Pada malam yang jenuh aku mampir ke sebuah kedai
kopi milik Meri, salah seorang teman dari fakultas ekonomi di kampusku. Aku
sekedar mampir hanya untuk mengosongkan pikiranku dari beberapa tugas yang
mulai menghancurkan sel otak yang lainnya di dalam kepalaku, bahkan hanya dengan
menyeduh kopi instan di asrama malah membuatku muak. Mampir bukan sekedar
menjernihkan pandangan dari angka-angka dan tabel rumusan anggunan bunga dalam
soal cerita yang pengajar berikan padaku, sudah tahu aku tidak pernah tertarik
dengan yang namanya bunga bank dan segala masalah mengenai keuangan. Menurut
prinsipku ‘bila tidak ada uang sekarang, maka seharusnya berusaha, setidaknya
untuk bertahan hidup esok.’ Aku kira tidak akan mempelajari sejauh ini. Aku
juga harus mempelajari rumus-rumus yang seperti benang kusut demi lulus
semester ini.
Kedai tempat Meri bekerja lumayan jauh dari asrama,
kalau berkendara menggunakan sepeda butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai
di kedai. Tidak percuma menghabiskan banyak waktu, setidaknya mataku di
suguhkan oleh pemandangan indah orang-orang rupawan disini. Iya, kedai tempat
Meri bekerja begitu dikenal karna desain bangunan yang begitu modern dan penuh
akan desain arsitektur yang berseni. Bahkan, orang-orang terkenal berkunjung
kemari, hanya untuk berfoto sambil memesan segelas kopi latte atau segelas air
mineral dengan es karna suguhan desain interior yang estetik-katanya.
Tidak hanya Meri yang bekerja disini, ada temanku
yang lain seperti Jiwon seorang mahasiswa jurusan Manajemen teknologi setingkat
dibawahku. Dan hari ini aku melihat Jiwon tanpa seragam kerjanya tengah duduk
di kursi pengunjung dengan beberapa temannya yang kukenal, Yunhee dari fakultas
bahasa asing, tepatnya jurusan bahasa inggris. Dan 3 lainnya aku tidak
mengingatnya. Hanya satu yang samar-samar dalam ingatanku, seorang junior
setingkat di bawahku. Ia melihat ke arahku dengan matanya yang dijatuhi
bayangan dari topi baseball. Mata kami bertemu untuk sesaat dengan melibatkan
sebuah ketidak-sengajaan yang membuat parasmu seakan mampir ke dalam
bayang-bayangku. Berdalih sebuah kesederhanaan kemeja lusuh dengan sepatu kets
hitam dengan tali yang di bumbui warna coklat kusam terlihat begitu memikat di
banding cerita-cerita remaja masa kini yang menggambarkan seorang laki-laki
dengan tampilan gagah bermotor mewah, uang berlimpah, dan kekuatan bak super
hero.
Aku mengenal Haesoo. Pemuda itu tidak seperti cerita
nona impian. Dia sederhana. Dari paras sampai sikapnya pun sederhana, bahkan
semua yang melekat darinya tak tampak begitu bersinar seperti permata. Haesoo
hanya seorang mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris setingkat dibawahku, tapi usia
kami sama. Tanggal lahir kami sama yaitu 20 Maret dan di tahun yang sama 19xx,
tempat kelahiran kami pun sama, dan uniknya kampung halaman kami pun sama, di
kota Namwon. Seperti sebuah takdir yang mengalir, Haesoo pun mengenalku sebagai
seorang Senior yang baik di kampus. Lebih tepatnya aku dikenal sebagai senior
yang selalu berbaik hati kepada setiap mahasiswi perempuan, dan sebuah
keberuntungan bagi Haesoo bahwa aku berbaik hati padanya. Karna, menurutku
Haesoo berbeda dengan laki-laki lainnya.
Terkadang aku selalu berpikir setiap malam ‘mengapa
hanya Haesoo yang kuperlakukan dengan baik ketimbang lelaki lainnya?’, bahkan
senior pun tidak ada yang kuperlakukan lebih baik dari Haesoo dan para
Mahasiswi. Mungkin aku menyukainya, itu yang selalu kupikirkan. Alangkah lebih
baik aku menyatakan perasaanku sebelum dikemudian hari aku menyesal dan merasa
sedih bila ternyata Haesoo sudah menjalin hubungan dengan perempuan selainku.
Aku mengetahuinya dari cerita-cerita teman dan buku
roman picisan yang pernah kubaca di sebuah toko buku.
Aku mengenal Haesoo, tidak lebih baik dari mengenal
Meri. Hanya sekedar mengenal Haesoo. Aku selalu berseteru dengan
pikiran-pikiran beracun yang membuatku terkadang kesulitan berpikir jernih.
Bahkan setiap terlibat suatu hal yang melibatkan Haesoo, aku malah semakin
kesulitan menangani pikiranku dari hari ke hari. Tidak hanya sebulan-dua bulan,
tapi untuk jangka wkatu yang terbilang cukup lama sampai berdampak pada ujian
kenaikan semester. Aku di gentayangi oleh sakit kepala yang mengganggu dan
tidak pernah hilang walau dengan beberapa butir obat pereda nyeri.
Benar saja ini ulah pikiranku yang berpikir bahwa, si
Haesoo itu benar-benar memikatku dengan parasnya yang terbilang biasa dan
sederhana untuk jatuh ke dalam kubangan hatinya, dan seperti sebuah takdir
Haesoo tidak membiarkanku sendirian di kubangan hatinya yang seperti musim semi
bunga bertebaran dengan semerbak harum bungan di taman.
Haesoo menyukaiku, begitu pun sebaliknya. Aku amat
sangat menyukainya.
Dan ungkapan itu benar mendedikasikan menjadi ‘kita’.
Seperti sebagian bahan bakar hidup kami di peroleh
dari kasih dan cinta, setiap harinya bagai madu yang manis di mulut dan
menyehatkan tubuh, bahkan meningkatkan beberapa hormon dalam tubuh, dan
terkadang dapat di konotasikan sebagai racun yang membahayakan.
Hari-hari kami berlalu dengan serpihan cinta
dimana-mana. Di kala pagi senyumnya berhasil tertangkap oleh sepasang netraku,
dan sapaku yang memeluk erat gendang telinganya. Kami saling jatuh cinta,
persoalan terkadang hanya seperti angin di musim gugur, kemudian salah satu
dari kami akan saling memeluk satu sama lain untuk mengikat sebuah hati yang
tak lagi butuh di bagi.
Selama masa kuliahku yang tinggal sebentar lagi, aku
sesegera mungkin untuk mencari pekerjaan. Aku ada banyak keinginan setelah
akhir studi kuliah, terutama sebuah pernikahan, begitu pun Haesoo. Jarak kuliah
kami hanya rentang 2 semester, itu artinya setahun.
Setahun yang akan datang Haesoo akan segera
mengakhiri masa kuliahnya, dan setahun lagi aku sedang dalam masa bekerja dan
kami akan saling mendekatkan kedua keluarga satu sama lain.
Butuh waktu sekitar 3-4 bulan lamanya sebuah
perusahaan mengirim undangan interview kerja padaku. Setelah mengikuti
interview, 2 minggu setelahnya aku bekerja di sebuah perusahaan garmen,
tepatnya di bagian administrasi. 3 bulan kemudian aku menjadi karyawan kontrak
disana.
7 bulan kemudian setelah masa-masa sulit kami,
Haesoo berhasil lulus kuliah dan dijadikan sebagai asisten dosen oleh salah seorang
pengajar di kampus kami.
Kami bertemu seperti waktu sebelumnya,
berbincang-bincang dan saling mengasihi atau terkadang bergurau, bahkan di
waktu yang serius kami membicarakan perihal rencana masa depan, tranformasi apa
yang harus dilakukan. Dan yang selalu ada dalam benakku adalah aku selalu ingin
bersamanya tanpa perasaan yang berubah. Aku tidak tahu dengan apa yang Haesoo
pikirkan saat itu, tapi ia berkata padaku
"Aku ingin menikah. Aku ingin menikah
denganmu."
Aku tidak tahu seberapa besar cintanya padaku sampai
ia berkata demikian. Itu artinya ia ingin hidup denganku, hidup berdampingan
denganku selamanya.
Dan sebagaimana yang ia katakan, dan yang aku
inginkan sebelumnya. Kami pun bekerja lebih tekun dari sebelumnya, berharap
sepanjang waktu dan terus mempertahankan hubungan kami hingga cita-cita itu
berhasil kami wujudkan.
Haesoo pun menjadi seorang dosen di beberapa kampus,
dan aku pun sempat pergi ke beberapa kota untuk masalah bisnis perusahaan.
Bahkan Haesoo sempat melamar pekerjaan sebagai guru bahasa inggris di sebuah
sekolah SMA dekat rumahnya, Haesoo pun mendapatkan pekerjaan tersebut.
Keahliannya dalam berbahasa sungguh hebat menurutku, dia mengatakan padaku
alasan kenapa ia memilih jurusan bahasa inggris saat itu. Haesoo menceritakannya
padaku tentang dirinya saat itu tidak hanya pemikiran pendek bocah SMA yang
hampir kesehariannya hanya menonton film atau animasi, membaca komik atau
novel, kebiasaannya itu melahirkan sebuah rasa penasaran atas serial berikutnya
yang ternyata hanya tersedia dalam bahasa inggris, kemudian mau tidak mau untuk
memuaskan rasa penasarannya, perlahan-lahan ia memperlajari bahasa inggris.
Mempelajari bahasa inggris tidak hanya mneghafal sebuah bahasa baru tapi
mencoba memahami sebuah pola pikir dari suatu bangsa yang berbeda, atau
orang-orang baru di kemudian hari yang mungkin akan bertemu dengan kita tanpa
sengaja, memahami seseorang dengan saling berbincang-bincang, dari sebuah cara
berbicara itu pula kita belajar memahami manusia, atau mungkin ia bisa memahami
hewan dan tumbuhan atau benda yang lainnya. -Haesoo dengan segala pemikirannya
yang unik.
Kemudian aku membandingkannya dengan diriku,
seseorang dengan sekelumit pemikiran-pemikiran yang rumit dan penuh
perhitungan. Menurutku itulah aku. Tapi, Haesoo bisa menggambarkannya begitu
apik dengan bahasanya.
"Kamu itu seperti bintang dan bulan yang jauh
dari telapak tangan, namun bersinar dan selalu kutatap selama bulan punya kuasa
atas malam, seperti pusaran air di tengah laut yang menghanyutkan. Tapi
sesungguhnya kamu hanya kamu, seorang wanita yang kini menjalin hubungan
denganku."
Haesoo, seseorang yang manis menurutku. Sebuah
keajaiban untuk Haesoo yang terkenal dengan pembawaannya yang biasa saja dan
jarang sekali bicara dengan kata-kata menggombal seperti itu.
Aku tahu suatu hari nanti kami akan mengikat cinta
kami lebih erat dalam sebuah perjanjian yang akan di lantangkan di depan para
khalayak. Saling mengasihi, mencintai dan menyayangi satu sama lain, sebagai
Haesoo padaku dan begitupun sebaliknya, Aku pun padanya.
Pada kenyataannya aku hanya akan menyimpan gambaran
paras Haesoo dalam benakku selama-nya. Haesoo dan aku jelas berbeda, sebuah
strata berhasil memisahkan keinginan kami untuk bersama, seakan haram
terlaksana bila kami bersama. Cukup sebagai angan dan cerita masa lalu yang
menyakitkan. Aku dengan keinginannku tak akan mampu meraih kesederhanaannya,
karna ada suatu hal yang begitu besar tak akan mampu menyatukan kami.
Di akhir kalimatnya ia tidak berkata persis seperti
itu. Haesoo hanya menulis di lembar halamanku waktu itu, yang isinya
"Kenapa seperti mimpi yang tak pernah bisa
kugapai?
Kenapa kau bertahan bagai karang yang menahan ombak
di pinggir pantai?
Kau itu bagai bulan dan bintang yang terlalu jauh
dari telapak tangan.
Jangan pernah menghitung aku dan kau menjadi satu
Itu tak kan pernah terjadi apabila kehendak tuhan
jauh lebih hebat daripada menyalakan api dengan air.
Pada dasarnya kehidupan itu tidak kejam dan
menyedihkan
Sebenarnya otak dangkal itu sudah terlalu banyak
upaya untuk berpikir hingga terpenuhi dengan hal-hal diluar nalar."
Haesoo dan Aku hanya sekedar karangan cerita yang di bumbui roman khayal, tidak lebih dari sebuah masa lalu yang kini harus kupendam selamanya.