Sejak hari-hari lalu aku menyayangkan betapa lemahnya aku. Itu di mulai pada Rabu yang larut pada emosi memuncak yang masih dapat kutahan tanpa mengetahui sebab sesungguhnya, aku menebak-nebak. Benarkah ini sebuah kelelahan? atau masa-masa pre-menstruasi yang sungguh gila. Aku bergumam pada diriku sendiri mengenai tangan yang mulai muncul bintik-bintik merah di sela-sela jari dan rasanya gatal, 'rasanya ingin memukul seseorang'. gumamku begitu.
Sejak selasa kemarin hari-hariku benar-benar melelahkan, dari pukul 8 pagi pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli peralatan dekorasi-untuk acara kampus pada hari jum'at esok dan kembali ke kampus dengan waktu yah, di bilang lumayan tidak terlambat. Dan itu bisa dikatakan sekitar setengah 11 menuju siang. Dimulai dengan Kalkulus II, yang dimana aku mendengar begitu banyak penjelasan mengenai Pengintegralan Fungsi Rasional, entahlah itu hanya aku harus pandai-pandai memahaminya karna setelah lulus dari mata kuliah ini aku akan menghadapi Statiska. Semoga saja tidak jauh berbeda dengan pelajaran sewaktu SMA. Menuju pukul satu siang aku beribadah seperti biasa dan melanjutkan mata kuliah selanjutnya tentang Material sampai pukul 4 sore. Dan bisa dibayangkan berapa lama aku menahan lapar dan haus sejak jam 4 pagi. Belum lagi kegiatan yang mengharuskan aku pulang sampai pukul setelah 6 sore. Butuh 2 jam perjalanan menuju rumah dan pada Kamis hal itu terulang lagi, tapi lebih lama.
Untuk olahraga otak Fisika II menjadi awal dan dilanjut dengan kelas pengganti Kalkulus II. Untuk makan siang disajikan penulisan ilmiah dimana hadir untuk tatap muka lebih penting dibanding mengerjakan tugas yang menghabiskan waktu, nyatanya lebih mudah memahami intergral dibanding memahami perbedaan refrensi dan daftar pustaka. Walau kedengarannya mudah, tapi nyatanya aku belum benar-benar paham. Dan sampai pukul 5 sore aku masih mendengar bgeitu banyak mengenai Material bangunan dan sebuah lisensi produk.
Harusnya aku pulang untuk menyajikan makan malam nenek, tapi aku malah mempersiapkan dekorasi untuk acara esok. Bertemu dengan salah seorang teman dan Zelin, yang terbaik dari yang lainnya sempat memarahiku karna kelelahannya mengalahkan kebaikan dalam dirinya. Ekspresinya sungguh menyebalkan, dan itu menular padaku untuk tak ingin di ganggu.
Tapi ada 2 orang bodoh yang menghancurkan sebagian sel otak dan hati nuraniku. Temanku Jean sedang mengandung 2 bulan dan salah satu orang bodoh menyodorkan se-kardus air kemasan. Lantas aku naik pitam, lalu tertahan. Kemudian salah seorang temab si bodoh yang usianya 3 tahun lebih tua dariku menyusul kebodohannya, dengan melakukan hal yang tidak jauh berbeda, Dan si bodoh ini menganggu sebagian diriku yang malang dengan meletakan kardus air kemasan itu di atas tubuhku-yang sedang duduk mengerjakan suatu hal. Aku menahan emosi sebagaimana kepintaranku yang mengambil alih dari diri ini. Dia tampak sesak nafas di tawa senang Jean yang mengarah padaku, sedang Zelin masih berada pada tingkat suntuk yang belum surut. Moodnya buruk, sangat buruk. Sebelumnya dia berkata padaku bahwa ada keributan antar pemain di acara yang diadakan oleh prodinya, lalu ia kemari untuk meredam semuanya. Aku ingin menghiburnya, tapi emosiku malah tak bisa tertahankan karena sebuah kegiatan dimana si bodoh mengganggu teman terbaikku. Sebelumnya si bodoh itu sempat menggangguku juga dengan berkata
"Aku merindukanmu, apa kau tidak merindukanku?"
Berulang-ulang seperti seorang jompo yang alzheimer. Untukku itu tidak apa-apa, tapi aku melihat ekspresi yang tidak nyaman pada Zelin yang diperlakukan seperti itu, aku berpikir itu sebuah pelecehan terhadap Zelin. Karna Zelin terus-terusan di dekati, entah apa maksud pemuda bodoh itu dengan teman yang terus-terusan tertawa. Mungkin dalam pandangan banyak pria Zelin tidaklah cantik, juga tidak begitu menarik karna parasnya, tapi Zelin adalah orang yang terbaik dalam hidupku. Kalau dia merasa seperti itu, lantas aku yang akan naik pitam. Emosiku sudah tak ada batasanya dan semua terjadi begitu saja. Aku masih sadar Jean yang terdiam sambil disusul senyum, sedang si teman pemuda bodoh itu masih terus tertawa saat aku memukulinya, kekuatanku memang tidak ada apa-apanya dibanding semua emosi yang menampilkan ekspresi ketidak nyamanan Zelin. Emosiku meledak bak Nuklir di hantam meteorid, aku sadar semuanya dan aku berusaha untuk tidak menangis untuk menahan emosiku. Tapi pemuda bodoh itu masih saja tertawa dengan temannya, aku menendangnya tidak begitu kuat, karna pada dasarnya waniat begitu lemah untuk menjadi penghancur. Aku hanya berusaha mendorongnya ke sudut sampai Zelin menahanku yang sudah keterlaluan pada temannya sendiri. Pemuda bodoh dan temannya itu tidaklah salah, aku lah yang salah karna tak dapat menahan emosiku.
"Yah, aku perempuan. AKU LEMAH."
Begitu kataku saat apa yang dibicarakannya terasa begitu tuli. Aku berada pada titik puncak kekesalan yang luarbiasa. Tiba-tiba aku teringat ayahku yang selalu saja bertengkar dengan ibu. disitu aku berkata "percuma aku bicara sampah berbusa dan berdarah tidak akan ada yang mendengar." keadaannya disitu ibuku tengah sakit, tapi ayahku malah tersenyum. Padahal perkataanku barusan menunjuk padanya. Akhirnya aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak peduli lagi pada diriku dan memukul dinding, karna rasa sakit akan terasa hampa bila telah hancur. Bukankah itu tidak apa-apa?
Aku hanya terjebak dalam masa lalu yang berlarut-larut, semua emosi amarah, kesedihan, rasa dendam, bahkan sakit dilubuk hati yang terus tertahan masih berada disana, menyatu membentuk sebuah gugusan yang dinamakan 'masa lalu suram'. Lantas, kapan aku bahagia? Yah, disaat aku tengah menderita tidak makan seharian dan pergi mencuri mie di rumah kakakku-itu di saat ayahku membawa seorang perempuan ke rumah dan aku menyanyi bahagia "pergilah kasih kejarlah keinginanmu..." dan ibu memutuskan untuk tinggal di kota kelahirannya. Yah, untung saja masih ada yang ingin mengurus hidup seorang gadis penuh amarah ini, sudah bodoh emosional pula.
Untung saja aku ini mencintai menulis, kalau tidak begitu aku akan bodoh seumur hidupku.
Bahkan hingga hari ini rasa bersalah yang dinamakan penyesalan itu masih menggantung nyaman di hatiku, aku terus merasa salah dan berakhir dengan menyakiti diri sendiri.
Dan rasanya masih tidak jauh berbeda dengan sekarang, aku merasa bersalah saat mendengar si bodoh dan temannya itu masih menyalahkan perbuatanku yang tidak manusiawi, masih baik aku tidak menancapkan gunting atau cutter ke tubuhnya. Sedang di dalam bilik kamar mandi aku menyesal dan meremehkan ucapannya
"Kamu lelah, pulanglah."
kalimatnya begitu kuat sampai aku merasa terhinakan dengan seluruh emosi ini. Aku mendengar Jean masih bisa tertawa, pada dasarnya mereka sama tapi aku lebih mengahargai Jean ketimbang mereka. Zelin menungguku lumayan lama di Toilet, aku merasakan seberapa pusing dia disemua masalah ini. Di acaranya ada perkelahian, bahkan dia juga harus melerai aku dengan kedua pemuda itu, belum lagi bila ada anggota keluarganya yang marah bila ia pulang malam. Aku benar-benar merasa bersalah, aku juga merasa takut untuk banyak bicara. Jadi, aku berubah begitu jauh, memendam emosi sejauh-jauhnya dan menjadi sedikit gila untuk menjadi penghibur.
Tidak lama kemudian aku pergi ibadah dan kembali mengerjakan pekerjaanku sambil bergurau dengan Jean dan Zelin. Kemudian aku juga membantu mereka. Aku beberapa kali melihat teman si bodoh itu berada di ruangan yang sama denganku, dia tidak banyak berbicara dan sibuk dengan latopnya. Saat aku bilang ingin pulang tidak lama lagi, Jean mengatakan hal yang sama di susul Zelin yang setuju. Setelah semuanya selesai dan aku berakhir agak lebih buruk dengan emosi yang bercampur menjadi satu, tapi aku agak menjadi lebih tenang.
"Aku ingin pulang." Ucapku yang kemudian mereka bergegas.
Teman si bodoh itu juga melakukan hal yang sama dan menyahutku. Aku tak begitu mempermasalahkan sebelumnya, tapi entahlah mengenai dia mungkin aku akan dinilai bocah kecil yang masih labil. Untung saja rumah kami searah dan naik kereta yang sama, karna aku agak takut bila pulang saat bulan yang mengambil alih dunia malam. Aku tidak dapat membaca ekspresi orang dalam lintas cahaya yang kurang dan gelap. Aku memintanya untuk bersama melangkah ke stasiun. Aku berpisah dengan Zelin dan Jean yang ingin membeli camilan lebih dulu, aku menyebrang 4 kali jalan raya yang dilintasi pengendara begitu cepat. Kalau sudah waktu seperti ini lalu lintas akan begitu ramai dan sulit di sebrangi, maka dari itu aku memintanya untuk bersama.
Teman si bodoh itu tidak banyak bicara, dia paham karna 3 tahun lebih tua dariku mengenai aku yang tidak suka bicara padanya. Bukan karna apa, mungkin karna tidak ada kecocokan. Aku ingat saat aku mencoba membuka pembicaraan di dalam lift, di saat hanya aku dengannya. Topik pertama aku bertanya mengenai salah seorang temannya yang ternyata seorang penulis terkenal di sebuah situs, aku tidak bertanya padanya, tapi saat pintu lift terbuka dia berkata padaku
"Aku ingin menjadi penulis politik."
"Itu tidak sehat," Kataku.
Tipe wajahnya yang ramah cocok menjadi sebuah pembawa acara atau public figure karna wajahnya tipikal yang menjual dengan harga tinggi. Kemudian aku bicara bahwa ada suatu buku yang menceritakan seorang pemuda yang tengah mencari jati diri diantara dunia gelap dan dunia terang. Aku melihat ekspresinya yang merasa bahwa itu adalah cerita anak-anak, setidaknya aku telah menyampaikan apa yang aku ingin katakan. Dan tidak ada pembicaraan selanjutnya selain arah kereta dan jadwal kereta.
Selama perjalanan pulang yang begitu lama menunggu angkutan dan aku yang sempat putus asa dan tidak sabar berkata ingin menggunakan kendaraan lain dan bertanya bagaimana dengannya nanti.
"Aku mudah."
Aku sempat bertanya beberapa hal untuk mencairkan suasana yang canggung dengan berkata "Jurusan Teknik informatika? Kenapa pindah ke Fakultas Ilmu Komunikasi?"
"Orang tuaku memberi 2 pilihan, saat tes masuk Perguruan Tinggi Negri aku memilih Jurnalistik dan Teknik Informatika (di Universitas Islam Negri Bandung) dan aku lulus di Teknik Informatika. Selama 4 semester dan ternyata aku tidak begitu cocok, lantas aku kemari memilih Ilmu Komunikasi. "
"Begitu."
"Aku akan turun di bekasi. Tadi aku terlambat."
Sebelumnya aku melihat almamater yang berbeda dari jurusannya maka dari itu sebuah pertanyaan muncul dalam benakku.
Dan tidak lama kemudian sebuah angkutan berhenti, begitu ramai ternyata.
Aku melangkah lebih dulu, padahal itu bukan kebiasaanku menjadi pemberi jalan. Aku terbiasa membuntuti dari belakang.
Saat sampai stasiun ternyata kartu aksesku sudah habis, aku melihatnya dia juga mengisi kartu aksesnya. Kita sempat terlibat perbincangan lagi dan aku merasa begitu canggung.
Dia menaiki kereta pertama yang sangat amat padat, ia rela berhimpitan dengan penumpang lain, sedangkan aku menunggu kereta berikutnya yang mungkin agak lebih lenggang. Entah mengapa aku terus-terusan tersenyum menantikan kepergiannya.