Mimpi Kausia

 

Sejam setelah waktu pengajarannya selesai, Auf kembali dan duduk di pelataran gedung-gedung sekolah yang menjulang tinggi itu sambil makan roti yang dibekali ayahnya pagi tadi, menunggu-nunggu kehadiran Kausia dari tempat pengajaran yang berbeda. Hari ini Kausia mendapatkan 4 sesi waktu belajar lebih banyak ketimbang minggu sebelumnya, sehingga waktu menunggu Auf dihabiskan dengan membaca buku-buku dan lembar-lembar catatan dari pengajaran dikelas dan bermain-main dengan kucing kembang telon yang tiba-tiba datang menghampirinya.

“Pus pus kucing manis. Duh, lucunya engkau wahai kucing manis.” Auf tak habis lelah memuji kucing yang ikut duduk di sampingnya sambil mengelus-elus tubuh si kucing. Dilihat dari bulunya yang bersih dan halus, tampaknya kucing ini memiliki seorang majikan atau memang dasarnya kucing ini gemar membersihkan diri dan ramah pada orang-orang. Kucing itu awalnya hanya menggesek-gesekan bagian tubuhnya ke kaki Auf, namun kemudian naik dan duduk di samping Auf.

Setelah habis sepotong roti, Kausia masih belum datang dan kucing kembang telon itu tertidur di samping Auf. Garis bayangan juga mulai memanjang ke arah timur. Angin juga mulai terasa dingin dan keramaian para pelajar juga mulai mereda, hanya menyisakan tukang sapu yang berburu dedaunan yang gugur dan para pengajar yang mulai kembali ke rutinitas akhir mereka. Namun, Auf masih setia menunggu Kausia yang masih belum selesai dengan 4 sesi waktu belajarnya di kelas. 

Dan pada waktu dimana Auf telah terlelap diatas dua tumpuk buku dengan kucing bergelantung di lehernya di antara pohon-pohon rindang yang mulai berguguran dan warna langit mulai berubah oranye. Kausia dengan segerombol teman-teman keluar dari gedung kelasnya sambil berbincang-bincang dan tertawa-tawa. Kausia pun berpisah dengan teman-teman kelasnya dan menghampiri Auf yang tidur di pinggir air mancur dibawah pohon rindang dengan seekor kucing dengan corak kembang telon bergelantung di lehernya. Ia tertawa melihat temannya itu. Kausia pun mengelus kucing tersebut dan kucing tersebut bangun diikuti dengan Auf yang ikut mulai tersadar dari tidurnya.

“Kausia, lama sekali kau. Apa yang kau lakukan disana? Melawan penjajahan-kah?” Raut wajah Rauf yang kusut karena belum sepenuhnya sadar dari tidurnya, ia mencoba bangkit untuk duduk di samping kucing yang turut ikut duduk bersamanya. Ia sesekali mengerjapkan matanya untuk melihat dunia yang mulai senja.

Kausia tertawa mendengar ucapan temannya itu “Hahaha… tentu tidak temanku. Aku belajar seperti biasanya.” Ia pun ikut duduk di ssamping Auf sambil menaruh buku-buku pada pangkuannya.

“Lantas kenapa begitu lama? Kau tahu aku sampai selesai membaca buku ini yang seharusnya kubaca selama 3 hari, entah besok apa yang kulakukan.” Ucapnya kesal menunjukkan sebuah buku tentang komposisi pakan ternak bagian 2 pada Kausia.

“Lantas kenapa menungguku begitu sabar temanku?” Sahut Kausia setengah menggoda teman karibnya yang senantiasa setia menunggu dirinya itu.

“Tadinya, aku ingin meminta tolong padamu untuk menemaniku pergi ke perpustakaan di kota. Namun, sepertinya sekarang sudah tutup.”

Mendengar ucapan teman karibnya itu, seketika raut wajah Kausia berubah menjadi serius namun tetap tampak ramah. “Apa kau akan ada ujian besok?” 

“Tidak. Hanya ingin menemui seseorang.” Ucap Auf dengan nada suara yang rendah.

“Siapa?” Tanya Kausia.

“Aku tidak tahu namanya. Hanya saja dia seorang pembuat sepatu, teman pamanku. Dan ayahku menyuruhku untuk menemui seorang pembuat sepatu di dekat perpustakaan kota. Bagaimana kalau besok kau menemaniku?” Auf pun memberi tawaran pada Kausia.

“Baiklah besok akan kutemani. Apa kau sudah makan?”

“Hanya makan bekal yang dibuat ayahku tadi siang.”

“Kalau begitu biarkan aku traktir. “

Mereka berdua pun pergi ke sebuah toko kelontong yang menjual roti dan kari. Saat makan Auf bercerita banyak mengenai apa yang diperolehnya saat di tempat pengajaran, ia begitu antusias menceritakan hal tersebut pada Kausia. Dan begitupun Kausia begitu antusias mendengar apa yang diceritakan oleh Auf. Perbincangan mereka pun mulai berubah menjadi suatu diskusi ilmiah mengenai suatu hal dan dari sudut pandang yang berbeda. 

Auf adalah seorang pendatang kota yang jauh dari negeri sebrang bersama paman dan ayahnya yang menggembala domba, sedang Kausia adalah seorang yang lahir dikota. Mereka memiliki cara berpikir yang agak berbeda, namun seringkali mendiskusikan apa-apa yang telah mereka pelajari di sekolah. Auf berfokus untuk mempelajari ilmu-ilmu berniaga dan kesehatan binatang, sedangkan Kausia mempelajari ilmu-ilmu sosial dan geografi. Menurut mereka ilmu sosial berkaitan erat dengan berniaga, biasanya topik diskusi mereka tidak jauh dari itu.

Besoknya Auf datang menjemput Kausia untuk ditemani pergi ke perpustakaan kota, mereka berdua bertanya sana sini pada orang asing agar tidak tersasar dan akhirnya bertemu dengan seorang pengerajin sepatu dari kulit sapi dan kerbau. Ternyata teman pamannya itu adalah seorang saudagar kaya raya yang sangat terkenal di pusat kota. Sepatu-sepatu yang dijual berkualitas tinggi dan bahkan dikirim ke berbagai negri. Bangunan tokoknya pun begitu indah dan besar, sungguh Auf tak kecewa untuk datang disini.

Auf memperkenalkan diri sebagai keponakan dari sang paman dan menyampaikan pesan dari ayahnya untuk minta dibuatkan sebuah sepatu yang indah dan awet untuk dipakai saat kelulusannya nanti, Auf bercerita bahwa selama ini ayahnya hanya memiliki satu alas kaki yang terbuat dari kulit kayu yang dilapisi getah karet dan itu selalu dikenakan kemanapun ayahnya pergi. Auf berbincang cukup lama dengan tuan pemilik toko sepatu itu, sehingga Kausia memutuskan untuk tidur dibawah sebuah pohon yang tak jauh dari toko sepatu meninggalkan temannya sibuk sendirian. Semalaman ia habiskan untuk membaca buku dan membuat roti karena ditengah-tengah malam ia bermimpi sehingga Kausia takut untuk pergi tidur.

Selama berbincang-bincang sambil mengukur sepatu untuk sang ayah, tuan pemilik toko menjamu Auf dengan berbagai macam hidangan mulai dari sup daging sampai kue kering dan manisan. Sungguh Auf sekali lagi merasa tak kecewa saat datang ke toko ini. Pemilik toko sepatu ini dulunya adalah teman menggembala pamannya ketika masih muda, ia pergi ke kota untuk belajar mengolah kulit hewan untuk mendapat nilai tambah saat dijual. Beruntungnya ia datang ke kota dengan penuh tekad untuk belajar dan buah hasil dari apa yang telah dipelajari adalah saat ini.

Setelah berbincang cukup lama, Auf memutuskan untuk pamit dan diberikan sekantong daging sapi yang baru sekali dipotong, terlihat darahnya yang masih mengalir segar. 

“Sampaikan salam untuk ayah dan pamanmu. Senang mendengar kabar dari pamanmu.” Ucap paman di salam perpisahannya dengan Auf.

“Tentu, akan saya sampaikan.” Sahut Auf.

Tuan pemilik toko sepatu tiba-tiba melontarkan sebuah tawaran. “Wahai anak muda, kau begitu ramah dan baik sekali. Aku memiliki 3 orang putri dan diantaranya ada yang sekiranya usianya tak jauh darimu. Kalau berkenan kemarilah dan pinang putriku.” 

“Terima kasih wahai tuan yang mulia atas tawarannya. Semoga putri tuan berkenan dengan saya.”

Diakhir dari percakapannya dengan tuan pemilik toko sepatu Auf pun buru-buru mencari Kausia yang tertidur tidak jauh dari toko sepatu. Ia membangunkan Kausia dan menunjukkan apa yang diberikan tuan pemilik toko sepatu padanya dan mengajak Kausia untuk segera pulang karena langit mulai berwarna kelabu.

Saat malam tiba dan Kausia memutuskan untuk bermalam di tempat Auf. Ayah dan paman Auf mengajak mereka untuk makan malam bersama dan membakar daging sapi pemberian tuan toko sepatu. Di bawah gemerlap cahaya bintang Auf bercerita pada ayah, paman dan Kausia mengenai tuan pemilik toko sepatu yang menawarkan putrinya padanya. Diantara cahaya api unggun yang sayup-sayup membakar daging sapi yang telah diberi bumbu hingga aromanya perlahan mengusik hidung dapat terdengar gejolak tawa Ayah dan Pamannya.

“Beruntungnya engkau. Bersegeralah untuk menikahinya.” Goda sang paman padanya.

“Benar, sebelum ada yang mendahuluimu.” Sambung sang ayah sambil masih tertawa.

“Tapi, aku tidak tahu putrinya. Parasnya seperti apa, dan lain sebagainya.”

Sahut sang ayah yang mulai menggeser bara-bara api “Ketidaktahuanmu itu tampaknya sebuah keberuntungan karena pastinya itu adalah suatu kejutan yang membahagiakan.”

“Apa putrinya cantik?” tanya Kausia yang mulai penasaran dengan perbincangan tersebut.

“Apa yang kau harap dari wanita yang cantik, Kausia?” sahut ayah Auf dan tampak seulas senyum yang tampak membahagiakan itu. Ayah Auf memang memiliki air wajah yang tenang dan ramah, ia tampak senantiasa selalu tersenyum walaupun dalam kondisi apapun.

Kausia terdiam sebentar untuk berpikir. “Tentunya suatu anugerah.” Celetuknya

“Apa yang kau harap setelah kecantikan dari istrimu kelak?” Tanya ayah Auf kembali.

“Sifat-sifat kebaikan.” Sahut Kausia singkat dengan wajah polos tanpa keraguan sekalipun. 

Ayah Auf pun tersenyum lagi. “Benar.”

“Apa putrinya tuan pemilik toko termasuk dari itu?” Auf yang semakin penasaran pun bertanya pada ayah dan pamannya.

“Kalau kau memang berjodoh dengannya, kelak apa yang ada pada dirimu ada pula pada diri istrimu.” Jawab sang Ayah sambil mengangkat batang kayu yang menjadi penopang daging sapi itu dibakar. Auf pun bergegas untuk membantunya.

"Akhirnya kelaparanku berbuah hasil." Ujar sang paman yang langsung mengambil secuil daging dan hendak memasukkan ke dalam mulut.

Tangan ayah Auf pun singgap memukul tangan sang paman dan berkata. "Berdoalah dahulu."

"Maaf" ucap sang paman disusul gelak tawa Auf dan Kausia.

Mereka berempat pun makan bersama sambil bercerita banyak hingga malam mulai larut. Ini bukan pertama kali Kausia menginap di tempat Auf, sudah begitu sering ia menginap sejak kematian Ibu Auf,. Ibu Auf meninggal saat Auf berusia 14 tahun karena penyakit pernapasan. Sejak saat itu Kausia mulai sering menginap. Paman Auf 

Setelah selesai makan, pamannya pergi tidur lebih dulu, sedangkan Auf dan ayahnya membersihkan sisa-sisa dari makan malam. Kausia pergi untuk membersihkan diri dan setelahnya disusul dengan Auf dan bergantian dengan Ayahnya.

Pada malam itu, ditengah malam dimana Auf sudah hampir terlelap tiba-tiba Kausia menyadarkannya dan meminta Auf untuk mendengar ceritanya, Auf pun bersedia untuk mendengar kegelisahan temannya itu. Kausia bercerita pada Auf mengenai seorang wanita cantik  yang di incarnya itu, wanita itu nantinya tak akan seutuhnya menjadi milik Kausia karena akan menjadi bintang di siang hari selama bertahun-tahun bahkan sampai akhir hayatnya. Auf yang mendengar kalimat pertama yang diceritakan Kausia tak paham dengan apa yang dibicarakan temannya itu. Kausia pun bilang kalau wanita yang didambakannya itu akan bersama dengannya dalam waktu singkat dan ketika pihak kerajaan mencari seorang wanita untuk dijadikan bintang siang hari, maka wanitanya itu akan di ambil dan dijadikan bintang siang hari. Wajah kausia tampak bersedih berbeda dengan Auf yang makin kebingungan.

“Temanku, apakah yang kau barusan ceritakan adalah berasal dari mimpi?” ia melihat temannya menyeka air matanya dan berkata.

“Iya benar begitu. Namun, hatiku tetaplah bersedih. Aku tidak tahu kenapa demikian.”

“Lupakan mimpimu itu, temanku. Kita belajar begitu banyak bukan untuk bersedih, ada tujuan kita selain dari itu. Bukan untuk sekedar tidur lalu bermimpi, namun kita belajar selama ini untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita.”

Tangis Kausia makin menjadi mendengar itu. Auf makin bingung melihat temannya.

“Apa sekiranya yang makin membuatmu sedih, temanku?”

“Aku tidak bisa membayangkan bagaimana mimpiku yang barusan akan terwujud. Betapa sedihnya aku.”

Auf tak habis pikir dengan cara berpikir temannya itu, padahal waktu belajar Kausia lebih lama dibanding dirinya namun Kausia terlalu mudah mengartikannya dengan cara berpikir yang pendek.

“Aduh, bagaimana aku menjelaskannya padamu, Kausia!” Ucap Auf yang makin bingung.

...

 

Biasain panggil 'ara'

Seorang manusia yang memiliki sepenggal kalimat untuk mencintai dirinya sendiri

Posting Komentar

Kamu sebaiknya tahu mengenai tata krama umum yang biasa digunakan. Disini saya memiliki bagian hampir semuanya. Jika ada yang ingin ditanyakan silahkan dengan kata yang baik.
Terima kasih telah memenuhi standar untuk berkunjung.

Lebih baru Lebih lama