“Pus pus kucing manis. Duh,
lucunya engkau wahai kucing manis.” Auf tak habis lelah memuji kucing yang ikut
duduk di sampingnya sambil mengelus-elus tubuh si kucing. Dilihat dari bulunya
yang bersih dan halus, tampaknya kucing ini memiliki seorang majikan atau
memang dasarnya kucing ini gemar membersihkan diri dan ramah pada orang-orang. Kucing itu awalnya hanya menggesek-gesekan bagian tubuhnya ke kaki Auf, namun kemudian naik dan duduk di samping Auf.
Setelah habis sepotong roti,
Kausia masih belum datang dan kucing kembang telon itu tertidur di samping Auf.
Garis bayangan juga mulai memanjang ke arah timur. Angin juga mulai terasa
dingin dan keramaian para pelajar juga mulai mereda, hanya menyisakan tukang
sapu yang berburu dedaunan yang gugur dan para pengajar yang mulai kembali ke
rutinitas akhir mereka. Namun, Auf masih setia menunggu Kausia yang masih belum
selesai dengan 4 sesi waktu belajarnya di kelas.
Dan pada waktu dimana Auf telah
terlelap diatas dua tumpuk buku dengan kucing bergelantung di lehernya di antara pohon-pohon rindang
yang mulai berguguran dan warna langit mulai berubah oranye. Kausia dengan
segerombol teman-teman keluar dari gedung kelasnya sambil berbincang-bincang
dan tertawa-tawa. Kausia pun berpisah dengan teman-teman kelasnya dan
menghampiri Auf yang tidur di pinggir air mancur dibawah pohon rindang dengan
seekor kucing dengan corak kembang telon bergelantung di lehernya. Ia tertawa
melihat temannya itu. Kausia pun mengelus kucing tersebut dan kucing tersebut
bangun diikuti dengan Auf yang ikut mulai tersadar dari tidurnya.
“Kausia, lama sekali kau. Apa
yang kau lakukan disana? Melawan penjajahan-kah?” Raut wajah Rauf yang kusut karena belum sepenuhnya sadar dari tidurnya, ia mencoba bangkit untuk duduk di samping kucing yang turut ikut duduk bersamanya. Ia sesekali mengerjapkan matanya untuk melihat dunia yang mulai senja.
Kausia tertawa mendengar ucapan temannya itu “Hahaha… tentu tidak temanku. Aku
belajar seperti biasanya.” Ia pun ikut duduk di ssamping Auf sambil menaruh buku-buku pada pangkuannya.
“Lantas kenapa begitu lama? Kau
tahu aku sampai selesai membaca buku ini yang seharusnya kubaca selama 3 hari,
entah besok apa yang kulakukan.” Ucapnya kesal menunjukkan sebuah buku tentang komposisi pakan ternak bagian 2 pada Kausia.
“Lantas kenapa menungguku begitu
sabar temanku?” Sahut Kausia setengah menggoda teman karibnya yang senantiasa setia menunggu dirinya itu.
“Tadinya, aku ingin meminta tolong
padamu untuk menemaniku pergi ke perpustakaan di kota. Namun, sepertinya
sekarang sudah tutup.”
Mendengar ucapan teman karibnya itu, seketika raut wajah Kausia berubah menjadi serius namun tetap tampak ramah. “Apa kau akan ada ujian besok?”
“Tidak. Hanya ingin menemui
seseorang.” Ucap Auf dengan nada suara yang rendah.
“Siapa?” Tanya Kausia.
“Aku tidak tahu namanya. Hanya
saja dia seorang pembuat sepatu, teman pamanku. Dan ayahku menyuruhku untuk
menemui seorang pembuat sepatu di dekat perpustakaan kota. Bagaimana kalau
besok kau menemaniku?” Auf pun memberi tawaran pada Kausia.
“Baiklah besok akan kutemani. Apa
kau sudah makan?”
“Hanya makan bekal yang dibuat ayahku
tadi siang.”
“Kalau begitu biarkan aku
traktir. “
Mereka berdua pun pergi ke sebuah toko kelontong yang menjual roti dan kari. Saat makan Auf bercerita banyak mengenai apa yang diperolehnya saat di tempat pengajaran, ia begitu antusias menceritakan hal tersebut pada Kausia. Dan begitupun Kausia begitu antusias mendengar apa yang diceritakan oleh Auf. Perbincangan mereka pun mulai berubah menjadi suatu diskusi ilmiah mengenai suatu hal dan dari sudut pandang yang berbeda.
Auf adalah seorang pendatang kota yang jauh dari
negeri sebrang bersama paman dan ayahnya yang menggembala domba, sedang Kausia
adalah seorang yang lahir dikota. Mereka memiliki cara berpikir yang agak
berbeda, namun seringkali mendiskusikan apa-apa yang telah mereka pelajari di sekolah. Auf berfokus untuk mempelajari ilmu-ilmu berniaga dan kesehatan binatang, sedangkan Kausia mempelajari ilmu-ilmu sosial dan geografi. Menurut mereka ilmu sosial berkaitan erat dengan berniaga, biasanya topik diskusi mereka tidak jauh dari itu.
Besoknya Auf datang menjemput Kausia untuk ditemani pergi ke perpustakaan kota, mereka berdua bertanya sana sini pada orang asing agar tidak tersasar dan akhirnya bertemu dengan seorang pengerajin sepatu dari kulit sapi dan kerbau. Ternyata teman pamannya itu adalah seorang saudagar kaya raya yang sangat terkenal di pusat kota. Sepatu-sepatu yang dijual berkualitas tinggi dan bahkan dikirim ke berbagai negri. Bangunan tokoknya pun begitu indah dan besar, sungguh Auf tak kecewa untuk datang disini.
Auf memperkenalkan
diri sebagai keponakan dari sang paman dan menyampaikan pesan dari ayahnya
untuk minta dibuatkan sebuah sepatu yang indah dan awet untuk dipakai saat kelulusannya nanti, Auf bercerita bahwa selama ini ayahnya hanya memiliki satu alas kaki yang terbuat dari kulit kayu yang dilapisi getah karet dan itu selalu dikenakan kemanapun ayahnya pergi. Auf
berbincang cukup lama dengan tuan pemilik toko sepatu itu, sehingga Kausia
memutuskan untuk tidur dibawah sebuah pohon yang tak jauh dari toko sepatu meninggalkan temannya sibuk
sendirian. Semalaman ia habiskan untuk membaca buku dan membuat roti karena
ditengah-tengah malam ia bermimpi sehingga Kausia takut untuk pergi tidur.
Selama berbincang-bincang sambil mengukur sepatu untuk sang ayah, tuan pemilik toko menjamu Auf dengan berbagai macam hidangan mulai dari sup daging sampai kue kering dan manisan. Sungguh Auf sekali lagi merasa tak kecewa saat datang ke toko ini. Pemilik toko sepatu ini dulunya adalah teman menggembala pamannya ketika masih muda, ia pergi ke kota untuk belajar mengolah kulit hewan untuk mendapat nilai tambah saat dijual. Beruntungnya ia datang ke kota dengan penuh tekad untuk belajar dan buah hasil dari apa yang telah dipelajari adalah saat ini.
Setelah berbincang cukup lama, Auf memutuskan untuk pamit dan diberikan sekantong daging sapi yang baru sekali dipotong, terlihat darahnya yang masih mengalir segar.
“Sampaikan
salam untuk ayah dan pamanmu. Senang mendengar kabar dari pamanmu.” Ucap paman di salam perpisahannya dengan Auf.
“Tentu,
akan saya sampaikan.” Sahut Auf.
Tuan pemilik toko sepatu tiba-tiba melontarkan sebuah tawaran. “Wahai
anak muda, kau begitu ramah dan baik sekali. Aku memiliki 3 orang putri dan
diantaranya ada yang sekiranya usianya tak jauh darimu. Kalau berkenan
kemarilah dan pinang putriku.”
“Terima
kasih wahai tuan yang mulia atas tawarannya. Semoga putri tuan berkenan dengan
saya.”
Diakhir dari percakapannya dengan tuan pemilik toko sepatu Auf pun buru-buru mencari Kausia yang tertidur tidak jauh dari toko
sepatu. Ia membangunkan Kausia dan menunjukkan apa yang diberikan tuan pemilik toko
sepatu padanya dan mengajak Kausia untuk segera pulang karena langit mulai
berwarna kelabu.
Saat
malam tiba dan Kausia memutuskan untuk bermalam di tempat Auf. Ayah dan paman Auf
mengajak mereka untuk makan malam bersama dan membakar daging sapi pemberian
tuan toko sepatu. Di bawah gemerlap cahaya bintang Auf bercerita pada ayah, paman dan
Kausia mengenai tuan pemilik toko sepatu yang menawarkan putrinya padanya. Diantara cahaya api unggun yang sayup-sayup membakar daging sapi yang telah diberi bumbu hingga aromanya perlahan mengusik hidung dapat terdengar gejolak tawa Ayah
dan Pamannya.
“Beruntungnya
engkau. Bersegeralah untuk menikahinya.” Goda sang paman padanya.
“Benar,
sebelum ada yang mendahuluimu.” Sambung sang ayah sambil masih tertawa.
“Tapi,
aku tidak tahu putrinya. Parasnya seperti apa, dan lain sebagainya.”
Sahut sang ayah yang mulai menggeser bara-bara api “Ketidaktahuanmu
itu tampaknya sebuah keberuntungan karena pastinya itu adalah suatu kejutan
yang membahagiakan.”
“Apa
putrinya cantik?” tanya Kausia yang mulai penasaran dengan perbincangan tersebut.
“Apa yang
kau harap dari wanita yang cantik, Kausia?” sahut ayah Auf dan tampak seulas senyum yang tampak membahagiakan itu. Ayah Auf memang memiliki air wajah yang tenang dan ramah, ia tampak senantiasa selalu tersenyum walaupun dalam kondisi apapun.
Kausia terdiam sebentar untuk berpikir. “Tentunya
suatu anugerah.” Celetuknya
“Apa yang
kau harap setelah kecantikan dari istrimu kelak?” Tanya ayah Auf kembali.
“Sifat-sifat
kebaikan.” Sahut Kausia singkat dengan wajah polos tanpa keraguan sekalipun.
Ayah Auf pun tersenyum lagi. “Benar.”
“Apa
putrinya tuan pemilik toko termasuk dari itu?” Auf yang semakin penasaran pun bertanya pada ayah dan pamannya.
“Kalau
kau memang berjodoh dengannya, kelak apa yang ada pada dirimu ada pula pada
diri istrimu.” Jawab sang Ayah sambil mengangkat batang kayu yang menjadi penopang daging sapi itu dibakar. Auf pun bergegas untuk membantunya.
"Akhirnya kelaparanku berbuah hasil." Ujar sang paman yang langsung mengambil secuil daging dan hendak memasukkan ke dalam mulut.
Tangan ayah Auf pun singgap memukul tangan sang paman dan berkata. "Berdoalah dahulu."
"Maaf" ucap sang paman disusul gelak tawa Auf dan Kausia.
Mereka berempat pun makan bersama sambil bercerita banyak hingga malam mulai larut. Ini bukan pertama kali Kausia menginap di tempat Auf, sudah begitu sering ia menginap sejak kematian Ibu Auf,. Ibu Auf meninggal saat Auf berusia 14 tahun karena penyakit pernapasan. Sejak saat itu Kausia mulai sering menginap. Paman Auf
Setelah selesai makan, pamannya pergi tidur
lebih dulu, sedangkan Auf dan ayahnya membersihkan sisa-sisa dari makan malam.
Kausia pergi untuk membersihkan diri dan setelahnya disusul dengan Auf dan
bergantian dengan Ayahnya.
Pada
malam itu, ditengah malam dimana Auf sudah hampir terlelap tiba-tiba Kausia
menyadarkannya dan meminta Auf untuk mendengar ceritanya, Auf pun bersedia untuk mendengar kegelisahan temannya itu. Kausia bercerita pada Auf
mengenai seorang wanita cantik yang di incarnya itu, wanita itu nantinya tak akan seutuhnya
menjadi milik Kausia karena akan menjadi bintang di siang hari selama
bertahun-tahun bahkan sampai akhir hayatnya. Auf yang mendengar kalimat pertama yang diceritakan Kausia tak paham dengan apa yang
dibicarakan temannya itu. Kausia pun bilang kalau wanita yang didambakannya itu
akan bersama dengannya dalam waktu singkat dan ketika pihak kerajaan mencari
seorang wanita untuk dijadikan bintang siang hari, maka wanitanya itu akan di
ambil dan dijadikan bintang siang hari. Wajah kausia tampak bersedih berbeda
dengan Auf yang makin kebingungan.
“Temanku, apakah yang kau barusan ceritakan
adalah berasal dari mimpi?” ia melihat temannya menyeka air matanya dan
berkata.
“Iya
benar begitu. Namun, hatiku tetaplah bersedih. Aku tidak tahu kenapa demikian.”
“Lupakan
mimpimu itu, temanku. Kita belajar begitu banyak bukan untuk bersedih, ada tujuan
kita selain dari itu. Bukan untuk sekedar tidur lalu bermimpi, namun kita
belajar selama ini untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita.”
Tangis
Kausia makin menjadi mendengar itu. Auf makin bingung melihat temannya.
“Apa
sekiranya yang makin membuatmu sedih, temanku?”
“Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana mimpiku yang barusan akan terwujud. Betapa
sedihnya aku.”
Auf tak
habis pikir dengan cara berpikir temannya itu, padahal waktu belajar Kausia
lebih lama dibanding dirinya namun Kausia terlalu mudah mengartikannya dengan
cara berpikir yang pendek.
“Aduh,
bagaimana aku menjelaskannya padamu, Kausia!” Ucap Auf yang makin bingung.
...