Sudah sering berhubungan dengan banyak orang, setidaknya sudah dapat membedakan mengenai aib seseorang yang seharusnya tidak jadi bahan lelucon. Mungkin, aib-nya lucu makanya jadi bahan lelucon.
Aku berusaha memahami bagaimana saat kamu bercerita padaku mengenai masalahmu, orang-orang sepertimu membutuhkan waktu untuk orang lain tahu kondisimu sebenarnya. Aku hargai itu.
Padahal sudah baik-baik, loh! Aku tidak memulai pembicaraan mengenai masalahmu ke orang-orang.
Tidak seharusnya juga, orang sepertimu paham mengenai kehidupan orang lain yang hampir sekarat. Benar-benar ingin mati saking tidak memiliki tujuan hidup, terombang-ambing tidak memiliki tempat berpulang dan tahu tidak? Ketika seseorang berhasil melewati titik kesulitan dan dirimu membuat lelucon mengenai pengalaman hidupku yang terpuruk. Harusnya aku bangkit, malah jadi tersungkur.
Serius, sakitnya bukan main. Saat bukan fisikku lagi yang di cemooh, tapi perihal kehidupan kelam seseorang yang berusaha ditutupi agar tetap gemilang.
Salah aku melihatmu dalam sudut pandang diriku. Mungkin ini sebuah kesalahan yang sering kali aku perbuat, namun memposisikan dirimu adalah orang yang berarti bagiku didepan maupun dibelakang khalayak ramai. Tidak seharusnya.
Mungkin aku yang terlalu sensitif mengenai reputasiku, tapi coba pahami bagaimana aku mengosongkan jawaban ujianku kemarin. Sesuatu terkadang tidak masalah, terkadang pula akan menjadi masalah yang membuat kepalang. Kondisiku kemarin adalah kondisi yang benar-benar mencari pelarian untuk mengisi kehampaan pada hidup yang hampir aku tidak tahu harus bagaimana. Ada seseorang yang mampir dan singgah sementara membuka paksa pintu rahasia yang bahkan tidak seorang pun tahu bahkan keluargaku sekalipun mengenai hidup dan matiku. Mengenai bagaimana cara berpikirku yang ruwet nan suram. Aku tak lagi tahu ingin menjadi apa, tak lagi tahu harus berbuat apa. Karena yang aku bisa adalah membalas semua perbuatan orang-orang yang telah membawaku ke titik ini.
Sulit untuk membahas sesuatu yang terlalu berat di kepalamu yang kecil. Di kehidupanmu yang sumpek sekali, mungkin aku hanya menjadi orang yang kesekian. Tapi, aku butuh dirimu untuk menghargai sesuatu yang sebenarnya aku suka dan tidak. Tentang bagaimana kondisiku yang terkadang ingin mati dan berusaha untuk tidak mati. Tetap membangun pembicaraan dan bersosialisasi dengan orang-orang adalah upaya untuk bertahan hidup. Dan tentunya membalas perbuatan orang-orang yang telah membawaku ke titik ini.
Berulang kali aku berbuat tindakan yang merusak, karena pikiranku rusak.
Aku berusaha untuk terlihat dekat dan senantiasa terlibat dalam semua urusanmu, tapi dirimu memilih yang lain. Yah, itu terserah dirimu. Aku tidak harus selalu mengulurkan tangan ketika kau kesulitan.
Aku menganggapmu sebagaimana dirimu sebenarnya memposisikan dirimu dalam kehidupanmu.
Semoga ini hanya sepintas hubungan seorang rekan. Tidak lebih dari itu.