The Perfect: Story From Wattys


Menit-menit berikut, waktu terus berjalan, jarum jam dalam lingkaran di dinding terus berputar. Pekerjaan paling suntuk semalaman, tapi ini obsesi yang menyenangkan. Wajahnya bukan sekedar polesan lilin atau gliserin, itu murni ciptaan yang maha kuasa. Tiap lekukan yang dibuat dari pahatan sang agung, sudut-sudut sempurna terlahirkan. Semua wanita di kotanya mengakui keindahan dunia itu. Semuanya menyebut nama pemilik mereka, sang agung, yang berkuasa di seluruh alam, tanpa tanding hanya untuk mengagumi si pemilik pekerjaan buas yang luarbiasa tidak terpikirkan. 
Gipsum dan semen putih, terkadang membutuhkan solar atau minyak-minyak mesin seperti itu untuk menghilangkan aroma yang mengganggu. 
Dia hanya akan memilih salah satu bagian dari bentuk sempurna untuk disempurnakannya menurut persepsi nya.
Sekarang jam delapan malam, lorong depan rumahnya sudah sepi. Itu artinya sedang tidak biasa. Entah ada acara di kota atau ada orang-orang yang mengusir keramaian. 
Seperi pasar yang berdiri tanpa izin. Ia meneruskan pekerjaannya menyalin berita koran kemarin. Tentang seorang gadis berusia 18 tahun hilang, dituliskan juga bahwa gadis itu adalah putri dari walikota. Squu martines, dinyatakan hilang tanpa meninggalkan barang bukti. Banyak yang berpendapat bahwa keberadannya berada ditangan penculik, ada yang mengaitkan dengan beberapa pesaing keluarga martines. Dia memotong foto wajah squu martines dari koran dengan gunting dan menyelipkannya diantara catatan-catatan nya di dalam buku catatannya. Meletakan penanya dan membawa bukunya itu untuk ikut bersamanya.
Beritanya sudah hampir sepekan dan tidak ada kabar, dia semakin penasaran dan keluar dari kerumunan para warga yang bergantian membaca berita tentang walikota yang membuka sayembara untuk seseorang yang menemukan putrinya dengan menjanjikan akan memberi 1 juta dolar. Tidak tertulis disana, walikota menginginkan putrinya dalam keadaan mati atau hidup.
Dia pun kembali kerumahnya. Memikirkan akan menyalin berita ini di buku catatannya. Dia mengingat-ingat akan memindahkan lemari gipsum yang sudah tua-yang sudah dimilikinya sejak ia melupakannya kapan tepatnya.
Sampai dirumahnya. Dia segera membuka bekal makan siangnya, padahal ini sudah hampir pukul 4 sore. Dia melahap acar dalam kaleng yang berair, haus dan lapar tak sepenuhnya terbayarkan. Menggali laci meja untuk mencari pena, lalu menulis berita yang ditemukannya di jalan tadi-beberapanya dari koran untuk menambah kata. Sekarang dia mendapat gambaran tubuh Squu martines, dia menemukannya.
160 senti dengan tubuh yang kira-kira beratnya 48 kilogram. Baginya itu seperti badut, tidak ada tulang yang timbul untuk membentuk lekukan hidup, tidak estetik. Squu mungkin tidak pernah bertemu dengannya, dia juga tidak pernah berharap bertemu dengan keluarga Martines.
Pukul 8 nanti malam Pristin akan datang bertamu, suratnya lusa lalu datang. Dia juga baru mengingatnya saat membaca buku catatan yang dipenuhi berita hilangnya Squu Martines.
"Sekarang tentang gadis hilang itu tidak penting lagi. Pristin akan datang dan aku harus menyiapkan sesuatu."
Dia berbicara dengan koran yang bertuliskan walikota membuat sayembara untuk siapa yang dapat menemukan putrinya akan mendapat 1 juta dolar. Mengutuk beberapa kali, lalu pergi merapikan kamarnya yang buruk rupa. Dia juga menyempatkan membuat minuman dan makan malam, membayangkan apa yang diminta kekasihnya nanti.
Pristin Chesham adalah kekasihnya, beberapa kali dalam sebulan selalu datang kerumahnya. Dia tinggal di kota sebelah, bekerja disebuah bank. Pristin seumuran dengannya, dia tipe gadis pekerja keras, mudah dihadapi dan terkadang banyak bicara. Dia menyukai sisi yang mudah dihadapi, seperti halnya ketika berargumen dia juga yang akan memenangkannya.
Tepat jam 8 malam. Dia berusaha melupakan tentang berita hilangnya Squu martines. Dia ingin malam ini berjalan lancar seperti sedia kala menginginkan pristin.
Pintunya dibuka sedikit, sambil menunggu dengan duduk didepan pintu. Pristin datang, tubuh kecilnya dengan pergelangan tangan yang berurat itu tampak menyambar knop pintu dan membuka pelan.
Dia segera bangkit dari duduknya dan mengahampiri ambang pintu, membukanya lebih dulu dari pristin.
"Selamat datang! "
"Terima kasih. "
Suatu kebiasaan yang sudah tampak umum. Dia mempersilahkan pristin melangkah masuk. Lalu mengunci pintu rumahnya. Mereka berdua berbincang di meja makan sambil menyantap meringue dan wine. Dia hanya menyantap acar timun sambil memerhatikan pristin yang terus menegak wine, dia kehilangan dua meringue.
Dan waktu selanjutnya yang dipenuhi perbincangam setelah hampir 2 pekan ini mereka tidak bertemu sampai pada topik yang mengarah pada hal-hal intim di dalam kamarnya. Pristin bicara rasa sakit di punggung dengan menyangkut pautkan luka yang dibuat olehnya 2 pekan lalu.
"Aku agak susah saat membasuhnya dengan air. Asistenku membiarkannya karna tidak ingin mendengar suaraku yang tidak manusiawi."
Pristin membuka gaunnya dan menunjukan luka besar di punggung kiri tubuhnya pada kekasihnya itu. Dia melupakan untuk menjahit yang satu ini, ingin sekali melepas balutan perban yang menutupi karya seninya itu.
"Apa setiap hari kau harus mandi? "
"Iya. Luka itu menimbulkan bau saat aku bekerja."
"Kau harus menggunakan wewangin, sayang. "
"Aku pikir tidak ada gunanya. Itu lebih busuk dari yang kau duga. "
"Aku akan memperbaikinya. Aku butuh menimpa yang satu ini dengan kulit sungguhan karna kau merusaknya."
Tubuhnya yang membungkuk menampakkan skapula sudah tampak rentan, bahunya juga membentuk bulat yang hampir sempurna.
Pristin menghiraukannya, rasa sakit dan perih itu lebih mengambil alih sekarang ini.
"Kau marah padaku, sayang?"
Pristin menepis telapak tangan yang menyambar dagunya agar memuji eloknya pahatan ciptaan sang maha kuasa yang didapatkannya susah payah dan penuh penderitaan.
"Pristin Chesham... "
Hal yang selalu dilupakan pristin dari karakter monster. Tak lagi harus berbuat apa, ini bukanlah ceritanya. Pristin harus bungkam dan menerima semua penyiksaan setelah ini.
"Sejak kapan kau berani padaku? "
Suara itu tidak mengaum lebih berbisik dan mencekik.
Dia mendorong pristin untuk jatuh dan menodai ranjangnya yang seputih salju. Dia menarik lengan pristin ke belakang dan memulai penderitaan yang menyiksa itu.
Pristin menangis, meringis, rasa sakitnya seakan seperti dihampiri grim reaper.
Lukanya dibalut dengan plastik dan karet yang dicairkan, dicampur dengan serat kapas yang kasar. Dia ingin kekasihnya mempunyai lekuk tubuh yang baik, dan luka itu sudah tidak lagi menimbulkan aroma yang mengganggu.
Dia selalu menyukai mata pristin yang tidak bercahaya, penuh kelam dan hanya menatap dirinya. Dirinya yang sempurna harus berdiri sejajar dengan seorang wanita yang sempurna juga. Pristin akan lebih baik diperbaikinya.
"Aku menutupinya dengan kulit sungguhan. Sebaiknya kau tidak perlu khawatir, aku ahli menjahit yang seperti ini. "
Pagi itu sebelum sarapan pagi pristin disuguhkan tubuh bagian belakangnya yang agak kaku, dia tidak lagi membungkuk. Cermin seakan mengatakan itu bukan apapun yang lebih baik atau jauh lebih buruk, seperti karya seni.
"Apa kau menyukainya? "
"Aku mempunyai kulit yang lebih halus. Ini sangat bagus. Aku menyukainya. "
"Kau tampak cantik sekali, sayang. "
Dia selalu memuji karya yang dibuatnya. Melebihi apa yang ditakdirkan sang maha kuasa.
Pristin duduk di atas kursi sudut ruang bekerja kekasihnya itu, bersandar pada dinding. Sedangkan dia berkutat dengan pekerjaannya pada pembuatan hak sepatu. Dari kayu yang nantinya akan di varnish. Tidak hanya itu ada kaki buatan yang dijemur di langit-langit ruangan. Pristin memilikinya yang satu itu, dan memakai karya seni kekasihnya. Pristin kehilangan kakinya oleh seorang penjahat.
"Bagaimana dengan yang kumiliki darimana kau dapatkan? "
"Aku dapatkan? Apa kau berpikir aku mencari dengan membunuh seseorang? " Dia mengulas senyum dan merenggakan kerah kemejanya dengan terus mengerus hak sepatu.
"Lalu bagaimana? Apa seperti aku? "
"Apa aku harus bercerita siapa saja mantan kekasihku? Apa kau mau mendengar seseorang bercerita untuk menyakitimu? "
"Iya. " Karna sesungguhnya itu benar.
Semuanya. Tidak semunya. Hampir semua mantan kekasihnya berakhir seperti pristin. Mati menjadi patung yang tampak hidup setelah kematian, karya seni yang dihasikan akan menambah nilai estetik.
"Semua mati sepertimu. "
"Aku setiap hari merasa mati. "
Dia berhenti menggerus hak sepatu, matanya mengarah pada pristin yang duduk di samping patung.
Patung mayat Squu Martines yang belum selesai dibutsir.
Pristin merasa dikhianati, penderitaannya tidak berbuah apa-apa. Dirinya penuh kebosanan selama ini tidak membuat dia merasa puas menyiksanya.
"Tidak, tidak. Ini bukan yang salah satunya. "
"Lalu apa?"
Wajahnya yang pucat dan mata yang kelam seakan mencekik dia. Dia mematung dan berpikir cara menjelaskan semua hal yang terjadi sepekan lalu, pristin harus jatuh padanya lagi.
"Dia berusaha datang setiap saat. " tangannya berhenti mengerus hak sepatu untuk membuat gestur yang menjelaskan bicaranya. Langkah pristin mendekat, hatinya gundah sudah beberapa waktu ini. 
"Sejak kapan? "
Dirinya tak lagi tenang, menatap kekasihnya tanpa keraguan. Tubuhnya sudah lebih tegak berdiri dihadapan pria yang memiliki apresiasi sempurna terhadap wajah yang amat tampan.
Mengingat yang telah terjadi membuat pelipisnya berkedut.  "Aku lupa tepatnya kapan. Dia selalu datang dan menghampiriku kapan pun. "
"Sejak kapan? Aku tidak bisa menolerir hal seperti ini begitu saja. "
"Aku benar-benar melupakan itu. Karna bagiku itu tidak penting. "
"Apa kau melakukannya untuk mengabadikan cinta-cintamu? Apa kau melakukannya karna tidak ingin kehilangan dari salah satu mereka?! "
"Tidak! "
"Lalu apa? Kenapa kau lakukan ini? "
"Bisakah kau berhenti bicara?! " Dia melempar hak sepatunya ke arah pristin. Gaun gadis itu tampak meninggalkan robekan yang memerah.
Hak sepatu itu jatuh hingga membuat suara yang nyaring. Suasanya tenang saat dia berhasil membuat pristin jatuh ke dalam pelukannya, kenyamanan yang hanya ada didunia. Matanya menangis membasahi kepala gadis itu, memohon sesuatu yang tidak akan terulang lagi.
"Jangan membuatku harus mengatakannya, kumohon! "
Mendengar kekasihnya meringis pristin mengurungkan niat untuk berbuat hal lebih jauh lagi. Kalau pun mati nanti dia bersumpah akan menghantui kekasihnya sendiri, hidupnya tidak akan tenang. Pristin bersumpah.


Biasain panggil 'ara'

Seorang manusia yang memiliki sepenggal kalimat untuk mencintai dirinya sendiri

Posting Komentar

Kamu sebaiknya tahu mengenai tata krama umum yang biasa digunakan. Disini saya memiliki bagian hampir semuanya. Jika ada yang ingin ditanyakan silahkan dengan kata yang baik.
Terima kasih telah memenuhi standar untuk berkunjung.

Lebih baru Lebih lama