25-26/11/20’19
Apa yang harus aku lakukan?
Itu pertanyaan yang sekarang
terlintas dipikiranku.
Aku mau bicara mengenai hal-hal
yang telah terjadi dari sebulan lalu, aku tidak akan menulis sebanyak itu. Aku
hanya sekedar menulis. Salah seorang temanku mengatakan untuk aku melakukannya,
ia bilang begitu karna sebelumnya aku bercerita mengenai kesukaanku terhadap
menulis. Dia lantas bilang lanjutkan kalau kau memang menyukainya. Aku hanya
takut tidak ada yang menyukainya dan akan ada orang yang menganggap bahwa
tulisanku begitu buruk, menjadi sebuah notifikasi sampah dan coba tebak apa
selanjutnya.
Nol pembaca. Sebenarnya aku
menghiraukan tentang seorang pembaca, tapi beberapa tahun belakangan ini
(mungkin sekitar 3 tahun) aku terus memikirkan kenapa aku membuat cerita bohong
ini? Tapi ini hanya fiksi. Ini hanya sekedar menjadi hiburanku dikala penat
dengan realitas. Temanku bilang bahwa tidak apa-apa menulis sesuatu yang kau
suka, lakukan saja. Jadi kupikir mulai hari ini aku akan kembali berkutat
dengan kebiasaan sekaligus hobiku ini. Aku melakukan ini sejak duduk dibangku
sekolah dasar. Lama-kelamaan aku jadi suka, tapi dari waktu ke waktu aku malah
terbebani. Entah hal apa mungkin banyak faktornya, salah satunya seperti
menerbitkan sebuah buku. Sejak SMP aku ingin sekali menerbitkan buku, bahkan
guruku sendiri menyuruhku untuk membuat 50 lembar catatan apapun yang nantinya
akan diterbitkan olehnya. Smeinggu kemudian, berbulan-bulan, sampai saat ini
pun aku tak bisa menerbitkan buku. Rasanya percuma jika aku menerbitkan sebuah
buku yang akan tergantikan oleh sebuah teknologi, tapi tujuanku sebenarnya
hanya menerbitkan buku, bukan mencari seorang pembaca. Aku bisa menjadi pembaca
untuk diriku sendiri, jadi jangan ragu.
Aku ingin menulis sesuatu mengenai
hidupku, tidak. Mengenai kehidupan. Tidak juga, hidup akan berakhir, bukan?
Setiap orang juga melalui kehidupannya masing-masing dan belajar dari
pengalaman mereka. Kedengarannya kurang menarik. Tapi aku menulis untuk diriku
sendiri. Aku akan menulis sesuatu tentang kehidupanku, bagaiaman aku melalui
semua kehidupanku dengan cara-caraku yang kadang salah dan kadang bisa dibilang
sedikit benar. Sesuatu yang menarik bagiku dan aku akan menuangkan segala rasa
gelisah, pasrah, cinta penuh drama, emosional yang kuterapkan disemua bidang
yang salah dan aku maish tidak yakin akan menceritakan semuanya. Tidak harus
semuanya. Aku hanya akan menulis sesuatu yang pikirku itu baik dibaca dan tidak
membuatku terus-menerus merasa bersalah.
Sebenarnya aku hanya tidak yakin
terhadap diriku sendiri, guruku mengatakan itu berulang kali padaku saat tengah
mengerjakan soal logaritma di musim gugur 2 tahun lalu. Sebenarnya ada alasan
baik dia mengatakan itu padaku, yaitu untuk membangun pribadiku agar lebih kokoh.
Aku tidak pernah sadar setiap kali orang melihatku, aku terlihat seperti
seorang yang enggan untuk hidup. Tubuh yang kurus dan ringkih, setiap menjelang
siang orang-orang akan mendapatiku dengan wajah yang pucat pasi, dan
pergerakanku yang katanya terlihat seperti tidak bersemangat. Kemudian
orang-orang mulai memberiku cap ‘lemes’ awalnya aku berpikir masa bodo mereka
menyebutku begitu, sampai akhirnya panggilan itu mulai memudar dalam jangka
waktu 6 bulan. Saat SMA aku tidak memiliki teman dekat, yah, hanya sekedar
teman sekolah yang saling bersosialisasi di lingkungan sekolah, melakukan
intereaksi di lingkungan sekolah, bicara sebutuhnya, dan melakukan hal
seperlunya. Terkadang aku berpikir untuk melakukan sebuah gerakan lain agar
mereka mengenalku, tapi saat aku melakukannya, aku malah merasa terpojokkan dan
berhenti. Aku dikenal rajin dan pandai, bahkan hampir di cap murid teladan. Aku
hampir tidak pernah di hukum. Karna memang tidak ada yang mau melakukan itu
padaku. Kalau pun aku telat dan mulai berjalan jongkok pasti guru itu akan
menyuruhku untuk segera pergi ke kelas, atau saat aku memakai tidak memakai
atribut pada waktu-waktu khusus. Tidak akan ada yang menegurku. Pernah sekali
dan saat yang lain harus membayar denda aku tidak melakukannya. Atau saat aku
bolos mata pelajaran dan guru BK melakukan razia, tak pernah ada pelanggaran
yang melekat padaku. Aku seperti manusia yang kebal hukum. Aku terkadang
mengelak pada guru, bahkan melakukan sesuatu tidak pada kaidahnya dan aku tidak
pernah mendapat sesuai dengan pikiran-pikiran mengenai hukuman. Atau mungkin
karna aku seorang perempuan. Terdengar rasis rasanya.
Saat aku mulai berpikir begitu, aku
melakukan sesuatu yang memang tidak harus aku lakukan. Saat semua murid tiarap
di lapangan dibawah teriknya matahari, aku juga melakukannya. Dan hal yang
tidak bisa kulupakan adalah saat guru olahraga mengambil nilai mid tes, di
siang bolong-ditengah lapangan, kaki diangkat sejajar di atas kursi panjang dan
telapak tanganku bertumpu pada panasnya aspal, melakukan push-up sambil di
hitung oleh guru olahraga yang sepertinya memiliki dendam tersendiri padaku.
“waktunya 45 detik.”
Salah seorang senior mulai melintas
dan menyapa guru olahraga, bahkan semilir angin musim panas menggoda untuk
segera lelah. Sialnya aku hanya mendapat kurang dari 20 kali, kemudian setelah
selesai ia melenggang pergi. Aku bercucuran keringat dengan telapak tangan yang
hampir melepuh terbakar panasnya aspal. Kadang aku berpikir, sebenarnya
keadilan yang sesungguhnya itu seperti apa? Push up dengan lutut memang
ketentuannya, bukan? Tapi kenapa kakiku harus diletakan di atas bnagku panjang
itu? Yang kira-kira tingginya 50 cm. Esoknya aku merasa tubuhku kebas semua,
sial.
Aku tidak benci masa SMA-ku, aku
hanya tidak mengisinya dengan lebih baik saja. Kalau saja aku melakukan banyak
hal untuk memperindah masa-masa muda anak SMA mungkin saja setiap kali saat
berpapasan dengan anak-anak berseragam aku akan sejenak mengenang masa-masa SMA
yang katanya manis itu.
Aku menulis begitu banyak, hahaha.
Aku ingin menulis hal yang terjadi kemarin. Tidak. Sebulan yang lalu lebih
tepatnya. Aku di landa stres lagi, sungguh memuakkan. Aku tidak ingin itu, tapi
perlahan namun pasti ia hinggap tepat di diriku. Awalnya hanya masalah kecil di
kampus, tidak ada yang ingin pergi dan aku juga tidak memiliki kendaraan untuk
kesana. Sampai 2 minggu kemudian aku merasa lelah. Lelahnya seperti melakukan
pendekatan-pendekatan kepada mahasiswa/i baru untuk bergabung dengan kami.
Atasanku sendiri mengatakan untuk setidaknya mencari 30 orang, tapi kemudian
dia mengatakan untuk mencari yang benar-benar ingin serius masuk bukan hanya
sekedar membayara dan tidak peduli. Dan tebak saat semua ditawari untuk menjadi
ketua panitia, semuanya bungkam dan ego mereka menyeruak keluar. Aku yang
berdalih untuk segera mengakhiri ini karna ingin cepat-cepat melenggangkan
badan di lantai mengacungkan diri untuk menjadi ketua panitia. Dalam kepalaku
terngiang sebuah gelak tawa. Jujur itu pengalamanku pertama kali dan percobaan
pertamanya di acara akbar, tolong tampar aku dan aku akan mencium dan
memelukmu. Di tengah-tengah masa-masa yang kubilang sulit, kakak perempuanku
sedang tertimpa sebuah masalah yang mengakibatkan dirinya merasa pada titik
terkecil dimana ia tidak bisa melakukan perlawanan sekecil apapun, dia
mengalami stress, aku yakin itu. Tubuhnya sangat kurus, belum lagi saat aku
mendengar bahwa keponakan perempuanku yang berusia 3 tahun ternyata mengalami
_____ sehingga hal itu membuat beban pikirannya, dan saat ibuku tengah sakit (mengalami
gangguan psikologis yang sesekali kambuh jika terlalu banyak pikiran) mendadak
teman lamaku menghubungiku-menanyakan keberadaan kakak laki-laki untuk menagih
hutang, sebelumnya juga aku memberi keleluasaan baginya tapi saat itu tidak,
aku hanya membaca pesannya kemudian menghiraukannya, ayahku juga terserang diare
dan demam, ia pergi ke klinik seorang diri dan pikiran negatifku mulai
menyeruak keluar beranggapan bahwa keluarga ayahku yang sekarang terlalu
menelantarkannya. Di sisi lain aku ingin memiliki waktu untuk keluargaku yang
sudah tercerai-berai, tapi aku sendiri memiliki tanggung jawab yang tidak bisa
kutinggalkan. Aku merasa telah memilih jalan yang salah, tapi aku memang tidak
melakukan apapun jika tidak memilihnya. Emosi yang tidak bisa kubendung lagi.
Aku memutuskan untuk mencari tempat untuk menumpahkan segala emosiku dan pergi
ke tempat temanku yang tidak jauh dengan kampus, tapi ternyata ia tidak ada.
Kemudian aku memutusku untuk pergi ke tempat salah seorang seniorku, agak malu
tapi aku tidak ingin ada yang mengetahui ini. Dibawah terik panas dan rasa
penuh keragu-raguan yang terus hinggap di benakku, aku merasa takut tapi merasa
ingin meledak juga. Hari ini aku tidak membawa ponsel, tapi tuhan berkendak
padaku saat aku tengah berdiri di depan gerbang kosannya. Mungkin temannya atau
bukan, setidaknya mereka memang saling mengenal. Aku bertanya mengenai
keberadaan seniorku dan ia memanggil seniorku.
“Oh, ya katanya mau pinjem jaket ya? Sorry, gue lagi nyuci. Gue baru sempet nyuci. Cucian gue banyak.”
Aku bingung ingin menyahut ucapannya bagaimana.
“Mau langsung balik? Di
kamar gue aja dulu, ngadem. Kamar gue
berantakan hehehe...”
“Lebih rapi dari kamar gue.”
“Gue tinggal nyuci dulu, ya.”
Aku lupa waktunya, mungkin sekitar pukul setengah 2 siang
atau setengah 3 menuju sore. Aku bingung ingin melakukan apa. Kepalaku sakit
dan aku mulai berpikir sesuatu yang tidak semestinya. Semuanya keluar sebagai
pertanyaan yang berakhir dengan ribuan argumen di dalam lintas pikiranku yang
tidak ada habisnya. Masa-masa kelam mulai bermunculan, menyajikan
ingatan-ingatan saat aku di timpa kebingungan ingin pulang.
‘Jauh di timur sana, tidak ada yang bisa kusebut rumah.’
Aku tak punya tempat persinggahan, walau memiliki banyak
teman dan banyak sekali tempat yang bisa ku singgahi sekali-kali. Terkadang
karna kurangnya komunikasi membuat sungkan menjadi alasan awal.
Sesekali aku menyeka air yang menyapu kering di pipi,
berharap ada tisu