminjam ponsel dan bertanya apakah aku yakin dengan diriku untuk
berhubungan dengan dirinya, ada yang memberiku sebuah baju lengan panjang di
rintik hujan dan mengatakan akan mengantar pakaian kekasihnya sampai
mengakibatkan aku menangis sepanjang jalan pulang dan beruntung saja rintik
jauh lebih deras karna akan malu bila tangisnya dilihat oleh orang-orang, ada
pula ketika sepasang laki-laki yang tidak kau kenal mengantarmu pulang sampai
dikemudian hari di perempatan menuju rumah mendapati salah satunya tengah
mengantar pulang kekasihnya, ada pula yang sudah beberapa kali berganti
pasangan dan berbicara semuanya kemudian mengundang ke acara pernikahannya, ada
pula teman yang menawarkan temannya sendiri, dan sampai aku menjadi seorang
mahasiswa pun masih saja ada beberapa laki-laki yang akan duduk di sampingmu,
menanyakan tentang dirimu dan kemudian menjadi bagian dalam hidupmu. Aku dengan
teman-teman bajinganku dan beberapa yang lainnya, sungguh terkadang aku tidak
ingin mewarnai seluruh bagian hidupku ini, kecuali diriku mungkin hitam jauh
lebih baik.
Aku hanya
ingin cepat larut dalam lelap tanpa harus terus berpikir pada suatu hal
integral yang terus menerus mengganggu hidupku. Aku hanya ingin sekedar
berpikir kemudian selesai tanpa harus menghubungan dengan kejadian-kejadian
lainnya.
Tanpa harus
memikirkan apakah memang akan ada orang yang menyukaimu tidak hanya sekedar
menyukai sebuah bentuk rupa, tapi memang mencintaimu jauh lebih dalam dari itu.
Memarahimu itu wajar, semua argumen-argumen busuk yang kerap kali mampir itu
memang suatu keharusan untuk interaksi yang mempererat hubungan, aneh kalau
sampai tidak adanya interaksi sosial dan hilang tidak di inginkan. Kadang aku
harus berbuat sedikit gila dengan beberapa kontradiksi di dalam kepalaku yang
rasanya mau pecah.
Seorang yang
usianya dua tahun lebih tua dariku dan aku baru bertemu dengannya tiga kali,
sekali ia berkata mengenai perhiasan yang menyangkut di telingaku kemudian
ujung jarinya menyentuh ujung telingaku. Di pertemuan kedua dia mengajari
sesuatu yang baru. Di pertemuan ketiga kita makan di meja yang sama dengan
teman-teman yang lainnya, dan menanyakan sebuah film “Lion King” yang sudah
rilis di bioskop. Aku memutuskan menontonnya di hari minggu dengannya. Di pertemuan
terakhir aku duduk bersebrangan dengannya yang sedang menyantap makan siang,
aku memesan sebuah teh susu dari thailand dan dirinya memesan teh manis lokal. Aku
tidak berharap apakah dia akan melakukan atau mengajukan sebuah pertanyaan
kenapa baru melihatku setelah lama sekali,
“Kenapa
tidak di makan ayamnya?”
“Aku bisa
mimisan kalau makan ayam.”
Lantas
kenapa pesan ayam bodoh.
Hanya itu
yang kuingat.
Kemudian setelah
semua yang terjadi aku menghadapi sebuah masalah yang harus segera di
selesaikan. Pribadiku sendiri.
Aku sering
kali tersesat di pusat perbelanjaan dan mengakibatkanya harus keluar ruangan
untuk menjemputku.
Ada dua
orang setelah ayahku yang tidak akan membentakku bila aku melakukan tindakan
bodoh, dirinya dan salah seorang temanku. Akan menarik nafas dalam-dalam dan
termangu dengan keadaan.
Kemudian aku
menyesal seharian sampai rasanya semua makanan terasa hambar.
Beberapa saat setelah bagian dimana aku berpikir terlalu jauh dan jatuh dalam sebuah delusi yang menghamburkan realitas yang tengah berlangsung. Aku dengan diriku hanya sibuk berpikir di pertengah malam sampai menuju dimana mentari mulai terik dan aku lupa untuk pergi mandi.
Penyesalan-penyesalanku kemudian membawaku pada titik dimana aku harus termangu pada waktu yang sudah tidak seharusnya aku tinggali, semuanya berubah jauh lebih drastis dari apa yang aku bayangkan, aku hanya duduk menyaksikan betapa hambar hidup terasa di siang yang terik dan gersangnya hari tanpa angin, bahkan daun-daun kering lebih memilih menetap di singgasana mereka. Aroma hujan kini kunjung menyapa ujung dari hidungku.
Sampai dimana aku merasa semua ini tidak berguna, ilalang tidak lagi tumbuh, bunga-bunga juga tak lagi merekah seperti biasanya, seperti akhir kehidupan yang banyak aku baca di buku cerita. Mungkin lebah lebih memilih bercengkrama dengan sesamanya di sarang mereka, berbincang dengan ratu apakah suasana akan berpihak pada mereka atau malah menghancurkan mereka. Sang ratu tidak banyak bicara, dia hanya menyuruh kawanan lebah untuk tetap mengisi amunisi dan membuat strategi apabila ada pengganggu.
Ini tidak seperti pikiranku, ini sisi lain yang ingin bercerita bagaimana isi dunia menjalankan aktifitas mereka. Mungkin sebuah kebosanan atau kesederhanaan yang menenangkan.
Pikiranku yang kacau berasumsi untuk meninggalkan beberapa luka yang membuat malam mnejadi panjang hingga isak tangis yang membengkakan mata, tapi realitanya malah bersenandung dengan kata-kata yang tidak sesuai dnegan isi kepala. hanya menyetujui bagaimana jari melakukannya, mengikuti alunan diluar dari apa yang telah direncanakan.
Niatku bukan semacam memotong urat nadi, atau pergi ke keramaian di tengah wabah mematikan ini. Ini lebih tepatnya pandemik global. Mungkin itu suatu hal yang bagus.
Ada baiknya aku tidak membaca ini di kemudian hari, ini mmebosankan, tapi terkadang menjadi sebuah nasihat bahwa aku harus melakukan sebuah perubahan yang baik di masa mendatang. bukan sesuatu yang baik padaku juga, orang lain menurut persepsi mereka, mengetahui kemauan mereka, apakah mereka akan menyetujui apa yang di kepalaku? Tidak mungkin, isi kepalaku adalah sebuah kejanggalan di era 21. Isinya hanya bualan-bualan masa kelam dan suntuk sekali kalau dijabarkan. percayalah aku masih stabil seperti biasanya.
Ini sebulan setelah akhir dari ujian semester. Aku mengurung diri dirumah karna suatu hal, ada yang hilang dalam diriku 6 tahun lalu. Sebuah optimis dalam menjalani hidup. Aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya, semuanya berlalu seperti animasi yang pernah ku tonton atau semacam drama televisi yang biasa di saksikan orang di daring.
Beberapa saat setelah bagian dimana aku berpikir terlalu jauh dan jatuh dalam sebuah delusi yang menghamburkan realitas yang tengah berlangsung. Aku dengan diriku hanya sibuk berpikir di pertengah malam sampai menuju dimana mentari mulai terik dan aku lupa untuk pergi mandi.
Penyesalan-penyesalanku kemudian membawaku pada titik dimana aku harus termangu pada waktu yang sudah tidak seharusnya aku tinggali, semuanya berubah jauh lebih drastis dari apa yang aku bayangkan, aku hanya duduk menyaksikan betapa hambar hidup terasa di siang yang terik dan gersangnya hari tanpa angin, bahkan daun-daun kering lebih memilih menetap di singgasana mereka. Aroma hujan kini kunjung menyapa ujung dari hidungku.
Sampai dimana aku merasa semua ini tidak berguna, ilalang tidak lagi tumbuh, bunga-bunga juga tak lagi merekah seperti biasanya, seperti akhir kehidupan yang banyak aku baca di buku cerita. Mungkin lebah lebih memilih bercengkrama dengan sesamanya di sarang mereka, berbincang dengan ratu apakah suasana akan berpihak pada mereka atau malah menghancurkan mereka. Sang ratu tidak banyak bicara, dia hanya menyuruh kawanan lebah untuk tetap mengisi amunisi dan membuat strategi apabila ada pengganggu.
Ini tidak seperti pikiranku, ini sisi lain yang ingin bercerita bagaimana isi dunia menjalankan aktifitas mereka. Mungkin sebuah kebosanan atau kesederhanaan yang menenangkan.
Pikiranku yang kacau berasumsi untuk meninggalkan beberapa luka yang membuat malam mnejadi panjang hingga isak tangis yang membengkakan mata, tapi realitanya malah bersenandung dengan kata-kata yang tidak sesuai dnegan isi kepala. hanya menyetujui bagaimana jari melakukannya, mengikuti alunan diluar dari apa yang telah direncanakan.
Niatku bukan semacam memotong urat nadi, atau pergi ke keramaian di tengah wabah mematikan ini. Ini lebih tepatnya pandemik global. Mungkin itu suatu hal yang bagus.
Ada baiknya aku tidak membaca ini di kemudian hari, ini mmebosankan, tapi terkadang menjadi sebuah nasihat bahwa aku harus melakukan sebuah perubahan yang baik di masa mendatang. bukan sesuatu yang baik padaku juga, orang lain menurut persepsi mereka, mengetahui kemauan mereka, apakah mereka akan menyetujui apa yang di kepalaku? Tidak mungkin, isi kepalaku adalah sebuah kejanggalan di era 21. Isinya hanya bualan-bualan masa kelam dan suntuk sekali kalau dijabarkan. percayalah aku masih stabil seperti biasanya.
Ini sebulan setelah akhir dari ujian semester. Aku mengurung diri dirumah karna suatu hal, ada yang hilang dalam diriku 6 tahun lalu. Sebuah optimis dalam menjalani hidup. Aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya, semuanya berlalu seperti animasi yang pernah ku tonton atau semacam drama televisi yang biasa di saksikan orang di daring.