Hal yang paling membingungkan adalah terdapat ruang di lintasan waktu, dimana orang-orang bersikap ramah dalam batas kewajaran dan pikiran yang positif. Orang-orang seakan memiliki kepribadian yang tampak naif, namun tidak demikian. Mereka bersikap benar dengan cara yang benar-benar pula. Namun, orang-orang yang tidak terbiasa akan sifat-sifat kebajikan malah berpikir bahwa hal tersebut tidaklah mutlak dan memiliki suatu inisiatif yang ada inginnya. Biasanya terdapat pada orang-orang licik dan manipulatif, kemudian orang-orang yang hanya berpikir keuntungannya saja, bahkan kebaikan orang dapat di nilai sebagai tolak ukur untung-rugi. Padahal bersikap saja demikian, hal itu tentunya sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada.
Sama halnya seperti yang di alami oleh Teo barusan. Beberapa saat lalu dia makan dengan salah seorang teman, bersama-sama dengan yang lainnya. Ini bukan rutinitas yang biasanya, tapi terkadang dilakukan sambil berbincang-bincang mengenai gosip panas yang terjadi. Dan saat ada topik yang menarik biasanya Teo lihat siapa yang bicara, kali ini ada Eric, Eugene, Laverty dan Millane. Topik pembicaraan kali ini adalah mengenai seorang penuduh yang menyebarkan gosip sampah pada Laverty dan rekan kerjanya. Eric dan Millane jelas amat membenci seorang penuduh tanpa bukti, dan mereka semua tahu fakta sebenarnya. Sedangkan, Laverty dengan pola pikir anehnya menanggapi gosip tersebut dengan asumi yang jelas-jelas bisa di nilai membela si penuduh. Padahal si penuduh melemparkan kotoran padanya, sungguh sangat jelas. Lantas, Teo berpikir bahwa Laverty adalah orang yang agak dongo. Namun, kalau di pikir-pikir selama ini ia mengenal Laverty, bisa dibilang keuntungan yang diperoleh Laverty adalah sekitar 30-42% berdasarkan dari lingkup pertemanan, cerita keluarga, percintaan bahkan kinerja di kantor. Namun, Laverty punya 99% kebaikan hati yang tidak dimiliki oleh siapapun.
"Kalau aku bukannya tidak membenci, hanya saja aku punya pandangan lain mengenai ketidak cocokan cara hidup kita dengannya. Maksudnya seperti rangka puzzle yang tidak bisa asal di sesuaikan. Mungkin ia punya lingkup pertemanan yang sekiranya cocok padanya, begitupun kita. Kalau kita bisa saling berteman, mungkin memang ini hanya masalah ketidak-cocokan bergaul. Bisa jadi ia rangka puzzle yang lain."
Tidak ada yang mau menyetujui asumsi aneh bin gila itu. Bahkan Eric, Teo, dan Millane sekalipun. Laverty seperti seorang manipulatif yang bahkan dapat memohon pada musuh untuk dijadikan teman.
"Asumsi-mu amat sangat buruk."
"Itu sangat payah. Mau bagaimana pun jelas, aku tidak setuju."
Melihat kejadian itu Teo jadi berpikir bahwa Laverty mungkin orang yang baik, namun tidak demikian.
Bukan hanya asumsi barusan saja. Ada lagi mengenai sifat umum yang murni- yang di miliki oleh seseorang. Ini topik paling umum yang paling sering dibicarakan dan dengan kewarasan serta keyakinan penuh Laverty menyampaikan dengan sangat lugas.
"Menurutku keberadaan orang-orang 'penyendiri' adalah mutlak."
Padahal yang lain sudah berasumsi dengan bukti yang akurat bahwa hal itu adalah relatif. Dan Laverty hanya membuktikan dengan apa yang dilihat bukan berdasarkan sumber yang terpercaya.
Dalan sudut pandang Teo, mungkin pemikirannya orang dewasa memang berdasarkan apa yang telah di alami, bukan berdasarkan sumber dan para ahli. Walaupun sebenarnya hal itu bisa di nilai suatu kesalahan besar.
Kemudian di waktu makan siang, Millane bercerita mengenai mantan pacarnya yang kini sudah menikah mendahuluinya, ia di undang ke acara pesta pernikahan tersebut. Millane bilang bahwa mantannya itu brengsek dan ia amat sangat membenci itu. Tapi, lagi-lagi Laverty berasumsi bahwa "Memang sepertinya sejak awal kau sudah membencinya. Coba tebak, apa perasaanmu saat tahu tiba-tiba dia sudah menikah tanpa sempat mengundangmu? Jelas kau pasti tidak peduli dan kenyataannya masih membencinya dalam suatu waktu."
Bisa dibilang Millane hanya tidak peduli dan tidak akan pernah peduli lagi. Kalaupun tidak di undang dia jelas tidak peduli. Kali ini Eric setuju pada pendapat tersebut, mengingat kepribadian Millane yang masih labil dan mudah terpengaruh.
Teo agak tersulut akan hal itu dan tanpa sadar ia menarik wadah acar lobak yang sudah di campur dengan lada dan cabai bubuk. Padahal aromanya dapat tercium dengan jelas, tapi kesalnya yang tanpa sebab jelas itu menutup indranya. Ia merasa pedas dalam beberapa saat yang cukup lama, ia bangkit dari duduknya untuk mencari-cari air dan sesuatu yang dapat meredam rasa pedasnya.
"Coba ini." Millane menyodorkan sebotol es jus jeruknya yang berkeringat. Teo lantas menarik botol tersebut dan menyicip sedikit. Rasanya mau gila, dia lupa kalau tidak bisa makan pedas.
Dan tebak Laverty berasumsi apa? Dia dengan entengnya bicara. "Katanya untuk menghilangkan rasa pedas cukup lakukan saja dengan ciuman."
Teo yang sedang meneguk jus jeruk seketika tersedak hingga wajah dan lehernya memerah. Eric dan Millane pun terkejut mendengarnya. Dalam benak mereka Laverty adalah orang gila. Di situasi yang genting ini malah sempat-sempatnya berucap hal yang tak masuk akal.
Eric mengangkat sumpitnya dan menunjuk ke arah Laverty "Berhenti bicara! Lakukan kalau benar faktanya begitu!"
"Aku akan tunjukkan.” Ucapnya enteng dan dengan anggunnya menaruh sumpit di samping wadah makannya, kemudian melihat ke arah Teo yang makin merasa terancam."
"Aahh, Tidak!!" panik Teo hingga ia bersandar pada dinding yang tak jauh darinya.
"Sudahlah, kembali makan! Ini sudah hampir larut. Cih, keretaku terkahir jam 10."
"Enyahlah!" Teriak Teo yang berusaha menolak kedatangan Laverty.