Beberapa menit yang lalu dery duduk disini, kemudian dia bilang padaku bahwa ingin menemui seseorang tapi malah menghampiri bagian kasir. Aku melihat mereka berbincang cukup lama sebagai pelanggan dan kasir. Setelahnya ia kembali dan duduk di sampingku lagi. Ia mendapatkan sebungkus rokok dari yang katanya temannya-yang berdiri sebagai kasir disana. Kemudian ia menyalakan pemantiknya dan membakar ujung batang rokoknya. Menyesap-nyesap tiap asap rasa tembakau dengan perpaduan lain yang kemudian masuk ke dalam kerongkongannya dan menghembuskannya kembali, membentuk suatu bentuk abstrak yang naik ke atas plafon bangunan kafe ini. Di tengah kesibukkan masing-masing dari kami, dery meletakan bungkus rokoknya tepat di depan pandanganku, memberi isyarat seakan menawarkan barang itu padaku. Aku hanya melihatnya dan kembali melihat ke arah lembar-lembar jurnal.
"Kau tahu emi kan? " tiba-tiba mulutnya yang kadung asam itu terbuka.
"Siapa?" tanyaku tanpa menilik ekspresi wajahnya. Dari suaranya terdengar muram, namun dery biasa terdengar seperti itu karena itu seorang perokok aktif dan gemar sekali minum-minum alkohol dan kopi.
"Si pengajar itu. Dia menggantikan prof xx senin lalu. Aku tahu namanya emi dari judy."
"Oh, kamu tertarik padanya?" tanyaku lagi mencoba menyakinkan pernyataannya mengenai emi. Lagi-lagi orang yang sepertinya tidak memiliki antusias terhadap gemerlap hidup dery. Bisa dilihat emi memiliki kehidupan yang jauh lebih normal ketimbang dery.
"Dia agak menarik. Menurutmu bagaimana?" tanyanya padaku dan aku melihat ke arah wajahnya sebentar lalu melihat ia menjatuhkan abu rokoknya ke asbak melamin.
"Kau selalu ingin tahu, kau yang lakukan. Terserah." Ujarku seperti biasanya saat dia mengajukan pertanyaan yang sekiranya tidak jauh berbeda seperti momen-momen ini.
"Hei, Herald. Kau ini memang tidak menyenangkan. Orang seperti emi pasti menyukai orang-orang yang sopan dan berambisi, seperti kau. Cobalah!" di sela-sela menyesap rokokpnya dia bicara sambil mencoba menyakinkanku.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Hiburan semata."
"Lebih tepatnya hiburanmu." Ujarku singkat dan kembali mengulas jurnal yang ada dihadapanku.
"Tidak begitu.” Dery membenarkan duduknya dan memperbaiki posturnya. “Lihat, hari ini jurnal tentang apalah itu. Kemarin sibuk melakukan riset. Besok apalagi? Hei, diantara teman-temanmu yang membosankan itu mungkin hanya aku yang mengajarkan mengenai hiburan. Atau memang hanya aku."
"Hanya kau, dery."
"Dengar, aku dan si keriting itu baru kenal sekitar 15 menit lalu. Tapi aku sudah bisa mendapatkan sesuatu tanpa harus memberikan sebuah kompensasi." Dery menunjuk ke arah rokok yang berada diantara kedua jari yang mengapit rokoknya itu. Baranya terbakar sempurna hingga melahirkan asap ke langit-langit plafon dan menghadirkan abu ke lantai. Ia menyandarkan bahunya yang sepertinya mulai lelah. Suarnya tampak begitu santai ketika ia berbicara dan aku mulai tidak tertarik dengan alur pembicaraannya.
"Ya, aku mengerti."kataku singkat dan kembali pada jurnalku. Membolak-balikkan lembar demi lembar beberapa kali, memastikan bahwa lembar sebelumnya selaras dengan lembar yang lain dan kemudian mengoreksi tiap kata-kata dan suara herald mulai terdengar kembali setelah salah seorang pelanggan keluar dari pintu.
"Karena kau cerdas, Herald." Pujinya dan mulai menyalakan rokok yang baru dikeluarkan dari bungkusan.
"Ya, aku mengerti." Sekali lagi aku memberikan pernyataannya yang sama.
"Kalau kau tertarik atau ingin mencoba hal-hal yang baru, aku ada kontak emi. Riven yang memberinya padaku, jangan sungkan kalau memintanya."
Ini bukan pertama kalinya dery melakukan ini, aku sempat antusias untuk meladeninya dan selalu berakhir buruk. Merespon dery secukupnya tidak akan terlalu merusak pertemanan kami dan ini berjalan cukup baik setelah aku melakukannya.
Dan dery mulai lagi "Herald."
"Kenapa?"
"Kau tidak begitu mahir melakukan interaksi dengan orang lain, bukan?"
"Tergantung orangnya."
"Kelihatannya begitu. Setelah ini ada banyak pekerjaan yang melibatkan interaksi dengan banyak orang. Namun, caramu terlalu buruk menurutku. Jangan anggap ini sebuah hipotesis.
Ini suatu hal yang rill bahkan tanpa pembuktian."
Aku tak sadar menaruh pena di meja dan menyentuh tengah hidungku. Bahkan, aku bangkit dari sandaranku. "Hei, dery ini berbeda dengan apa yang kau lihat. Kau memiliki caramu sendiri, begitu pula aku."
"Seperti metode yang kau terapkan pada jurnalmu, bukan? Tidak semua metode cocok, tapi kita mempelajarinya. Benar begitu?"
"Bisa dibilang begitu. Tapi, ini berbeda dengan yang kau bilang."
"Dimananya?"
"Tidak dimana pun."
Aku mencoba melihat ke arah lain, rasanya enggan untuk berucap lagi.
"Kalau tidak ingin melakukannya, setidaknya kau sedikitnya adalah mengetahuinya."
Aku melihat dery kembali menyalakan pemantiknya dan kembali merokok. Aku mulai memikirkan ucapannya barusan, hendak memberikan argumen yang mematahkan argumennya barusan.
"Dery, kalau menurutmu ketidakcocokan suatu metode terhadap masalah yang ada adalah karena beberapa faktor yang menjadi penyebab. Ada beberapa hal mengapa seseorang tidak benar-benar ingin melakukan bahkan untuk mengetahuinya sekalipun."
Dery menghembuskan asap itu dari mulutnya dan mulai bicara. "Kau ingin menyangkal yang barusan, bukan?"
"Aku menyampaikan pendapatku." Kataku dengan suara yang agak gusar. Tapi berusaha untuk yakin.
"Setiap orang punya alasan. Tapi tidak semua orang memiliki alasan terhadap apa yang dilakukannya. Aku tahu alasanmu." Suaranya yang sampai ditelingaku tampak terdengar begitu tenang, mungkin karena efek nikotin dari rokok yang di sesapnya itu.
Aku tidak tahu harus meresponnya bagaimana. Karena..
"Aku tidak memiliki alasan."
"Benar." Sahutnya dikepulan asap yang memenuhi kepalanya.
"Tidak, aku hanya tidak tertarik terhadap hal-hal yang menarik bagimu. Sebenernya hanya itu." Kataku. Saking bingungnya harus merespon ucapannya seperti apa. Aku melihat ke arah lembar-lembar dalam genggamanku secara bergantian.
"Yang barusan ini juga benar."
"Kau seolah-olah seperti seorang pengajar yang memberikan penilaian."
"Hahaha... Kini kau tertarik dengan apa yang ku ucapkan. Apakah kau memiliki ketertarikan terhadap sesuatu yang membuat jantungmu terpompa lebih cepat dan membuatmu terus berpikir tanpa jeda."
"Ya, begitulah. Apa.. tidak. Ada apa sebenarnya? Bukankah aku yang terlihat menarik bagimu karena sejak tadi kau terus-menerus mengusikku."
"Kau selalu menyanggah hal yang sebenarnya sesuai denganmu. Kita ini sebenarnya sama, dan kau selalu menyanggah suatu hal yang sesuai denganku. Sewajarnya sesama pria setidaknya memiliki suatu persamaan. Namun, berulang kali kau menyanggah.”
“Masalahnya adalah kau memberikan persamaan itu terhadap hal yang tidak lumrah bagiku. Mungkin kau bisa memberikan contoh seperti bagaimana seorang pria berpikir, bukan dengan kemana pikiran seorang pria hidung belang mengarah. Kenyataannya kalau memang jauh berbeda dengan prinsipku pun, aku tidak keberatan.”
“Tapi, kau keberatan dengan hal-hal lumrah yang kutawarkan.”
“Persetan dengan yang kau ucapkan. Tak akan ada habisnya.”
“Akhirnya kau menyerah tuan herald.”
“Terserah apa katamu!”
“Malam minggu pesta di rumah darius jam 10 kau harus datang mengajak emi. Tidak ada penolakan atau alasan yang lain karena kau tidak memiliki alasan.”
Aku memutuskan untuk berbenah dan meninggalkan dery sendirian disana. Hal-hal ini sering kali terjadi diantara aku dan dery. Hal ini terjadi karena terdapat kesenjangan antara pendapat kita. Namun, hal-hal tersebut tidak membuat pertemanan kami renggang. Ini kedua kalinya saat aku menyerah aku memutuskan untuk pergi karena permintaan bodohnya yang tak dapat kuberikan jawaban. Walaupun begini, aku tetap seorang pria yang tidak ingin dicap pengecut ketika tidak dapat memberikan kepastian, lebih baik tidak memberikan jawaban apapun ketimbang harus ingkar janji.
Esoknya dikelas aku melihat ketidak-hadiran rutin dery dan teman-temannya. Hal ini adalah lumrah disini dan bagiku ini tidaklah masalah selagi kegiatanku tidak terusik oleh hal lain. Namun, hari ini pengganti prof. xx ikut kelasku. Agak sedikit terkejut karena ternyata kami berada di fakultas yang sama. Emi duduk di dekat pintu karena dia yang terakhir masuk ke kelas. Selama pengajaran berlangsung aku teringat akan ucapan dery. Aku beberapa kali melihat ke arahnya sesekali, ia memiliki rambut berwarna merah kecoklatan agak gelap dengan warna kulit langsat agak tan dan menggunakan kacamata frame besi. Saat aku sesekali memperhatikannya, ia melihat ke arahku. Sial, aku berusaha kembali fokus pada pengajar.
Setelah kelas selesai. Pengajar memanggilku, memberiku tawaran untuk ikutserta dalam riset yang dilakukannya. Ekor mataku memperhatikan emi yang menghampiri pengajar.
“Apa ada yang perlu dibantu?” tanya pengajar pada emi.
“Aku ambil kelas ini karena anjuran dari prof xy. Aku sempat tidak menghadiri kelasnya beberapa kali dan diberikan kesempatan untuk mengikuti kelas ini.”
“Apakah sudah disetujui oleh kepala jurusanmu?”
“Sedang tahap pengecekan, katanya beliau perlu mengecek berkas yang lainnya.”
“Oke, baik. Dengan nona?”
“Emily houtson.”
“Oke, emily houtson untuk pertemuan berikutnya kau perlu membawa buku refrensi seperti…”
Aku memperhatikan bagaimana emi menulis ucapan pengajar dengan begitu telaten pada buku catatan berwarna kuningnya. Ketika tampilan emi itu seperti mengaburkan suara si pengajar sehingga beberapa saat hening terasa. Sesaat kemudian aku seketika mendengar namaku dilibatkan dalam perbincangan diantara mereka. Sekali lagi aku mengulang apa yang berhasil kudengar.
“…untuk jadwal kau bisa tanyakan herald. Mungkin masuk ke grup chat kelas, atau berikan informasi kelas padanya.”
Aku merasa bahwa emi melihatku sesekali.
“Baik terimakasih, prof.” sahut emi.
“Ah, baik prof.” sahutku di susul dengan anggukan kepala.
“Untuk riset itu akan dilakukan hari rabu depan. Nanti hari sabtu kau isi formulirnya di gedung utama. Sampai jumpa.”
Pengajar pun meninggalkan kami diruangan. Emi melihat ke arahku lagi kali ini, sedikit agak lama. Seketika aku teringat wajah menyebalkan dery. Sial, bukan begini pikirku.
“boleh aku minta nomormu?"
“HEERRALLD!”
Tiba-tiba suara yang intonasinya tinggi itu terdengar begitu nyaring dan masuk ke ruangan hingga mengejutkanku dan emi. Itu suara yang tidak asing bagiku. Benar saja itu dery yang masuk ruangan dengan ritme nafas yang berantakan. Aku mengira-ngira dia berlari barusan.
“Aku tidak menyangka kau benar-benar melakukannya.” Mataku terbelalak mendengar ucapannya.
Aku mencoba menghampirinya dengan begitu sigap “HEI, DERY!!”Dan ia berhasil melarikan diri.
Kemudian aku melihat reaksi emi. Aku malu setengah mati dilihat mengerikan oleh emi yang seperti salah mengerti tentangku. Aku tampak mengenaskan dan mencoba menyembunyikan wajahku. Ah, sial. Emi menghampiriku yang berdiri di dekat pintu sambil mengajukan ponselnya. Aku pun menyambar ponsel yang di tujukannya padaku. Mengetikkan nomorku pada ponselnya dan mengembalikkannya.
“Jangan berpikir hal yang aneh mengenaiku. Apalagi barusan itu.”
“Namamu herald?”
“Iya.”
“Tidak ada nama pendek atau panggilan?”
“Tidak ada.”
“Jurusan apa? Semester berapa?”
“Teknik Geologi semester xx”
“Terimakasih.”
“Iya.”
Percakapan kami pun berakhir disana tanpa meninggalkan kesan apapun. Aku langsung memutuskan untuk pulang, namun malah menemui dery di lorong menuju gerbang keluar fakultas. Wajahnya tampak membentuk suatu hal yang aneh dan mencurigakan. Aku berusaha untuk bersikap sewajarnya dan mencoba melaluinya untuk secepat mungkin sampai di asrama.
“Semoga beruntung, woolrich.”
Aku melihat ekspresi wajah dery yang tampak begitu senang. Aku tahu betul ucapannya itu mengarah padaku, karena ia memanggil nama belakangku. Woolrich. Aku mempercepat langkahku dan menyegerakan untuk sampai di asrama.
Andai saja emi tidak meninggalkan kelasnya, tidak akan terjadi hal yang barusan tadi. Dan aku tidak akan ada niatan untuk memilikirkan alasan untuk meladeni ucapan-ucapan dery. Mungkin mudahnya, andai hari ini dery masuk kelas dan mungkin aku akan diajak untuk ikut berkumpul dengan teman-temannya. Hanya dery yang melakukan ini padaku dan hanya dialah yang bertahan selama ini pada sikapku yang sudah jelas-jelas menolak persensinya. Namun, dia terlalu naif untuk menyadari itu dan selalu mengikutsertakan diriku pada setiap momen yang terjadi padanya. Kalau bukan karenanya, aku tidak akan menyimpan nomor teman-teman dikelas. Judy, riven, bahkan chris dan yang lainnya. Orang-orang mungkin tahu aku menolak semua keberadaan mereka, tapi tidak dengan dery yang seakan tidak peduli dengan hal itu. Memaksaku untuk mengikuti aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang seperti dery. Sebenarnya aku tidak keberatan, hanya saja ketika kita dihadapkan pada perbedaan prinsip hidup, seakan dery menolaknya. Baginya setiap orang adalah sama dan bagiku itu tidak. Dia mencoba mewajarkan hal-hal yang tidak wajar, berulang kali aku memberikan alasaku terhadap pemikiran-pemikirannya. Namun, tetap saja dery tetaplah dery. Aku tidak masalah dengan prinsip yang dipegang teguh olehnya mengenai kebebasan, caranya hidup, batasan dan lainnya. Hanya saja ketika ia menyuruhku untuk melakukan sesuatu, aku selalu menolak dan menurutnya alasanku itu konservatif. Dan ia harus diberikan alasan yang sesuai dengan prinsip yang dipegangnya.
“Enyahlah, dery!”