Kembali lagi pada sesaknya alunan
suara para pengamen jalan yang tak henti-henti bernyanyi sepanjang hari. Gadis
itu mengingatkan June pada sosok Ryujin, berambut pendek dengan suara beratnya
yang kecil. Tiap kali mengingat gadis itu June jadi memikirkan mengenai harga
dirinya, kalau tidak menjadi papun yang berharga setidaknya dirinya masih bisa
menghargai dirinya sendiri. Dirinya yang sendiri di masa depan itu sebab
dirinya di masa lalu yang terlalu enggan memikirkan mimpi untuk merubah mimpi
buruknya selama ini, dan kini ia hidup kekal pada mimpi buruk yang tentunya tak
akan pernah berakhir.
Ini hanya kejadian yang
berlangsung sore tadi. Ia mendatangi sebuah perusahaan untuk mengajukan
permintaan anggaran sebagian, entah apa maksudnya itu katanya demi
keberlangsungan kelompok yang sempat mereka tempati dulu. Tempat dimana Ryujin
memiliki hak atas kekuasan anggotanya, dan itu diluar dari apa yang June
bayangkan. Mino teman baiknya sendiri kini entah berada dimana, beberapa tahun
lalu hidupnya dipenuhi janji untuk sekedar menyisahkan waktu mengobrol bersama,
entah merokok atau menegak soju saat malam tiba sambil mengingat
kejadian-kejadian yang telah lalu. Si June yang tak pernah memiliki mimpi dan
berharap di kelilingi gadis-gadis cantik, Ryujin dengan pribadi anehnya yang
gemar sekali bicara tidak sesuai dengan kaidahnya dan Mino, manusia paling
ramai di muka bumi ini. Menghasilkan banyak canda tawa dan mereka menjadi
serikat sebab pribadi Mino yang baik.
Sore itu secangkir teh terlihat
begitu mahal sekali dalam balutan cangkir keramik klasik berpoles marmer dengan
warna senada dengan langit cerah, bahkan June yang dahulunya sering kali
mentratir Ryujin tak akan sanggup memilikinya. June yang dahulu adalah orang
yang baik, setiap kali waktu gajiannya tiba ia yang akan membayar semua makan
dan minumnya. Seakan-akan dengan uang itu ia bisa mengendalikan segalanya,
seperti Ryujin. Sosok gadis yang dianggapnya aneh dan bukan bagian yang dirinya
sukai. Semacam membenci tapi tidak lebih dari itu, hanya jalang tengik yang
kadang menjengkelkan dan suka mengajukan candaan renyah dengan fakta-fakta aneh
tidak terkira. Ryujin dengan wajah datarnya dan sebagian ingatannya
mengingatkan pada tawanya yang menghasilkan pipi begitu gemuk, atau polesan
lipstik oranye agak kecoklatan dengan semburat senada di pipinya, atau bibir
bulatnya yang lebih sering dilihat tanpa polesan apapun. Ryujin yang kurus
sekali, bahkan June sendiri tidak pernah dapat menilai seberapa indah bagian
tubuh gadis itu. Wajah datarnya sudah dapat menjelaskan mengenai semua bagian
tubuh gadis itu.
Tapi sore itu berbeda. Cangkir
teh itu hanya lawan dari sebotol ice tea yang biasa ia berikan setiap sore
kapada ryujin pada waktu yang lalu-lalu. Sekarang ini ia dihadapkan dengan
Ryujin yang sangat berbeda. Helai rambut berwarna ash itu tampak indah dengan
di kesampingkan di celah telinganya, matanya menatap lurus pada June yang
memperlihatkan dengan sombong kini ada rias di matanya tak sekedar eyeliner
tapi ada warna-warna yang lain seperti merah yang tak tampak merah dan coklat yang
tak tampak coklat tapi terlihat begitu indah, di pipinya terpoles warna seperti
tomat yang menawan dan kulitnya semulus kain sutra, dan tentu bibirnya yang
bulat itu tampak begitu bersinar dengan warna yang begitu cantik tanpa ia bisa
menilainya warna apa tepatnya itu. June mendadak terkejut dengan perubahan yang
mustahil terjadi pada seekor bebek yang kini menjadi seekor angsa. Dongeng itu
benar adanya.
“..ini tentang bagaimana
hari-hari itu aku terus memikirkanmu. Aku memikirkan kesalahanku, aku
benar-benar menyesal dan aku semakin membenci diriku sendiri. “
June tak pernah tahu kesalahan
apa yang menimpa Ryujin sampai ia terlena begitu saja. Ryujin dengan suaranya
yang berat dan pelan itu tak sekalipun berubah. June ingin merindukannya, tapi
ada suatu hal mengganjal dalam benaknya. Tentu suatu dendam yang sulit sekali
di telan bulat-bulat.
“Aku tidak pernah terpikir kau
akan melakukannya sendiri. Semua ini.”
“Percayalah, aku masih lajang.
Kedua orang tuaku juga sudah tiada.” Sepanjang garis senyumnya tampak cantik
seperti seorang bidadari yang di impi-impikan banyak adam. Sihir itu tidak ada,
tapi June tiba-tiba jatuh cinta pada penyesalannya. Ia merasa sedikit dengki
dan terkejutnya tak lelah untuk usai. “Bagaimana denganmu? Kenapa kembali ke
kota? Aku dengar dari teman-teman kau akan menetap di tempat kelahiranmu.”
“Penghasilan disana kurang
mumpuni. Dan aku pikir, aku lebih nyaman disini.”
“Begitu, ya.”
June yang berkemeja kotak-kotak
dan jeans sederhana bersanding dengan Ryujin yang memakai setelan mewah bermerk
terkenal, tentu itu mahal sekali. Bahkan alas kaki yang digunakan mereka
terbentang dari tak berharga sampai tak terhingga.
Ryujin menatap dalam sepasang
mata kosong yang sayu dengan kulit kusam yang tak pernah berubah itu, dan tentu
dirinya akan selalu mengenal teman yang dianggap baiknya itu. Seorang pria
dewasa sekaligus teman. June sampai tertegun dan lekas mengambil alih cangkir
tehnya.
“Aku lupa temanku lebih suka kopi
panas. Maaf, ya.”
“Ini teh yang selalu kuberikan
padamu setiap sore.”
“Iya, aku selalu lupa.”
Ryujin teringat akan kesalahannya
di masa lalu mengenai dirinya dan June. Tentu ia seorang gadis jahat dan June
yang tahu segalanya. Dirinya yang penuh amarah dan June yang selalu tampak
tenang. June yang baik. June yang tidak peduli. June yang sekedar tahu mengenai
sisi lain dari pribadi Ryujin. June dengan segala hal baik yang tidak
diketahuinya. June yang malam itu mengajarinya mengenai dunia kejam pekerjaan,
menatap matanya lekat dan Ryujin melihat ke dalam sepasang mata gelap June yang
penuh kesedihan dan kesengsaraan, selalu berharap akan bahagia nantinya. June
sendiri tidak peduli dengan uangnya, baginya orang-orang di sekelilingnya adalah
yang paling berharga. June sosok yang di anutnya dikala ia terpikir akan
kejamnya dunia.
Ryujin menarik nafas sedalam palung terdalam sampai suara yang dihasilkan membuat keduanya di ambang bimbang.
“Aku minta maaf.”
“Untuk apa?”
“Kesalahanku.”
“Kita baru bertemu setelah lama
tidak bertemu dan kau mengatakan hal itu padaku. Aku bingung menjawabnya bagaimana.”
“Aku tidak tahu harus mengatakan
apa. “
“Apa salahmu padaku?”
Jujur June memang kecewa
mengetahui yang telah berlalu ia hanya sekedar tahu, ternyata luka yang di buat
Ryujin juga menyisahkan luka dalam yang tak pernah sembuh hingga saat ini. June
memaafkannya melalui lisan berulang kali setelah tangis Ryujin dan penyesalan
besarnya tersalurkan begitu saja. June tak tahu harus mengatakan apa selain
memaafkannya, kemudian ia terdiam melihat gadis lemah itu terisak di
hadapannya. June jadi merasa bersalah kiat Ryujin semakin terkungkung dalam
jurang kesalahan.
“Aku minta maaf telah membuatmu
seperti ini. Kalau saja saat itu aku tidak mengatakan bahwa ini kesalahanku dan
langsung memaafkanmu, aku tidak tahu harus berkata apa.”
Menuju malam setelah matahari
mulai lelah terhadap dunia yang semakin hari semakin membosankan, June kembali
ke tempat tinggalnya. Sesekali ia bertemu teman sepanjang perjalanan pulang,
meminta sebatang rokok dan di bakar sepanjang jalan. Sesekali ia teringat
Ryujin masa lalu dengan wajah kusam dan bibir kering di sore hari, juga
beberapa jerawat di kening seakan memberitahunya bahwa gadis itu tengah dilanda
stres. Kalau saja Ryujin bisa di ajak merokok, minum minuman keras, atau pergi
ke tempat hiburan malam untuk meredam penatnya dunia, tapi gadis itu adalah
seorang yang taat dan akan pergi ke tempat peribadatan atau rumah di kala
penat.
Ryujin dengan dirinya jelas jauh
berbeda.
Satu angka selain nol dengan
paduan tiga titik dan keenam nol mengekor adalah balasan budi dari Ryujin atas
perbuatannya di masa lalu.
“Dia masih polos sekali.”
Puntung rokoknya di buang begitu
saja sebelum menginjakan langkah ke dalam rumahnya.