Let's (Not) Fall In (Un)Love with You for The Night: Saturday Night S13719

~ Kesalahan akan membutakan hukum tempat dimana hatimu berlabuh ~


Aku baru dua kali bertemu dengannya, seseorang berambut cepak yang usianya 3 tahun lebih tua dariku. Tapi seakan perbincangan yang melibatkan kami terasa seperti sudah mengenal bertahun-tahun, entah itu saat di perjalanan pulang- di kereta atau di langkah lalu lalang jalan yang ramai. Tawanya memberiku kenyamanan. Sejak pertama bertemu aku tahu ini perasaan yang salah, apalagi melihat status hubunganku yang kini tak lagi lajang. Tapi aku lebih nyaman dengannya, merengkuhnya dengan kedua tanganku saat penumpang kereta yang bergerombol masuk dengan tidak manusiawi, membenarkan setiap helai rambutnya yang berantakan, menyentuh pundaknya yang basah oleh keringat, aku yakin dia memiliki pertambangan garam di dalam kaos hitam panjangnya itu, atau saat mendengar ia bicara entah itu gurauan atau sesuatu yang kedengarnya biasa saja tapi malah membuatku tertawa terbahak-bahak.

Aku ingat betul bagaimana ia menawarkan sebuah tumpangan untuk pulang bersama, dan ia melakukan hal tersebut di pertemuan pertama. Aku banyak bicara selama perjalanan pulang dan sesekali ia melontarkan sebuah gurauan yang amat sangat lucu. Bahkan selama perjalanan pulang kami tersesat sebanyak 3 kali, dan itu sungguh. Aku takut. Aku punya keahlian melupakan jalan, bahkan jika dilewati 10 kali pun aku lupa. Tapi jika aku melewatinya dengan berturut-turut dan setiap hari, kemungkinan tersesatnya sedikit. Aku adalah pengguna angkutan umum terbaik di kota, jadi jangan ragu bertanya mengenai rute kendaraan.

Jadi, karna waktu hampir menunjukkan dini hari. Ia memutuskan bermalam di rumahku. Dan ini adalah pertama kalinya dalam hidupku, seorang teman menginap. Senangnya bukan main sungguh. Aku membiarkan dirinya tidur di samping ranjangku, sesekali ia terlihat agak canggung dan ia bilang besok akan pulang pagi-pagi sekali karna ingin membuat surat pengajuan magang bersama teman-temannya. Dia melihat catatan-catatan kotorku di sepanjang dinding, dari kawah chicxulub di meksiko akibat meteor pemusnah dinosaurus sampai tugas-tugas menggambar komponen mesin molding.

"Dulu aku bermimpi menjadi seorang ahli Geologi, tapi sejak masa SMA aku tidak pernah mendapat pelajaran fisika gara-gara guru botak pengajarnya adalah seorang pemalas. Akhirnya aku belajar semampuku, aku hanya belajar beberapa yang dapat di tangkap oleh kepalaku. Kedengarannya hebat, bukan? Tapi, tidak juga karna aku tidak lulus di tes perguruan tinggi negri." Aku berkata padanya saat ia memerhatikan beberapa catatan kotor tentang kejadian alam seperti gempa bumi dan yang di angkat dari film 'earthquake' , tentang teori quantum, dunia paralel menurut fisika, kemudian aku memberinya kaos dan celana pendek. "Aku tidak ada pakaian dalam untukmu. Atau kau ingin pakai milikku?"

"Tidak terima kasih, ini sudah cukup."

Setelah aku kembali dari kamar mandi aku melihatnya masih berdiri menghadap dinding, dia masih memerhatikan catatan kotor dan beberapa gambar yang kupajang sambil berdiri di atas ranjang tidurku.
Aku menghampirinya dengan dada yang sedikit sesak dan berulang kali mencoba menyeimbangkan pernafasanku.

"Apa yang kau lihat?" Aku menghampirinya dan duduk di tepi ranjang tidur sambil mengeringkan rambut.

Ia menoleh dan tersenyum sebentar. "Tidak ada." Kemudian bergegas menghampiriku dan duduk bersampingan denganku.  "Awalnya kupikir kau orang yang agak aneh dan seseorang yang fanatik. Tapi ternyata kau orang yang mencintai tugas-tugas menyebalkan seperti ini. Harusnya kau lahir sebagai pribadi yang membosankan."

"Kalau aku cerdas, aku tidak akan memajang banyak rumus di sana. Aku orang yang banyak lupa. Maka dari itu untuk mempermudahnya dengan meletakan disana, nenek-ku suka marah kalau meja tulisku berantakan."

"Memang benar, ilmuwan akan selalu merasa dirinya bodoh." Sesekali dia tertawa kecil dan menunduk. Aku merasakan suatu rasa yang membuatku sulit tenang, sungguh rasanya mengganggu setiap kali aku mencoba melihat ke dalam sepasang matanya yang agak berwarna coklat kemerahan, begitu lekat sampai aku sadar dan ia buru-buru mengalihkan pandangan terhadap notifikasi ponselnya yang ramai.

"Jangan berkata begitu. Mari berbincang mengenai sesuatu yang kau sukai." Aku tersenyum dan mendapati senyumnya yang mengembang setiap kali aku merasa dia seperti tertarik padaku. Aku tak lantas berpikir, tapi sesuatu seperti berpusat di dalam pikiranku.

"Katakan sesuatu yang tidak aku tahu." Ia lantas meletakan meninggalkan sebuah ucapan selamat malam yang berhasil kutangkap oleh pandanganku, aku bahkan tidak peduli jika itu salah seorang teman dari kami.

"Ada fakta mengejutkan beberapa waktu lalu, " Aku merasakan sesuatu yang agak mengganggu di kerongkonganku, agak kasar dan akhirnya sampai pada dimana salivaku berakhir turun. Kemudian melanjutkan kalimatku. "itu adalah aku menyukaimu." Tanpa ragu dan penuh keyakinan mengatakan demikian, tidak ada respon dalam beberapa saat.

Seketika hening kemudian, bahkan tidak ada suara helaan napas selama lebih dari 10 detik lamanya. Aku masih melihatnya dan ia masih melihat ke arahku. Kedua mata kami bertemu. Raut wajahnya yang awalnya tenang perlahan berubah menjadi sebuah kerut di kening.

Duh, rasanya aku ingin mati.

"Apa?" Suaranya pelan tapi aku masih bisa mendengarnya. Ia menghampiriku dan ikut duduk bersampingan di tepi ranjang. "Hah, apa kau gila?"

"Aku bicara mengenai perasaanku. Itu yang belum kau tahu,kan? Kau tahu dimana aku sekolah dan tempat kerjaku, bahkan masa laluku kau tahu."

Aku tidak ingat bagaimana caranya dia menjauh dari sisiku dan menghadap ke arahku dengan suaranya yang masih tertahan. "Bukan! Ah, sial! Bukan, apa kau menyatakan perasanmu padaku?"

"Kedengarannya bagaimana?"

"Apa itu hanya gurauan agar aku tertawa?"

"Aku hanya sekedar mengatakan perasaanku. Tapi harapanku kecil jika kau ingin menjadi bagian dalam hidupku. Mungkin akan jadi cerita dari masa laluku juga."

"Tidak, itu perbuatan salah, Mollie!"

"-Kan kubilang ini hanya sekedar..."

"Tetap, itu salah!"

"Oke, aku akan mengakhiri hubunganku dengan kekasihku. Bagaimana? Seminggu kemudi..."

"Apa kau gila?!"

Ia bahkan tak memberiku waktu untuk bicara. 

"Lanjutkan pembicarannya besok, saja. Kau harus istirahat."

"Kita sama-sama perempuan, Mollie!"

"Aku tidak masalah dengan itu, Emma!"

"Aku tidak."

Itu penolakan yang menyakitkan sungguh, bahkan setelah aku bangun dari mimpiku namanya masih terngiang dalam pikiranku. Aku masih merasakan sakitnya di bawah langit malam yang kaya akan gemerlap bintang-bintang, kipas angin yang menghadap ke arah dadaku yang ternyata membuatku sesak. Sialnya lagi bagian samping ranjangku berdebu dan aku buru-buru bangkit untuk membersihkannya.

Itu hanya mimpi buruk tentang Emma saat aku terbangun setengah 1 malam dini hari, sebelumnya aku memasang alarm untuk bangun pukul 10 malam. 

Aku tidak benar-benar yakin akan menyatakan perasaanku padanya, karna aku sudah tahu jawabannya akan menyakitkan bahkan sebelum aku tahu sebenarnya. Aku tak ingin menampilkan jarak diantara aku dengannya, jadi aku hanya berharap dia memiliki perasaan yang sama dan memendamnya juga. Agak jahat memang, tapi itu harapanku bukan berarti Emma akan benar-benar menjadikan itu sebuah kenyataan.
Biasain panggil 'ara'

Seorang manusia yang memiliki sepenggal kalimat untuk mencintai dirinya sendiri

Posting Komentar

Kamu sebaiknya tahu mengenai tata krama umum yang biasa digunakan. Disini saya memiliki bagian hampir semuanya. Jika ada yang ingin ditanyakan silahkan dengan kata yang baik.
Terima kasih telah memenuhi standar untuk berkunjung.

Lebih baru Lebih lama