Aku punya cerita masa lalu.
Dan itu cerita yang agak sulit untuk di lupakan. Jadi aku punya seorang teman dan temanku mempunyai teman perempuan. Awalnya aku tidak peduli sampai aku merasa ada yang terhubung antara aku dengan perempuan itu.
Perempuan itu berpacaran dengan seorang laki-laki yang ku suka. Intinya aku dengannya menyukai laki-laki yang sama. Kemudian aku tidak peduli, sebenarnya aku agak merasa sakit hati. Tapi apa dayaku? Aku tidak memiliki sesuatu untuk menarik perhatiannya. (Kecuali teman-teman brengsekku)
Hari demi hari aku jalani hanya dengan sekedar memandang dirinya dari kejauhan sambil mengumpat mengenai kata-kata kasar. Terkadang aku berharap mendapat kegiatan yang melibatkan kita berdua, tapi itu hanya sekedar angan yang sulit terwujud. Bahkan aku dengannya tak pernah telibat dalam suatu pembicaraan, sama sekali walau itu gurauan di siang hari. Tidak pernah.
Hingga suatu hari di kelas terakhir, ada semacam kegiatan untuk memenuhi standar keahlian pekerja. Entahlah apa namanya, tapi itu bukan tes akreditasi lebih seperti perlombaan antar sekolah, karna nantinya perwakilan sekolah yang lolos akan di tes lagi untuk mendapat piagam dan pengakuan dari pemerintah. Karna kegiatannya yang terbilang lumayan besar, persiapannya pun di lakukan jauh-jauh hari. Melibatkan murid-murid (lumayan) ahli dalam bidangnya di kumpulkan dalam forum. Aku masuk dalam forum tersebut dan sesuatu yang selalu kukatakan mustahil pun terwujud. Aku di libatkan dalam forum yang sama dengannya. Tidak ada yang pernah tahu bahwa aku sudah amat membencinya dan kupikir dia sadar akan hal itu.
Coba bayangkan, saat kelas perakitan berakhir-aku yang masih tertinggal karna ada beberapa screw yang macet mengakibatkan langkahnya mendekat dan membantuku memutar komponen besar dan berat yang belum terpasang. Lantas aku terdiam, membiarkan dirinya sendiri yang melakukannya. Hanya aku sendiri yang bodoh di sana, beranggapan hal-hal negatif. Menghantam dirinya dengan ribuan makian dalam benak yang sunyi. Kemudian aku menyebut nama tuhan. Aku ingat bagaimana dia yang menghampiriku, melihatku sebentar dan menjulurkan tangannya untuk membantu. Kau tahu ada berapa banyak kata-kata tidak manusiawi yang hendak terlontar
(Babi hutan, Kucing jalang, Harimau, Anjing laut, Ayam kampung...)
Semua sel otak seakan bersatu untuk menyusun beribu-ribu kalimat yang pantas untuk di katakan pada saat-saat seperti ini. Melihat ia melakukannnya tampak mudah, tapi aku yang melakukannya selama itu malah merasa begitu sakit. Lalu, aku pergi ke toilet dan kembali ke kelas untuk memohon pada guru pembimbing untuk keluar dari kegiatan tersebut. Lantas guru pembimbing menolak karna diriku memiliki keahlian yang cukup buruk di bidangku. (Aku bahkan tidak mengerti disini). Setelah melalu proses pembelajaran yang cukup banyak, amat banyak dan apadaa akhirnya kelompok kami tersisa 5 orang yang terdiri dari perwakilan tiap kelas. Selama beberapa hari kami mendapat kelas khusus dan belajar secara intensif, dan aku yang menjadi ketua kelompok diantara laki-laki dengan sel otak rakitan. Dan setelah proses panjang yang mengakibatkan kelelahan pikiran, akhirnya aku di dengan salah seorang teman di kirim untuk gelombang pertama sebagai perwakilan dari sekolah selama 3 hari berturut-turut dan aku merasa beruntung karna tidak bersama dengannya. Setelah melakukan beberapa kegiatan dan tes dan segala urusan selesai, tidak ada yang dapat kubayangkan selama kelas tambahan dan begitu banyak materi tidak ada yang dapat membuatku bicara padanya.
Tidak sampai akhirnya salah seorang temanku yang juga temannya menitipkan sebuah buku. Dan dari situ aku sadar bahwa aku harus lebih mencintai diriku sendiri. Dia tidak se-superior yang kubayangkan, bahkan tidak se-dermawan yang kubayangkan, tidak seperti cinta yang kukenal. Melainkan seseorang yang harus kusingkirkan dari dalam hatiku. Untuk pertama kalinya dalam hidup. Aku bicara padanya di Jendela antara ruang kelas dan lorong. Aku bicara begitu cepat untuk menghindari kata-kata yang nantinya terlontar untuk mempermalukanku, dan ketahuilah bahwa responnya seperti ekspresi seperti orang bodoh dan hanya mengatakan "ya" bisa membuatku ingin mati. Mungkin banyak anak gadis yang merasakan hal demikian, dan yang belum pernah merasakannya aku tidak menyarankan hal tersebut.
Hingga hari ini pun terkadang aku merasa orang paling bodoh walau termasuk kategori murid terbaik di sekolah. Aku hanya perlu menyesalinya dan merasa malu.
Dan beberapa pekan setelah kelulusan aku melihat sesuatu yang aneh. Dia mengunggah sebuah foto perempuan yang hmmm... cantik. Tapi itu bukan kekasihnya. Dan aku terpaksa mengintip akun sosial miliknya, dan benar saja. Hubungannya dengan Peony (sebut saja begitu) telah berakhir, dan aku beralih ke akun milik Peony dimana ada fotonya dengan serentetan kalimat yang amat panjang. Inti dari isinya dia merasa sakit hati dan tidak dapat memaksa kehendaknya karna Peony masih mencintai laki-laki yang aku sukai itu.
Peony merasakan sakit seperti aku, tapi dalam kasus yang berbeda. Dan aku pikir ini saatnya aku mendeklarasikan menjadi Kita. Yah, Kita sama-sama mencintai laki-laki yang sama dan karna aku yang terlalu takut akhirnya aku memilih untuk membencinya, sedangkan dia memilih untuk menurut karna ia takut laki-laki itu membencinya. "sebenarnya kami berdua bukan apa-apa dia sudah lama berhenti mencintainya sedangkan aku menyayanginya seperti tidak akan berakhir." kurang lebih begitu sedikit kalimat yang berhasil ku-kutip disini. Bertahun-tahun aku mengasihani diriku sendiri, dan saat itu aku mengasihani Peony. Aku tak pernah sadar bertemu Peony, mungkin pernah hanya saja kami tidak pernah menyadarinya.
Di sisi lain aku merasa beruntung, lantas pikiranku berkecamuk. Memikirkan mengenai perasaan yang semakin jauh ini menuju pendewasaan terasa begitu rumit seperti cabang yang terhubung pada cabang yang lain, semakin mengerucut semakin kecil dan mulai tumbuh dedaunan. Dari daun tersebut tumbuh bunga dan mungkin ada buahnya, atau mungkin hanya sekedar dahan yang terus bercabang.
Sejak dulu aku selalu memujanya dan berharap bertukar pesan dengannya, tapi aku malah seperti seorang yang dungu. Aku mengkhawatirkannya, dan dia terus tertawa dan panik dengan teman-temannya, mengatakan aku menyayangimu kesana kemari dengan beberapa anak perempuan dari kelas sebelah. Sedang aku sendiri hanya terus bermimpi, sekalipun itu saat aku terbangun. Hebat, bukan?
Bagiku sakit hati, kecewa, penyesalan, sedih, merasa terabaikan adalah sebuah frasa dari luka yang kaya akan inspirasi.
Sekarang ini aku tak berharap mendapatkan siapapun, hanya menggoda beberapa teman pria dari jurusan berbeda atau kakak tingkat atas dan berfokus pada tugas yang selalu memiliki kelanjutan di tiap episodenya. Aku begitu merasa bahagia di fase-ku ini. Tapi tidak begitu juga, aku hanya selalu mengasihani diriku sendiri karna tak pernah pandai dalam berhubungan.