I Did'nt See It Coming At First


June dan Bobby adalah sahabat karib. Mereka saling mengenal satu sama lain dengan baik, bahkan keduanya tahu apa kesukaan masing-masing. Terkadang mereka menyisihkan waktu bersama di akhir minggu untuk pergi bersama mencari tempat yang menyenangkan dan saling bertukar cerita-cerita muda mereka. Keduanya dipertemukan di kelas yang sama pada musim panas 2 tahun lalu. Awalnya kecanggungan Bobby menimbulkan pembicaraan basa basi untuk memenuhi ruang kosong diantara mereka, June hanya membalasnya dengan sopan kendati ia hanya orang asing disini.

Bobby orang yang berisik, sedangkan June orang yang sarkas. Mereka pun dipertemukan dan menghasilkan sebuah gurauan yang aneh. Bobby dan June bukan sepasang adam yang terkenal di perguruan tinggi, mereka tidak peduli dengan ketenaran. Persetan dengan segala hal disekitarnya, mereka seperti sepasang ilham yang dimabuk akan persahabatan sejati.
Hingga suatu hari setelah berbulan-bulan lamanya tanpa rasa bosan bercanda ria sepanjang hari. Hoyeon namanya, seorang gadis yang berada 2 semester dibawahnya masuk secara perlahan ke dalam lingkaran pertemenan mereka. Bobby yang humoris mempersilahkan masuk dengan ramah dengan seribu candaan renyah bahagianya yang selalu menampilkan sepasang gigi kelinci dan matanya yang menyipit, dan pribadi June yang terlihat kurang menyenangkan perlahan terlihat dari pembawaannya yang menjengkelkan. Beberapa orang beranggapan bahwa June memiliki pribadi yang baik, tapi Hoyeon berpikir sebaliknya. June yang tidak banyak bicara dan selalu bicara ketus padanya sehingga timbul anggapan dalam pikiran Hoyeon mengenai kepribadian June yang kurang menyenangkan.

Kadang kala Hoyeon sendiri dengan kepribadian majemuknya itu mencoba berinteraksi dengan mengikuti alur June bergaul, permulaannya hanya dengan membicarakan sesuatu yang ‘agak sedikit ngawur’ kemudian melanjutkan sampai tengah malam menuju pagi dan akhirnya Hoyeon sendiri kalut dalam pembicaraan tengah malam seperti membicarakan salah seorang teman, membicarakan salah seorang pengajar yang bagi mereka berbeda dari kebanyakan, memaki-maki tugas tanpa ampun, atau membuat gurauan tengah malam mengenai gadis-gadis idaman mereka dan banyak lainnya. Hoyeon terkadang memikirkan mengenai posisinya yang hanya asing dibagian mereka, ia bukan apa-apa selain dari teman mereka. Hoyeon bisa-bisa jatuh cinta kalau malam itu teman selain June dan Bobby seperti Mino tidak memanggilnya untuk menanyakan apakah ia mengerti apa yang telah dibicarakan orang-orang yang tengah duduk melingkar disana, mencari solusi terbaik untuk keberlangsungan kegiatan yang akan diadakan nanti. Hoyeon lupa sedari tadi ia hanya berbicara berdua dengan June dan sempat menatap kedua mata yang gelap dibawah bayang-bayang cahaya rembulan yang kala itu terkalahkan oleh lampu-lampu jalan. Hoyeon pun lupa ia tak pernah sekali-kali menatap mata lawan bicaranya, kali ini ia lakukan tanpa sadar dan terhanyut dalam kelelahan luar biasa dan ada cahaya redup yang membuatnya sungguh takut sekali. Senyum June sesekali terukir tiap kali ia melihatnya, tidak. Setiap kali Bobby menyuruhnya untuk melihat ke arah June dan berspekulasi bahwa June akan tersenyum setiap kali mereka melihat arah pria bersuara berat itu.

“Benar,kan?”

“Kenapa bisa begitu?”

“Entahlah.”

Di lalu lalang hantaman angin-di perjalanan menuju rumah Hoyeon menatap wajah kusam June pada tengah malam. Hanya itu waktu yang ia dapatkan untuk melihat wajah June, di setiap matahari tenggelam. Pernah suatu malam kopi June dijatuhi helai rambutnya sedetik kemudian June merutuk dan menarik cangkir gelasnya, tentu itu akan baik-baik saja hanya saja Hoyeon yang agak sedikit sensitif saat itu.

Beberapa belakangan ini Bobby seringkali pulang bersama dengan Hoyeon, alasannya mudah mereka berdua menuju jalan yang sama. Hanya saja Bobby sedikit lebih jauh. June lebih sering bersama dengan Bobby ketimbang Hoyeon, tapi mereka selalu berpisah di jalan menanjak sebelum pertigaan. Kini malam Bobby agak sedikit penuh warna karna ada pembicaraan tengah malam yang selalu larut di perbincangan dengan mereka. Pribadi Hoyeon yang ternyata cukup banyak bicara membuat Bobby senang sekali menyahutinya, terkadang bertengkar, berseteru kemudian bertukar cerita mengenai masa lalu percintaan gagal mereka. Ada yang sama ada pula yang Hoyeon cukup dengarkan.

Berkali-kali Hoyeon berpikir apakah ia menyukai Bobby atau tidak, atau kendati sebaliknya, atau tidak sama sekali. Mungkin itu hanya pribadi Bobby yang kelihatan ceria yang kadang juga telihat lebih banyak bicara, atau yang lainnya. Bobby juga tidak jarang menawarkan kursi kosong di belakang jok sepeda motornya, mungkin untuk menemaninya menghantam debu kendaraan-kendaraan berat atau teman berbicara sepanjang perjalanan malam hari atau ada suatu hal yang kadang kala Hoyeon rasakan. Tentu tidak. Hoyeon selalu berspekulasi demikian, ia benci hal yang menyangkut pautkan antara hatinya. Ia tentu belum merasa sembuh benar.

Bobby dengan pribadinya yang menyenangkan akan menyapanya lebih dulu di setiap sore saat tengah memesan secangkir es kopi. Bekas guratan senyum di pipi itu selalu tampak tiap kali ia memerhatikan lekuk wajah tirus kurus itu. Saat lelah luar biasa Hoyeon akan menghadapi sebuah pertengkaran di perjalanan yang selalu dibencinya, tidak akan ada yang mengalah kemudian timbul kerut di dahi Bobby, nada suaranya berubah berat dan terdengar begitu menyakinkan.

“Untuk apa aku berbohong?”

“Kenapa kau mengatakannya??”

“Siapa yang mengatakan hal itu padanya? Dia mengetahui itu dengan sendirinya.”

“Aku tidak mempercayaimu.”

“Terserah.”

Keduanya benar-benar terdiam sepanjang perjalanan, beberapa sekon kemudian Hoyeon berpikir untuk memulai permintaan maaf sampai pada akhirnya Bobby beranggapan bahwa ia tidak terlalu membuat serius hal-hal yang dianggapnya sepele itu. Sisi lain dari Bobby yang kini Hoyeon ketahui berbeda pada saat kedua manik mata yang bertemu dengan sepasang miliknya, begitu lekat dan dalam dari percikan cahaya lampu di sebrang bangunan. Bobby menatapnya dari bahu salah satu teman mereka yang menjadi jarak diantara mereka, kala itu malam dan Hoyeon sendiri tertegun. Ia teringat akan kulit wajahnya yang kasar, bibir gelapnya dan kantung matanya yang menghitam, lantas ia bertanya untuk memutus perasaan mengerikan itu.

“Apa kau lihat-lihat?”

“Apa ada peraturan untuk itu?”

Hoyeon pun memalingkan wajahnya dan kembali menyaksikan perbincangan teman-teman yang lainnya. Retina mata Bobby tak membesar, tandanya itu tidak terjadi sesuatu diantara mereka. Mungkin hanya menilai-nilai seperti apakah sosok Hoyeon sebenarnya, apakah ada monster di dalam tubuh kurus itu? Atau yang lainnya.

Bobby gemar sekali membuat Hoyeon kesal, ia akan tertawa senang sekali dan memberi tahu teman-teman bahwa dirinya senang sekali karna telah berhasil membuat Hoyeon kesal. Itu sebuah kemenangan dan Hoyeon sungguh membenci hal-hal seperti itu.
Hoyeon lebih sering menghabiskan malam dengan kedua pria itu ketimbang pagi yang melelahkan dan ia memilih untuk pergi memejamkan matanya, tergeletak pulas di ruangan sendirian, tidak peduli dengan pengajar yang datang menunggu, bahkan absen-absen yang mulai memerah. Malam lebih berharga, karna ada banyak teman-teman yang menunggunya.

Malam itu Hoyeon berada di ambang batas yang melelahkan, ia agak stres dan kembali menggoreskan cerita-cerita menyedihkan di genggam batang lengannya. Ia hanya sedikit sakit. Esoknya ia akan pulih walau hal tersebut akan berulang di tiap momen-momen melelahkan, ia tak lagi bisa mencintai dirinya sendiri, bahkan dirinya terasa asing. Kadang ia tak sepantasnya berada dalam raga yang salah ini, kemudian ia melangkah sendiri mencari sesuatu yang tidak harus di temuinya. Seorang teman.

Tapi saat itu ia sedang kehilangan teman. Di derasnya hujan petang hari menuju malam dengan langit sendu agak kemerahan menjadi fantasinya tersendiri, bagaimana ia merasakan suatu rasa yang tidak seharusnya tidak dirasakannya. Semacam tidak memiliki uang, kemudian kelelahan, lalu lapar sampai beberapa faktor yang sekiranya membutakan sebagian sosok dirinya yang lemah. Hoyeon dengan sebagian dirinya yang lain, yang buruk rupa, dengan tungkai yang sedikit nyeri di pergelangan, dengan pening yang mengerubungi kepalanya, kemudian ia harus mengingat lelahnya belum selesai beberapa yang lainnya harus dikerjakan, ia pun menemui teman-temannya yang mulai berkumpul dan hampir selesai. Ia belum melakukan apapun, ia masih kosong dengan pakaian yang sebagiannya basah. Langkahnya tertuju pada ruangan yang masih kotor dengan barang-barang berantakan di sana-sini. Saat teman-temannya mulai selesai dan mengistirahatkan sendi-sendi yang kaku, ia harus bekerja karna hati yang mulai terasa sesak, merutuki dirinya yang bodoh. Nyatanya belum selesai setelah gorden terpasang, ia merogoh sakunya mencari sesuatu dan merutuki keadannya.

“Aku akan baik-baik saja dengan ini.” Ungkapnya pada hati.

Pada hati yang sedang tidak waras dan otaknya yang sedikit sakit, monster itu datang dengan menamakan dirinya amarah yang luar biasa dan ketahanan untuk merasa bahwa dirinya kuat adalah sebuah kesalahan. Ia pecah menjadi beberapa kepingan, sakit di kepalanya bertambah, hatinya tumbuh luka sampai dendam yang pada akhirnya menginginkan mengakhiri diri sendiri. June telah tersakit. Semua melihatnya. Diluar batas kendali monster itu sendiri, memakan rakus sebagian kesadaran yang kini menjadi tuli. Itu Hoyeon. Bobby pun tak dapat menyangka hal itu adalah mimpi, sahabat baiknya di sakiti oleh orang yang mungkin kini bukan bagian dari hatinya. Dan saat itu pula Bobby mematahkan sesuatu dalam relung hatinya. Tentu itu tidak mungkin.
Seingat Hoyeon, June hanya tersenyum tanpa sedikit pun jatuh ke kubangan air. Ia berharap dirinya lah yang tergeletak berdarah di kepala atau yang lainnya, mendapat pukulan adalah suatu hal yang baik, pungkasnya setengah gila begitu.

Bahkan ia sulit sekali mengatur nafasnya, gemetar sampai pemikiran-pemikiran mengenai ‘setelah ini aku ingin mati’ kemudian memikirkan masa depannya yang akan kacau balau. Ia menyesal telah menghancurkan segalanya, sangat menyesal saat ia menjadi sosok dirinya yang lain.

Perlahan-lahan sesaat setelah topik mengenai pembicaraan tengah malam yang agak dewasa itu berakhir, salah satunya memutuskan untuk pulang mengatasnamakan Hoyeon yang tidak boleh pulang larut malam.

Hoyeon tak bisa mempungkiri bahwa June benar-benar akan menghapus batas diantara mereka mengenai seorang teman,

“Aku minta maaf, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Dengan senyum merekah seperti seorang yang sakit jiwa ia menyodorkan tangan untuk memberi salam perpisahan.

“Tidak, ini salahku.” Di pertengahan batang rokoknya June membelot pandangannya pada sepatu usang yang sudah 3 minggu belum di cucinya itu, June mengatakannya begitu kemarin. Ia mengaitkan tangannya pada tangan Hoyeon yang kasar sekilas.

“Apa kau baik-baik saja?”

“Iya. Aku baik-baik saja.”

“Baiklah, aku pulang duluan.”

“Iya.”

Hoyeon hanya berharap mereka tidak terlihat. Karna ia tahu seberapa sakitnya itu harus dikeluarkan dengan seluruh emosi memuncak yang seperti panas di sekitar leher dan tidak dapat mendnegar apapun hanya terdengar suara ‘ngiingg~”

Bobby dengan kecepatan 60km/jam melaju dibawah langit malam tanpa rembulan melakukan sesuatu yang jarang dilakukannya, bahkan tidak pernah secepat itu. Terkadang juga harus secepat itu karna malam tidak selalu baik pada insan yang menghiraukan mentari. Bobby mungkin ketakutan dipenuhi rasa kecewa dengan tindakan diluar dari batas apa yang dibayangkan.

Esok pun seperti biasanya. June dan Bobby bertemu setelah senja berakhir, ujung rokok mereka mulai membara dan menjadi awal cerita tentang mengapa sampai menjadi karena sebab.

Esok pun menjadi esok yang biasanya. June dan Bobby memesan segelas es teh dan secangkir kopi panas sambil merokok bersama, membicarakan apapun yang dapat mereka bicarakan seperti biasanya. Sesekali June mengeluh perutnya kelaparan, tapi Bobby menolak karna lidahnya tak pandai dalam merasakan rasa enak pada makanan. Kemudian June menawarkan akan mentraktirnya sampai akhirnya mereka kembali merokok dengan perut kekenyangan.

“Kenapa kau selalu bergurau setiap bicara padaku.”

“Memang selalu seperti itu,kan?”

“Memang seperti itu.” Bobby mematikan rokoknya yang baranya hampir mengenai jari telunjuknya. “Bagi aku rokok!”

June pun memberi sebatang rokok dari saku bajunya dengan santai menghisap kembali rokoknya.

“Apa kau berpacaran dengan Hoyeon?”

“Bicara apa kau?”

“Hanya membual.”

“Membual yang lucu saja, itu tidak membuatku tertawa.”

“Dasar, anak babi!” Suara June tertawa di semilir angin malam. “Jam berapa sekarang?”

“Jam 10.”

“Besok aku kerja, ada anak magang. Aku harus menuntun mereka besok.”

“Mau pulang?”

“Sebatang lagi.”

“Baiklah.”


Setelah beberapa hari kemudian, tempat dimana mereka biasa berkumpul sudah terlihat lebih baik dengan penerangan yang lumayan dan tidak menyakiti mata. Keberadaan mereka seperti diakui, bukan karna beberapa kali terjadi pencurian helm, tapi curiga sudah mengambil beberapa pikiran orang untuk berspekulasi demikian dan akhirnya membenahi agar tidak terulang lagi dengan membuat penerangan.

Menjadi ramai seperti biasanya sampai larut malam hanya untuk membicarakan sesuatu di kala senggang melepas alarm suntuk sekali terhadap pekerjaan mereka, anak-anak muda suka sekali berbincang-bincang mengenai apa yang telah terjadi pada mereka kemudian membuat destinasi untuk liburan, kemudian lagi menghabiskan uang gajian mereka, atau mempersalahkan sesuatu dikala suatu hal yang tidak mereka sukai dan pada saat itulah sisi negatif mereka mengambil alih, kemudian mereka merundingkannya untuk mencari solusi apa yang baik dilakukan sampai pada akhirnya bicara sepatah kata kacau untuk menghibur diri, lalu berbincang-bincang seperti biasa.

Hoyeon hanya orang baru, atau sebut saja tamu di lingkaran pertemanan itu sejak setahun lalu kehadirannya di agung-agungkan akan menjadi generasi terbaik di masanya. Entahlah, bagi hoyeon itu hanya bualan belaka agar ia menetap seperti monyet dungu. Hoyeon yang polos tentu tidak terlalu bodoh akan hal itu, ia hanya suka berkata jujur ketimbang berbohong, terkadang ia akan berbohong bila kebocorannya memiliki kesempatan yang sedikit. Menempatkan diri diantara orang-orang yang sulit, arti kata sulit disini adalah menempatkan dirinya sebagaimana dirinya sesungguhnya. Tidak ada yang tahu sifat aslinya bagaimana, yang gila, memiliki hasrat untuk membuat karya, pemalas tiada tara sampai rajin akan kebersihan. Tidak ada yang akan tahu karna memang tidak terlalu kentara.
Beberapa waktu lalu sebelum kejadian yang mirip bom nagasaki itu terjadi, Hoyeon meminta bantuan June untuk terlibat dalam studi kasusnya. Cukup lama sekitar sebulan lebih. Seminggu awal berjalan baik-baik saja, kemudian 2 minggu berikutnya menghiraukannya sampai pada batas tenggat waktu yang telah ditentukan sekitar 5 hari June menjadi sosok yang berbeda.

Dan inilah hoyeon yang tengah mengalami masa-masa penuh penyesalan kurang lebih 2 minggu, ia merasa hidupnya tak lagi berguna, dirinya hanyalah sampah yang memenuhi dunia ini, hidupnya bukan lagi suatu hal yang penting, orang-orang dikeluarganya hanya menganggap kehadirannya bukan suatu hal yang harus ditunggu-tunggu setiap malamnya, mungkin ayahnya akan merasa beruntung bila ia memnag tidak hadir di dunia ini, apalagi June dengan pribadinya itu. Mengetahui bahwa kontak-nya di matikan, rasanya seluruh dunianya runtuh. Ia bertanya sana-sini bagaimana caranya meminta maaf yang baik dengan norma dan beretika, lantaran kedua usia mereka yang merentang lumayan jauh. Ia tahu betul June hanyalah pendatang di kota ini dan akan kembali ke tempat ia berasal bila studinya telah selesai, dan itu tinggal setahun lagi ia akan melihat pria kurus bersuara berat itu akan berdiri memakai toga sambil tersenyum konyol ke arah teman-temannya. Dan itu tenggat waktu ia akan mengatakan maaf dengan sangat tulus dan sangat merendahkan diri penuh penyesalan. Karna teman bukan sekedar orang yang sekedar mengenal namanya, merekalah yang mengajarkan mengenai pribadi orang yang berbeda-beda dengan emosi yang berbeda-beda dan mengenal dengan sudut pandang sebagai seorang teman, mengenalkan sebagian pengalamannya seperti orang tuanya, selalu ada seperti anggota keluarga sendiri, dan tidak jarang pula mengajarkan seperti seorang guru, dan bisa jadi menjadikannya sosok yang mengenalnya dengan baik terhadap dunia ini. Hoyeon harus benar-benar hancur untuk yang kesekian kalinya, jatuh dalam kubangan mimpi buruk yang menyakitkan seperti luka yang di tabur garam kemudian di bakarnya. Tak lagi merasakan nyenyaknya sebuah tidur, basahnya sebuah mandi, sedapnya sebuah makanan, dan menikmati hidup tidak lagi sebagai mestinya. Seperti mati rasa. Pening selalu hadir menemani di kala kantuk menyebar luar di kepala saat paagi buta ia harus melangkah menuju tempat pengajaran, pada akhirnya ia meniggalkan waktu-waktu belajarnya dan memilih terpejam di ruangan lainnya, sendirian. Menuju siang lapar tak pernah hadir mengingatkan, menuju sore ia memilih memesan secangkir kopi hitam berasumsi bahwa itu akan menahan kantuknya dengan mujarab sampai pertengahan malam nanti.

Seminggu kemudian setelah beberapa kali hujan dan timbul genangan di beberapa tempat, diare merasukinya belum lagi anemia merenggut sakit di kepala setiap kali ia bangkit dari duduk maupun tidur. Entahlah, ini semacam mencoba bunuh diri secara perlahan. Mungkin sebentar lagi.

Orang-orang baik mulai menasehatinya untuk terjaga di malam hari karena itu akan menyakiti tubuhnya. Sebagiannya membuat gurauan untuk membuat dirinya terhibur, dan yang di agungkan di kelompok itu pun mulai mengajaknya bicara mengenai kepribadian. Hoyeon tidak pandai mengingat perkataan-perkataan orang secara rinci, ia hanya ingat bagaimana serentetan kalimat itu tertata begitu apik di giring masuk ke dalam pikirannya dan berhamburan begitu saja karena kelunya lidah saat berbicara. Lawan bicaranya tidak ingin dianggap dominan dalam sebuah komunikasi, Hoyeon hanya takut menatap matanya yang begitu cerah akan sebuah bakat, superior, kehebatan, kesabaran, bahkan ketaatannya pada ibadah, sesekali ia tahu beberapa aib yang harus dijaga. Hoyeon lupa lagi, beberapa kali ia lupa.

Ia benar-benar lupa.

Bobby tak pernah lagi menghubunginya, June hanya sesekali menanyakan apakah dia akan pergi sendirian, jika benar akhir dari panggilan itu Hoyeon mendapat sepatah kalimat berisikan.

“..tidak usah kemari.”

Ia masih memiliki teman-teman dari kelompok lain. Ia gagal menjadi orang yang terpojokkan dengan pemikiran-pemikiran keji akan menghabisi disi sendiri. Mungkin itu hanya opsi lain. Walau terkadang ia seperti orang sakit jiwa, bertanya “apakah orang-orang akan datang ke pemakamanku saat aku mati nanti?” salah seorang temannya bergurau dan menolak akan datang dengan nada yang dibuat lucu.

Teman terkadang memang begitu, ia harus berbaikan dengan June. Tidak terlalu mengharapkan permaafan pun tidak apa-apa, setidaknya kesalahan ada untuk mmebuat sesuatu agar luar biasa. Belajar dari titik kecil, mengungkapkan sebuah kesalahan kemudian belajar lagi. Soal Bobby mungkin  semester berikutnya ia tidak akan mengambil banyak mata kuliah, nilainya juga akan buruk karena terlalu banyak tidur di pagi hari dan memerahkan nilainya. Sesekali menemani Bobby sepanjang perjalanan pulang juga ada baiknya. Berkumpul sesekali, berbincang-bincang mengenai perkembangan kehidupan mereka.

Jeon Hoyeon harus sembuh, begitu pula pertemanannya dengan June.

Biasain panggil 'ara'

Seorang manusia yang memiliki sepenggal kalimat untuk mencintai dirinya sendiri

Posting Komentar

Kamu sebaiknya tahu mengenai tata krama umum yang biasa digunakan. Disini saya memiliki bagian hampir semuanya. Jika ada yang ingin ditanyakan silahkan dengan kata yang baik.
Terima kasih telah memenuhi standar untuk berkunjung.

Lebih baru Lebih lama