YOSHIOLO: You Should In One Love Only

Semua hanya bagaimana caramu memperlakukan seseorang dengan baik dan berharap bahwa kau akan mendapatkan timbal balik sesuai keinginanmu.


Di bawah kuasa siang yang memberi wewenang untuk terang selama waktu yang telah ditentukan, di penantian menuju siang aku lebih memilih membaringkan diri ketimbang berbincang dengan rekan satu jurusan. Pembicaraannya benar-benar hanya sebuah bualan, sekedar penghiburan untuk menenangkan penat di sela waktu sebelum ujian, katanya. Lantas aku lebih memilih untuk mengasingkan diri dengan berbaring, mengosongkan sebagian pikiran dengan alunan musik tenang di ruang klub. Sensasi dingin pun mulai mengusik secara perlahan, suara kipas angin kecil di atap begitu terdengar nyaring sehingga aku harus bangkit sebentar dan mematikan kipas angin tua itu. Dan kini benar-benar aku dalam ketenangan yang nyaman, tentunya aku hanya sendirian di temani suara dari Kina yang semakin lama semakin terdengar menjerit di telinga. Kemudian aku melihat layar ponsel, terpampang jam digital pukul 9 pagi lewat 12 menit. Dan aku benar-benar kedinginan di dalam pelukan jaket jeans milikku sendiri, sekarang aku malah tidak tenang.

Kemudian seseorang masuk, itu Wade. Salah seorang dari jurusan tetangga masuk dengan suara yang bergema banyak tanya dan sangat berisik, dia menawarkan sebuah roti dan kopi. Aku mendesah kesal dan merutuki dirinya dengan cacian, harapku dia berhenti bicara karna aku telah di ambang rasa kantuk yang luar biasa. Wade pun terdiam dan memilih untuk menyalakan ujung batang rokoknya, menyesapnya sekali dan aku sadar dia melakukan semua hal itu. Tidak lama salah seorang temannya, Ryan masuk dan membuka pembicaraan yang memekik telinga. Aku hampir lupa mereka ada seorang laki-laki yang usianya menginjak dewasa, wajar saja suara mereka bergema bahkan saat aku menyuruh mereka untuk saling berbisik. Akhirnya aku terpaksa bangun dan memperhatikan pembicaraan mereka yang tidak kumengerti, ahh~ lelahnya bukan main. Aku benci suara yang merusak telinga, Ryan buruk dalam bicara karna suaranya bahkan dapat membuat air tidak tenang.

"Kalian sangat berisik. Suara kalian itu bergema, aku kelelahan bisa bicara pelan-pelan. Kumohon." Mintaku dengan suara serak dan kerutan di dahi, kau meluruskan kedua kakiku. Menarik napas kasar dan menghembuskannya saat peregangan sendi-sendi pada tubuhku selesai

"Ini masih pagi. Kembalilah kerumah!" Ucap Ryan di selingi tawa renyahnya yang paling kubenci. Kemudian ia meletakan tasnya di dekat kaki-ku.

"Ini tempat pembelajaran, Mollie!" Lanjut Wade dengan nada senang karna suaranya berhasil bergema sekarang. Ia lantas bersandar pada daun pintu dan menarik gelas kopinya untuk di sesap beberapa kali. Ujung batang rokonya yang masih menyala ia hadapkan keluar ruangan, berharap asapnya tidak masuk karna ia tahu bila hal itu terjadi ia akan mendengar omelanku.

Aku lantas menyingkirkan jaket yang memeluk sebagian tubuhku dan menghadap ke arahnya dengan tatapan menjengkelkan, kumohon berhentilah menolak "Harga sedikit keberadaanku, Wade!"

Di tengah pergulatan kami yang sebagian besarnya ingin kipas dinyalakan datang Finneas, si manusia radio yang tidak pernah kehabisan bahan untuk bicara. Dia datang dengan serentetan kalimat panjang yang tidak aku ingat dengan betul. Kalimatnya yang ucapkan begitu cepat dalam satu tarikan nafas bahkan dapat membuat lawan bicaranya kehabisan nafas. Finneas dengan seribu satu katanya datang menghampiriku yang tengah berbaring di salah satu sisi ruangan, duduk di dekatku dengan segelas Frappuchino dingin.

Langkah Finn bagai diburu serangan lebah dan duduk di dekatku, ia melihatku sekali dan langsung menyumbat telinganya dengan earphone.  Dan mulai membuka mulut "Apa kau gila? Hari ini sinar mataharinya begitu terik, mungkin beberapa orang kesulitan bernapas karna udara yang semakin meningkat ini. Atau kau adalah salah satu makhluk dari neraka yang berhasil sampai di bumi. Nyalakan saja kipasnya, Ryan! Aku bahkan tidak peduli kalau kau membeku di sini. Wade, beri aku jaringan akses untuk masuk. Eh, bukan maksduku Hotspot. ". Dan benar saja dia bicara dalam satu tarikan napas untuk berbicara sepanjang itu. "Melelahkan saja!"

Seberapa banyak kalimat yang keluar dari mulutku, tetap aku akan kalah dari 3 serangkai manusia menyebalkan ini. Jadi aku memilih untuk kembali pada posisiku, berbaring dengan menutupi sebagian tubuhku dengan jaket, tanganku mendadak dingin seperti es kering di kutub. Beberapa waktu setelah aku hampir masuk dalam fase mimpi Finn mulai berbaring di sampingku, dan aku bisa lihat bagaimana ia sibuk dengan ponselnya. Ini bukan pertama kali aku tidur bersampingan dengan seorang pria, tapi tetap saja aku selalu merasa gelisah.

"Menjauhlah, aku benci saat ada yang menyentuh kulitku!"

"Aku bahkan tidak tertarik padamu, sedikit pun tidak. Apa kau berpikir aku akan bergairah saat melihatmu tidur di samping ranjangku? Tidak. Aku juga..."

"Fin, kau banyak bicara! "

Aku bisa merasakan bagaimana telingaku yang menyentuh karpet bergetar saat suaranya menghantam wajahku terus-menerus. Kopi, Cologne, dan rokok bersatu padu menjadi aroma berbeda yang berhasil menembus ruang di dalam hidungku. Tentu itu baunya, belum di tambah Jaket yang 3 hari belum di cuci itu menambah cita aroma yang memuakkan.

"Tidak, dengar..." 

"Sudah cukup aku lelah!" Aku mencoba membuatnya berhenti saat sadar ia akan bicara banyak saat aku mulai kesal.

Kemudian ia menatapku dengan tatapan aneh sambil tersenyum yang menampilkan sederetan giginya yang terbalut aroma permen mint. "Apa yang kau lakukan semalaman? Mengencani seorang pria berdasi dan pergi ke club malam? atau sibuk begadang mengerjakan tugas yang padahal mudah? Beritahu ak..."

"Fin, bisakah kau bicara pelan? Maksudku suaranya. Itu berisik."

Ryan kelihatan tengah menyimak pembicaarnku dengan Finn. "Wade, tutup pintunya!". Terkadang perasaan yang kurang menyenagkan ini begitu mengganggu dan mendatangkan beberapa pemikiran negatif, tapi di sisi lain aku selalu berada dalam posisi seperti ini. Rasa yang tidak menyenangkan ini bergelayut di ujung kerongkongan sehingga aku berusaha menelannya mentah-mentah.

Sesaat setelah pintu tertutup Ryan mulai membuka topik pembicaraan.

"Aku malas masuk, pengajarnya menghubungiku sejak sejam yang lalu. Memuakkan!" 

Ryan menarik tubuhnya ke dekat kaki-ku, kemudian dia mulai berbaring menghadap kaki-ku. Mata Ryan dan Finn bertemu, keduanya pun mulai berbicara banyak di sela-sela saat Finn menatapku beberapa kali. Wade terkadang menyahut di tengah batang rokok yang terbakar, asapnya mengepul ke langit-langit dan sesekali hal itu berhasil membuatku terbatuk.

"Dimana Shane?" aku lantas bertanya di tengah-tengah pembicaraan mereka mengenai seorang pengajar yang hanya bicara omong kosong selama pembelajaran berlangsung, jadi mereka lebih memilih untuk bicara dengan rekan mereka ketimbang menyahut omong kosong si pengajar. Finn melempar pandangannya padaku, jarak wajahnya agak dekat denganku. Tapi masih ada ruang yang membatasi dimana tidak ada yang boleh menyentuhku.

"Tenang, pacarmu tidak akan marah bila kau tidur dengan Finn." Sahut Wade saat ia mematikan rokoknya dan mengambil gelas kopinya kemudian.

"Maksudnya?"

"Aku juga tidak keberatan. Hehehe..."

Waktu terasa begitu lambat saat aku mulai memukul beberapa bagian tubuh Finn dan pria itu hanya tertawa, aku merasakan bagaimana telapak tangannya yang basah itu terasa dingin saat berhasil menangkap pergelangan tanganku. Mataku lagi-lagi bertemu dan sampai Ryan menyebutkan. "Wouw... wouw..." dan aku menutupi seluruh bagian kepalaku dengan jaket.

"Bocah itu paling rajin kalau urusan absen, tapi kalau tidak ada Shane aku yang harus menunggu kalian semua." Lanjut Ryan setelah beberapa saat.

"Sudah-sudah jangan berisik aku ingin tidur sebentar."

"Ayo, ke kelas! Hari terakhir untuk pelajaran ini harus terlihat bagus, bukan?" Wade menarik tasnya dan merangkulnya, aku mengintip dari celah kancing jaket. Wajahnya tampak berusaha senang untuk menarik kedua temannya yang malas.

"Kau saja! Aku malas!" -Finn

"Ayolah, kawan! Aku akan memberimu sedikit energi positifku! Wuingg~ Wuingg~." -Wade

"Lebih baik tidur." -Ryan

"Sebentar lagi Shane akan kesini dan meminta kalian untuk masuk kelas."

Lantas aku membuka jaketku saat Wade berkata demikian, tapi aku malah bertemu wajah Finn dihadapanku tengah sibuk dijatuhi cahaya dari ponsel. Aku menarik ponselku dan memotret wajahnya. Tidak ada seorang pun yang tahu dan aku berharap seperti itu pula.

Aku di apit oleh ruang yang ditempati dua bocah tengik, Ryan dan Finneas. Aku tidak menganggap Finn tertarik padaku karna dia mengatakannya, yah walau dia selalu tertawa dan mengusik hidupku. Aku tidak pernah percaya pada siapa pun, bahkan diriku sendiri.

Jadi, satu hari itu aku hampir menghabiskan waktuku dengan berbaring. Selebihnya seperti manusia kebanyakan lakukan aktifitasnya.

Finn tidak melakukan apapun selain tidur di sampingku, sama seperti beberapa teman priaku yang lain. Mereka hanya berbaring dan bertukar obrolan untuk saling menghibur. Mungkin beberapanya merasakan perasaan yang sama denganku, ketidaknyamanan karna tak memiliki hubungan tapi mereka harus terbiasa akan itu karna sebuah pergaulan. Ini sedikit menyimpang, tapi keadannya begitu sekarang. Aku bahkan di anggap sama dalam kelompok mereka, walau aku memakai pelapis bedak dan pewarna bibir, dan rambut yang lebih panjang dari mereka. 

Terkadang aku bingung mengatakannya, aku masilah seorang wanita.



K11719
Biasain panggil 'ara'

Seorang manusia yang memiliki sepenggal kalimat untuk mencintai dirinya sendiri

Posting Komentar

Kamu sebaiknya tahu mengenai tata krama umum yang biasa digunakan. Disini saya memiliki bagian hampir semuanya. Jika ada yang ingin ditanyakan silahkan dengan kata yang baik.
Terima kasih telah memenuhi standar untuk berkunjung.

Lebih baru Lebih lama