Di ramainya lalu lalang jalan raya dan pembicaraan di tengah perjalanan yang mengusik telinga ada sesuatu yang lebih menarik di seberang jalan. Seorang pria berusia 20-an tengah tertidur di salah satu jok mobil, wajahnya begitu terlihat jelas dari balik jendela kaca.
Tepatnya aku memperhatikanmu dalam balutan kelelahan dan pendingin dari mesin mobil, masih mengenakan kacamata yang sama.
"3,5 senti?"
Itu yang selalu kuingat diterakhir pembicaraan kami yang memuakkan. Aku dengannya sedang terlibat perbincangan mengenai ukuran kacamata, aku tahu maksud dari perbincangan itu adalah untuk mengetes fokus.
Aku yang sibuk dengan ketidak-tenanganku, sedang dia merasa panik karna aku terus-terusan mencoba menabrak pengendara lain atau semua bentuk benda penghalang di jalan. Aku terus menghiraukannya setiap kali ia berkata
"Awas!"
"Kanan! "
"Terlalu berlebihan!"
"Kiri.."
Dan semua kalimat menyebalkan berakhir dengan sebuah penutup dimana aku merasa bersalah dan perasaan yang makin tidak mengenakan mengambil alih diriku, sedangkan pria berkacamata itu tengah mengendalikan emosinya untuk tidak meledak ketika aku berbicara lumayan ketus.
Mungkin bagiku cukup untuk dirinya berkata bahwa setiap kali sesi berakhir aku selalu melakukan kesalahan. Tapi ada sederet kalimatnya yang terngiang, membuatku sedikit goyah saat itu. Saat ia memintaku mampir untuk ke kantor dan aku mengelak.
"Saya tinggal disana, apa kau tahu?"
"Saya tidak bertanya." Mungkin lebih seperti 'apa peduli saya' , tapi aku merasa sulit sekali menelan liur sendiri.
Lantas ia menyindir soal bagaimana aku bersikap ketus dan dia menganggap hal itu tidak sopan dan mengungkit tentang kedudukan-ku yang masih di perguruan tinggi, aku ingat di sana aku hanya tertawa dan ia mempertahankan senyumnya.
Dia bahkan mengetahui salah satu sisi yang tidak banyak orang tahu, dia berkata bahwa aku menyukai lagu-lagu asia yang pada abad 21 ini tengah naik daun. Aku bahkan tidak menyimpan nomor ponselnya, bagaimana ia mengetahui hal tersebut? Ada kemungkinan pria itu menyimpan nomor ponselku untuk sekali-kali menjadi bahan penghibur di waktu senggang. Tentu hal itu begitu buruk, karna aku memiliki area pribadi menjadi diriku sendiri.
Sejak awal memang intuisiku mengenai dirinya kurang baik itu benar. Kami tidak berada pada kecocokan, sehingga aku pantas membenci dan berbicara ketus padanya.
Persetan dengan usia. Tangannya masih mengadah ke atas saat tanganku berada di atas.
Tapi aku ingat bagaimana tangan kiri kita sama-sama berburu tuas kopling di pertengahan jalan yang ramai, dan aku berhasil mendapatkannya walau menyentuh sedikit permukaan kulit tangannya. Aku terlalu takut saat pikiranku mengambil alih menilai dirinya akan melewati batas, untungnya sejauh ini hanya pemikiran saja.
Dia selalu meminta aku untuk mengajukan pertanyaan, tapi aku selalu kehilangan pertanyaan dan berakhir dengan penyesalan kemudian berargumen dengan pikiranku sendiri.
Tapi selepas itu semua aku merasa begitu bersalah karna telah berbicara ketus. Aku ada keinginan untuk meretas nomor kantornya untuk mendapat nomor miliknya dan mengatakan bahwa aku tidak seperti apa yang ada di benaknya, untuk mengatakan maaf itu semua hanya kemungkinan. Setidaknya untuk sekali saja berpapasan dan mendengar suaranya itu sudah lebih dari cukup aku menghujatnya dalam benak.
Perasaanku pada sinar matahari pun tak pernah surut, rasa sakitnya juga masih berbekas. Semua cahaya matahari yang lancang menyelinap dan berhasil menyentuh bola mataku sore itu telah kumaafkan, walau memang menyakitkan setidaknya tanpa cahaya aku bukan yang memiliki penglihatan yang baik tanpa cahaya yang cukup.
Aku mengerti bagaimana ia ingin berbuat baik tapi memang keadaannya sedang tidak baik karna matahari di bagian barat adalah awal dari berakhirnya siang. Dia dengan berbaik hati meminjamkan kacamata hitam, dan itu menjadi alasan untuk mengungkap bagaimana ia tahu sesuatu yang bahkan tidak banyak orang tahu mengenai aku?
Sebuah pesan singkat di beranda ceritaku mengenai seseorang yang tahu segalnya dan kacamata hitam di sore hari, aku memohon untuk ia mengaku telah menyimpan nomor ponselku. Kenyataannya selama 24 jam tak ada respon dari siapapun.
Menyebalkan.
Aku berharap dengan menulis ini semua perasaan bersalah akan segera menghilang dan secara tidak langsung tersampaikan padanya (harapanku kecil). Semoga juga kesehatanku segera pulih dan dapat beraktifitas sebagai mestinya.
Tepatnya aku memperhatikanmu dalam balutan kelelahan dan pendingin dari mesin mobil, masih mengenakan kacamata yang sama.
"3,5 senti?"
Itu yang selalu kuingat diterakhir pembicaraan kami yang memuakkan. Aku dengannya sedang terlibat perbincangan mengenai ukuran kacamata, aku tahu maksud dari perbincangan itu adalah untuk mengetes fokus.
Aku yang sibuk dengan ketidak-tenanganku, sedang dia merasa panik karna aku terus-terusan mencoba menabrak pengendara lain atau semua bentuk benda penghalang di jalan. Aku terus menghiraukannya setiap kali ia berkata
"Awas!"
"Kanan! "
"Terlalu berlebihan!"
"Kiri.."
Dan semua kalimat menyebalkan berakhir dengan sebuah penutup dimana aku merasa bersalah dan perasaan yang makin tidak mengenakan mengambil alih diriku, sedangkan pria berkacamata itu tengah mengendalikan emosinya untuk tidak meledak ketika aku berbicara lumayan ketus.
Mungkin bagiku cukup untuk dirinya berkata bahwa setiap kali sesi berakhir aku selalu melakukan kesalahan. Tapi ada sederet kalimatnya yang terngiang, membuatku sedikit goyah saat itu. Saat ia memintaku mampir untuk ke kantor dan aku mengelak.
"Saya tinggal disana, apa kau tahu?"
"Saya tidak bertanya." Mungkin lebih seperti 'apa peduli saya' , tapi aku merasa sulit sekali menelan liur sendiri.
Lantas ia menyindir soal bagaimana aku bersikap ketus dan dia menganggap hal itu tidak sopan dan mengungkit tentang kedudukan-ku yang masih di perguruan tinggi, aku ingat di sana aku hanya tertawa dan ia mempertahankan senyumnya.
Dia bahkan mengetahui salah satu sisi yang tidak banyak orang tahu, dia berkata bahwa aku menyukai lagu-lagu asia yang pada abad 21 ini tengah naik daun. Aku bahkan tidak menyimpan nomor ponselnya, bagaimana ia mengetahui hal tersebut? Ada kemungkinan pria itu menyimpan nomor ponselku untuk sekali-kali menjadi bahan penghibur di waktu senggang. Tentu hal itu begitu buruk, karna aku memiliki area pribadi menjadi diriku sendiri.
Sejak awal memang intuisiku mengenai dirinya kurang baik itu benar. Kami tidak berada pada kecocokan, sehingga aku pantas membenci dan berbicara ketus padanya.
Persetan dengan usia. Tangannya masih mengadah ke atas saat tanganku berada di atas.
Tapi aku ingat bagaimana tangan kiri kita sama-sama berburu tuas kopling di pertengahan jalan yang ramai, dan aku berhasil mendapatkannya walau menyentuh sedikit permukaan kulit tangannya. Aku terlalu takut saat pikiranku mengambil alih menilai dirinya akan melewati batas, untungnya sejauh ini hanya pemikiran saja.
Dia selalu meminta aku untuk mengajukan pertanyaan, tapi aku selalu kehilangan pertanyaan dan berakhir dengan penyesalan kemudian berargumen dengan pikiranku sendiri.
Tapi selepas itu semua aku merasa begitu bersalah karna telah berbicara ketus. Aku ada keinginan untuk meretas nomor kantornya untuk mendapat nomor miliknya dan mengatakan bahwa aku tidak seperti apa yang ada di benaknya, untuk mengatakan maaf itu semua hanya kemungkinan. Setidaknya untuk sekali saja berpapasan dan mendengar suaranya itu sudah lebih dari cukup aku menghujatnya dalam benak.
Perasaanku pada sinar matahari pun tak pernah surut, rasa sakitnya juga masih berbekas. Semua cahaya matahari yang lancang menyelinap dan berhasil menyentuh bola mataku sore itu telah kumaafkan, walau memang menyakitkan setidaknya tanpa cahaya aku bukan yang memiliki penglihatan yang baik tanpa cahaya yang cukup.
Aku mengerti bagaimana ia ingin berbuat baik tapi memang keadaannya sedang tidak baik karna matahari di bagian barat adalah awal dari berakhirnya siang. Dia dengan berbaik hati meminjamkan kacamata hitam, dan itu menjadi alasan untuk mengungkap bagaimana ia tahu sesuatu yang bahkan tidak banyak orang tahu mengenai aku?
Sebuah pesan singkat di beranda ceritaku mengenai seseorang yang tahu segalnya dan kacamata hitam di sore hari, aku memohon untuk ia mengaku telah menyimpan nomor ponselku. Kenyataannya selama 24 jam tak ada respon dari siapapun.
Menyebalkan.
Aku berharap dengan menulis ini semua perasaan bersalah akan segera menghilang dan secara tidak langsung tersampaikan padanya (harapanku kecil). Semoga juga kesehatanku segera pulih dan dapat beraktifitas sebagai mestinya.